Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak pihak yang menuding bahwa perbankan Indonesia yang rentan memperparah krisis moneter pada pertengahan Juli 1997. Sejak Paket Oktober (Pakto) diluncurkan pada 27 Oktober 1988, dunia perbankan Indonesia tumbuh mengagumkan. Tidak sampai 10 tahun setelah Pakto diluncurkan, jumlah bank melejit hampir empat kali lipat dari 60 bank pada 1988. Nyaris tidak ada konglomerasi tanpa bank.
Tapi, di kemudian hari diketahui banyak dari bank-bank itu keropos. Dana jangka pendek dipakai untuk memberikan pinjaman jangka panjang (mismatch). Selain itu, banyak kredit disalurkan kepada grup sendiri melebihi batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Juga, banyak pinjaman valuta asing. Tak mengherankan ketika kurs rupiah jeblok, banyak pinjaman macet, dan bank bertumbangan.
Salah satu pencetus programnya, Menteri Keuangan pada waktu itu, Johannes Baptista Sumarlin, mengatakan, program ini bertujuan mempertahankan pertumbuhan ekonomi tetap tujuh persen. Dia menolak keras jika Pakto dikaitkan dengan krisis moneter pada 1997. “Krisis terjadi lama setelah saya tidak di pemerintah lagi,” kata Sumarlin kini masih aktif mengajar di Fakultas Ekonomi UI.
Saat ini, Ia membimbing disertasi empat mahasiswa doktoral di FEUI. Dia berkantor di dua tempat. Satu di UI, satu lagi di kantor anaknya. Putrinya, Sylvia Sumarlin, yang menjadi bos Dyvia Net sekaligus Ketua Asosiasi Pengusaha Jasa Internet Indonesia, menyediakan satu ruangan khusus untuk ayahnya di lantai enam di Menara Batavia, Jakarta. Sumarlin, yang tiga bulan lalu belajar berenang ini masih tetap segar kendati tiga jam menjawab pertanyaan Tempo pertengahan bulan lalu.
Apa yang mendorong pemerintah menerbitkan Paket Kebijakan Oktober 1988?
Pada permulaan 1980-an, terjadi beberapa perkembangan. Ada globalisasi yang berpengaruh besar perekonomian nasional dan komoditas minyak mulai menurun. Perkembangan lain, dengan lambatnya laju pertumbuhan dana, kita harus mencoba mengadakan berbagai reformasi dan deregulasi.
Adakah kejadian luar biasa di sektor perbankan sehingga perlu kebijakan khusus seperti Pakto 88?
Nggak ada. Kami ingin mempertahankan pertumbuhan ekonomi tetap tujuh persen. Caranya dengan menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Dengan Pakto kami ingin meningkatkan mobilisasi dana masyarakat melalui lembaga keuangan, antara lain perbankan.
Ada indikasi pertumbuhan ekonomi akan turun?
Bisa turun kalau dana masyarakat tidak digerakkan untuk mendukung pembangunan dari sektor masyarakat. Karena sampai 1980-an pembangunan dimotori anggaran pemerintah, swasta belum. Kalau banknya banyak, mereka bisa menghimpun dana-dana jangka panjang.
Apa belum ada dana masyarakat yang terserap di perbankan?
Sudah ada, tapi banknya sedikit.
Berapa jumlah bank sebelum Pakto dan sesudah Pakto?
Sebelum Pakto, bank lokal ada 60-an, bank asing ada 11. Memang cukup banyak, tapi bank kecil-kecil. Yang besar semua bank pemerintah dan itu pun cabangnya terbatas. Yang paling banyak cabangnya BRI. Tapi tidak semua kabupaten ada BRI. BCA dan Danamon waktu itu masih kecil. Setelah Pakto, ada lebih dari 200 bank.
Setelah Pakto, Danamon dan BCA cepat sekali membesar. Kenapa?
Owner-nya bisa memobilisasi dana masyarakat begitu besar.
Caranya?
Mereka memiliki skema produk baru. Masing-masing bank bebas membuat produk-produk untuk menghimpun dana. Ada bank yang berhasil menghimpun banyak dana, seperti Bank BCA dan Lippo.
Kenapa kebanyakan milik konglomerat?
Mereka barangkali telah punya modal, skill, keahlian.
Ada kemudahan ya?
Pemerintah tidak mempermudah. Kalaupun ada, kemudahan itu adalah keterbukaan. Izin dan persyaratannya terbuka. Deregulasi menghilangkan beberapa perizinan yang kaku dan tidak terbuka. Kita ingin jumlah bank bertambah karena waktu itu sedikit sekali. Mobilisasi dana juga hanya di kota-kota besar yang ada bank. Di desa itu tidak terjadi pelayanan perbankan. Maka lahir BPR, secondary bank. Sebelumnya tidak ada.
Apakah tujuan itu tercapai? Bukankah yang banyak terbantu malah pengusaha papan atas?
Ya, kita rasakan secara makro bagus. Kita ingin mempertahankan pertumbuhan yang tinggi agar bisa mengurangi pengangguran. Ada keuntungan timbal balik. Pengusaha seperti Salim bisa menginvestasikan dana masyarakat, sementara deposito membantu pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Tapi bank-bank itu kebanyakan menyalurkan ke perusahaannya sendiri?
Di sini kita harus menanyakannya kepada bank itu sendiri. Kalau bank itu tidak memberikan dana ke perusahaannya sendiri, apa alasannya. Yang penting nasabahnya terjamin. Kita juga memproteksi bank dengan aturan batas maksimum pemberian kredit.
Faktanya aturan itu dilanggar?
Kalau dilanggar ya kena sanksi. BI yang melakukan. Bank Summa ditutup dan Bank Duta juga hampir ditutup, tapi nggak jadi karena owner-nya mau bertanggung jawab.
Persoalannya para konglomerat itu dekat dengan Cendana?
Ya seperti itu kan ada. Ujug-ujug orangnya takut; pejabatnya takut—mungkin. Kadang-kadang ada campur tangan unsur-unsur pemerintah. Itu sebagai faktor nonteknis.
Anda mengalaminya?
Ada, tapi saya bisa mengatasi, misalnya dalam kasus BPPC. Mereka butuh Rp uang 800 miliar untuk membeli cengkeh. Saya bilang, kalau itu ditambah dengan mencetak uang baru, inflasinya bisa mengganggu pelaksanaan pembangunan. Lebih baik diambil dari plafon tambahan likuiditas masyarakat Rp 1,5 triliun. Kemudian, ada lagi yang mau menggunakan pinjaman BI untuk membeli bank. Saya bilang no way.
Pinjam BI? Bukankah dulu prosedur itu bisa dilakukan?
Dulu itu bisa dilakukan lewat bank-bank komersial yang dianggap kurang likuiditas. Misalnya, Bank Pasific tempo hari memperoleh pinjaman BI, tapi kemudian di-bail out supaya tidak mati. Pada waktu Pakto, banyak kasus bank seperti itu, ada sembilan kalau nggak salah. Waktu itu BI punya pikiran, kalau tidak ditolong maka bank ini bisa kolaps dan dampaknya macam-macam.
Kapan itu terjadi?
Dari 1981 sampai 1988. Begitu Pakto ditetapkan pemerintah, bank yang sakit struktural itu menjadi tanggung jawab pemilik dan manajemen. Sedangkan bank yang mismatch boleh kita tanggulangi. Itu kita pelajari setelah ada kasus bantuan likuiditas BI kepada bank-bank yang sakit, seperti Bank Pacific.
Pakto 88 juga bikin bank megap-megap karena persaingan tinggi?
Tujuan Pakto memang mendorong persaingan yang lebih fair dan meningkatkan layanan kepada masyarakat.
Bukankah Pakto juga membuat BI kewalahan mengawasi jumlah bank yang terlalu banyak?
Kalau Paktonya jalan, mestinya setiap tahun kita bisa memaksa bank-bank yang tidak kuat merger.
Artinya, awalnya dibuka agar banyak kemudian dipersempit lagi?
Ya, memang, dibuka untuk bisa mengerahkan dana masyarakat, kemudian pengawasan harus dilakukan agar bank-bank itu dalam keadaan sehat.
Bukankah akhirnya masyarakat juga yang dirugikan ketika banknya kesulitan likuiditas? Tidak menyiapkan skema perlindungan?
Belum terpikir. Perlindungan diberikan setelah krisis. Kalau sebelumnya kan tidak tampak ada masalah.
Apa kasus bank Summa tidak bisa menjadi pelajaran?
Bank Summa itu sesungguhnya struktural, bukan mismatch. Kalau mismatch, skema perlindungannya pasti ada. Jadi, yang ditanyakan itu kebanyakan hal yang terjadi pada waktu krisis, dan saya ada di luar pemerintahan ketika krisis.
Pakto 88 turut menyumbang terjadinya krisis?
Menurut saya, paket itu sudah tepat. Semua sudah pas. Setelah lima tahun ketika saya menjadi Menteri Keuangan kan tidak terjadi apa-apa. Ada masalah tapi bisa diatasi. Krisis sendiri baru terjadi lama setelah saya nggak di pemerintahan.
Menurut Anda, apa penyebab krisis?
Ya krisis mata uang itu. Itu yang utama.
Bukankah krisis di Indonesia lebih parah dibanding negara lain karena kondisi perbankannya rapuh?
Itu juga terjadi di Thailand. Mengapa cepat pulih? Tergantung pemerintah. Sebenarnya, kalau tidak ada krisis mata uang, bank kita tidak selemah itu. Pengawasan BI juga baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo