Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Soedradjad Djiwandono: Pasokan Uang Berpeti-peti

23 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOEDRADJAD Djiwandono seperti terlempar dari tanah airnya. Mantan Gubernur Bank Indonesia, tokoh kunci di balik krisis ekonomi 1997–1998 itu lebih senang menjauh ke negeri seberang, Singapura. Ia cuma sesekali menengok kampungnya. ”Ngapain pulang? Saya punya banyak masalah di Indonesia,” ujarnya pertengahan Juni lalu.

Ia belum tenang meski badai krisis telah berlalu. Kasus puluhan triliun rupiah bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terus menghantuinya. Ia sadar kasus ini bisa diungkit-ungkit lagi dan setiap saat bisa menjeratnya. Apalagi, ia pernah dijadikan tersangka pada 2002.

Sejak dipecat Presiden Soeharto 10 tahun silam, Djiwandono mengembara jauh. Berbekal pengalaman sebagai dosen, ia mengajar di Harvard University, Amerika Serikat, kemudian di Institute of Southeast Asian Studies dan di Universitas Teknologi Nanyang, Singapura.

Bersama istri, guru besar FEUI tinggal di kawasan Bukit Timah Hulu Singapura. Namun, ia bukan lagi gubernur bank sentral. Ke mana pun pergi, ia tak lagi diantar Volvo mewah seperti dulu. Saat menuju kantor di kampus Universitas Teknologi Nanyang, ia jalan kaki ratusan meter per hari, naik-turun bus kota dan kereta api. ”Untuk olahraga,” ujar pria yang masih segar di usia ke 69 tahun itu.

Di seberang lautan, ia mencoba mengajak sejawatnya para gubernur bank sentral negara yang terkena krisis untuk membela diri, tapi gagal. Mereka lebih suka mengucilkan diri. Ia bergerak sendiri, menulis sejumlah buku krisis ekonomi. Tujuannya sama: melawan stigma buruk BLBI yang terus membebani otaknya. ”Saya tak mau stroke gara-gara BLBI.” Di sela-sela pembuatan buku sejarah BI di gedung bank sentral Jakarta, ia bercerita panjang lebar kepada Tempo soal pengalamannya saat krisis.

Mengapa Anda lebih suka tinggal di negeri orang?

Ngapain saya pulang? Saya sudah 30 kali dipanggil kejaksaan sebagai saksi. Saya juga sempat dijadikan tersangka pada 2002. Tetapi setelah diperiksa setengah mati bertahun-tahun dan terbukti tak bersalah, tak ada satu kata pun keluar dari kejaksaan. Ya, semua orang apriori: BLBI identik dosa. Saya dianggap melahirkan BLBI yang kebetulan banyak masalah itu. Padahal, ini diberikan karena krisis. Tidak ada niat agar kami dapat duit atau apa.

Anda merasa diperlakukan tidak fair?

Jelas dong. Saat krisis, kami kerja pontang-panting. Rapat direksi dari seminggu sekali diubah dua kali sehari, pagi dan malam hari. Rapat ini dikenal sebagai morning and evening calls. Sabtu dan Minggu kami pun masuk kantor. Tapi, dicurigai kejaksaan, rapat kok tak sesuai aturan. Loh, namanya juga sedang krisis. Tapi, udahlah itu masih panjang ceritanya.

Cerita soal krisis, apa yang terjadi di balik kebijakan pemerintah mengubah sistem mata uang dari mengambang terkendali menjadi mengambang bebas?

Ketika baht Thailand diserang dan menjalar ke Indonesia, pemerintah semula menghadapi dengan pelebaran rentang kurs intervensi BI. Selama 1994 sampai Juli 1997, BI sudah tujuh kali melakukannya. Misalnya, saat krisis peso Meksiko, pelebaran kurs efektif meredam gejolak meski BI kehilangan US$ 600 juta. Namun, saat krisis Asia, ini tidak menolong. Rupiah tetap terpuruk hingga akhirnya, pada 14 Agustus, kurs rupiah dibebaskan.

Bagaimana prosesnya hingga putusan itu ditetapkan?

Awalnya dibahas Dewan Moneter, kemudian disampaikan ke Presiden (Soeharto). Kepada Presiden saya sampaikan alternatif, mengambang bebas atau pelebaran rentang kurs lagi. Kalau pilihan bebas sama sekali, BI tak perlu intervensi dan hemat devisa, sebab Thailand yang tetap menerapkan sistem mengambang terkendali kehabisan devisa karena intervensi besar-besaran. Keputusan kita lebih realistis, malah dipuji kreditor di forum Consultative Group on Indonesia (CGI) di Tokyo, Jepang, pada akhir Agustus 1997.

Tetapi, di dalam negeri disalahkan?

Saya ingat ketika mengumumkan keputusan itu pada pagi hari, 14 Agustus 1997, saat membuka acara Investor Forum di Jakarta Convention Center. Saat itu, peserta forum marah-marah mempertanyakan kebijakan itu karena sudah bertahun-tahun tidak berubah. Saya jawab, loh swasta kan harus melindungi utang valasnya yang banyak itu. Dari total utang luar negeri US$ 140 miliar, sekitar US$ 82 miliar milik swasta. Kalau lagi enak memang suka lupa hal penting.

Bagaimana situasi proses negosiasi, ketika pemerintah memutuskan minta bantuan IMF pada Oktober 1997?

Perlu disadari, negosiasi dengan IMF kurang dari dua minggu dengan program sangat luas tentu tidak realistis. Membahas neraca bank dengan banyak data untuk menentukan nasib bank juga tak realistis. Pokoknya, situasinya kalang-kabut deh.

Apa benar penutupan 16 bank pada 1997 syarat dari IMF?

Penutupan bank adalah syarat prioritas utang IMF. Karena itu 16 bank dilikuidasi 1 November, sedangkan persetujuan IMF baru 5 November atas LoI yang diajukan pemerintah dan BI pada 31 Oktober. Jumlah bank yang perlu ditutup hasil rembukan dengan mereka. Presiden setuju daftar bank itu, termasuk tiga bank yang sebagian sahamnya milik keluarga Cendana, seperti Bank Jakarta, Bank Andromeda, dan Bank Industri.

Mengapa langkah ini ditanggapi negatif oleh masyarakat?

Penutupan ini dipolitisir seolah terkait masalah Cendana dengan BI dan Departemen Keuangan. Akibatnya, tujuan awal memulihkan kepercayaan pasar justru berdampak buruk. Rush dana bank naik besar-besaran. Apalagi, pada saat yang sama beredar rumor bank lain akan ditutup. Faktanya, dalam side letters LoI 31 Oktober disebutkan, yang bermasalah lebih dari 16 bank, tetapi yang lain tak ditutup karena rumit seperti bank negara atau bank pembangunan daerah.

Sepertinya tarik-menarik penutupan bank sangat alot?

Kami telah mengusulkan penutupan sejumlah bank sebelum krisis melanda, akhir 1996 dan April 1997. Presiden tak setuju karena belum ada aturan likuidasi dan menyangkut dampak sosial-politik pemilu (Oktober 1997). Tapi, penutupan belum dilakukan, krisis keburu datang.

Bagaimana kepanikan di BI saat krisis terjadi?

Sungguh merisaukan. Bayangkan, pagi hari, saya memanggil pejabat BI untuk membeberkan masalah yang dihadapi. Malamnya dia lapor lagi, Pak, ini delapan bank bersaldo merah (negatif). Anda mau bilang apa? Ditutup semua? Gila, kan? Berminggu-minggu begitu situasinya. Kurs berapa, valas berapa. Data statistis sangat ngeri. Saya sampai takut bertemu wartawan, takut salah omong. Saat itu, selalu disiapkan dua mobil untuk mengecoh mereka, karena ada saja wartawan yang menunggu di BI, bahkan sampai subuh.

Apa yang terjadi di BI saat terjadi rush duit bank?

Itu juga mencekam. Penarikan dana nasabah memaksa BI menyediakan uang kertas besar-besaran. Setiap sore saya melihat uang kertas dimasukkan di tumpukan peti-peti kayu bekas di khazanah (gudang uang BI). Makin lama, tumpukan peti kian tinggi, karena rush tak berhenti. Ini memuncak pascapenutupan 16 bank awal November 1997. ATM yang kosong harus diisi lagi. Kalau dibiarkan kosong, negara ini bisa dianggap bangkrut.

Pasokan uang kertas cukup saat itu?

Kami terpaksa menambah pasokan uang, termasuk pecahan Rp 50 ribuan dari plastik. Uang ini sebenarnya dikeluarkan Gubernur BI sebelumnya untuk commemorative notes atau Peringatan 25 Tahun Indonesia Membangun pada 1993, namun tak laku karena dicetak berlebihan. Sebanyak Rp 245 miliar diedarkan Januari 1998 karena rush nasabah.

Apa alasan Presiden Soeharto memecat Anda sebagai Gubernur BI?

Mungkin marah. Saya jelas sedih. Orang sedang bekerja tiba-tiba dipecat.

Mengapa krisis Indonesia berkepanjangan?

Mata uang regional bergejolak karena sentimen pasar meyakini kelemahan struktural ekonomi negara di Asia, seperti Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan. Mereka melihat pengusaha Asia lebih menerapkan kapitalisme kroni atau ersatz capitalism. Contohnya, Soeharto sakit, ekonomi ikutan tak pasti. Thailand dan Korea cepat pulih karena LoI IMF diteken pemerintah baru. Di sini diteken Soeharto dan B.J. Habibie yang sama-sama dianggap Orde Baru. Masalah lain Indonesia adalah konsistensi. Kebijakan tiba-tiba berubah di tengah jalan.

Di Singapura, Anda beli atau sewa rumah?

Apakah hidup saya pantas punya duit banyak? Apakah saya punya rumah banyak, perusahaan, pacar baru atau kawin lagi? Tidak. Jadi komisaris saja tidak. Saya cuma terima gaji dari dunia akademik. Di sini saya sewa rumah, sudah tiga kali pindah karena tak kuat bayar sewa, hahaha.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus