Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERPANJANGAN kontrak karya Freeport identik dengan persekongkolan. Jauh sebelum ribut-ribut kasus Freeport menyeret Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto dan importir minyak Muhammad Riza Chalid, kongkalikong serupa terjadi dua dekade silam. Jurusnya hampir sama: "Papa Minta Saham".
"Perpanjangan kontrak itu tidak lepas dari persekongkolan pada pemerintahan Orde Baru," kata ekonom Universitas Gadjah Mada yang juga mantan anggota Tim Anti-Mafia Migas, Fahmi Radhy, Kamis pekan lalu.
Terjadi di era Presiden Soeharto, kebijakan memperpanjang kontrak karya itu diteken pada 1991, enam tahun lebih cepat sebelum berakhirnya masa kontrak. Sejumlah tokoh di lingkaran Soeharto, termasuk Ginandjar Kartasasmita, yang saat itu Menteri Pertambangan dan Energi, disebut-sebut terlibat dalam persekongkolan kontrak karya generasi kedua ini.
Cerita persekongkolan itu bermula pada 1988. Saat itu Freeport menemukan Grasberg, tambang terbuka di permukaan tanah. Untuk mengeduk emas di sana, Freeport butuh duit. Dengan sisa masa kontrak tak lebih dari 10 tahun, sulit bagi perusahaan yang berbasis di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat, itu mendapatkan kredit untuk memproduksi emas di Grasberg.
Pada saat itulah bos Freeport, James Moffett, bolak-balik mendekati Ginandjar. Mereka cepat akrab. Tak cuma saling mengunjungi, keduanya kerap main golf dan makan malam bersama di restoran. Laporan Tempo pada 1998 mengungkap, Moffett meminta masa kontrak Freeport diperpanjang dan kawasan tambangnya diperluas. Sebagai gantinya, Ginandjar meminta perubahan isi kontrak karya.
Pemerintah ingin tarif pajak tambang dinaikkan dan industri peleburan tembaga dibangun di dalam negeri. Perubahan penting lain: Freeport mesti menaikkan kepemilikan saham "nasional". Jumlah saham yang dikantongi pemerintah saat itu hanya 10 persen. Sisanya dikuasai Freeport-McMoRan Copper & Gold, perusahaan yang tercatat di bursa New York, Amerika Serikat.
Porsi nasional ini seharusnya bertambah 20 persen sebelum 2001. Divestasi akan berlanjut pada Oktober 2019, sehingga porsi kepemilikan nasional mencapai 30 persen. J.B. Sumarlin, Menteri Keuangan saat itu, memutuskan tidak akan menambah porsi saham yang dimiliki pemerintah.
Kesempatan itu akhirnya diberikan ke pihak swasta tanpa ada tender. Divestasi tahap pertama 10 persen itu jatuh ke tangan ke PT Indocopper Investama Corporation, anak usaha Bakrie Group. Bakrie membayar US$ 212,5 juta untuk 9,36 persen saham Freeport, sehari setelah kontrak karya baru diteken pada Desember 1991. "Kami sudah menawarkan, tapi hanya Bakrie yang datang," kata Moffett, seperti dikutip Tempo, Januari 1999.
Transaksi itu dianggap janggal karena Indocopper tidak punya cukup uang. Dananya sebagian besar diperoleh dari utang yang dijamin oleh Freeport. Setahun kemudian, Freeport-McMoRan menebus separuh dari saham yang dikuasai Bakrie dengan harga dua kali lipat. Pada awal 1997, Bakrie melepas saham yang dimiliki Indocopper kepada PT Nusamba Mineral Industri, milik pengusaha Mohammad "Bob" Hasan. Lima tahun kemudian, Bob Hasan menjual seluruh sahamnya kepada Freeport.
Setelah Soeharto lengser, Kejaksaan Agung pernah mengusut kasus ini. Proses politik untuk memanggil direksi PT Freeport Indonesia terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat. Ginandjar ikut dipanggil ke Gedung Bundar di Kejaksaan Agung. Tapi, hingga kini, pengusutan kasus itu tak jelas ujungnya.
Agus Supriyanto, Ayu Prima Sandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo