Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Huma Gurung, warga Nepal berusia 35 tahun, lebih dari sebulan tak bisa membeli makanan kegemarannya, papad. Kudapan semacam wafer tipis yang populer di Asia Selatan itu menghilang di pasar-pasar di Besisahar, titik awal jalur trekking Annapurna Circuit di Nepal tengah. "Ini umumnya berasal dari India. Karena blokade perbatasan, bahkan papad pun sulit ditemukan. Saya harus membeli papad di pasar gelap dengan harga tiga kali lipat, seperti minyak dan bensin," kata Gurung kepada Tempo, dua pekan lalu.
Menurut penyedia informasi ekspor dan impor swasta India, InfodriveIndia, perdagangan papad melalui Birgunj dan Raxaul—wilayah perbatasan antara Nepal dan India—dihentikan sejak 15 September. Bukan hanya papad, komoditas pokok seperti minyak, bensin, obat-obatan, dan vaksin yang melintasi Birgunj-Raxaul juga terkena blokade. Lebih dari 60 persen impor Nepal harus melalui wilayah ini, yang merupakan satu dari enam rute pengangkutan penting antara Nepal dan India.
Penghentian perdagangan itu sudah berlangsung sejak Majelis Konstituante Nepal mengadopsi konstitusi pertama yang dihasilkannya pada 16 September lalu, yang menyatakan Nepal sebagai negara republik demokrasi federal yang merdeka, berdaulat, sekuler, inklusif, dan berorientasi sosialisme. Tapi kelompok-kelompok minoritas, kebanyakan dari wilayah selatan, keberatan terhadap ketentuan dalam konstitusi mengenai kesetaraan dan keterwakilan elektoral.
Tetangga Nepal di selatan, India, juga tak menyukai pernyataan mengenai nilai-nilai sekuler dalam konstitusi itu, yang bukan Hinduisme. Blokade perbatasan Nepal-India mulanya dilakukan oleh komunitas di wilayah dataran di selatan dengan aksi mogok. Pabean dan pasukan keamanan India memperluasnya. Mereka lalu memberlakukan pembatasan lalu lintas tangki minyak dan truk kargo.
Ketika blokade perbatasan memasuki bulan ketiga, masyarakat internasional mulai menyatakan keprihatinan serius atas kian buruknya krisis kemanusiaan di Nepal setelah gempa bumi pada April lalu. UNICEF, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi anak-anak dan pendidikan, mengingatkan pada 30 November lalu bahwa lebih dari tiga juta anak-anak Nepal terancam menderita berbagai penyakit, bahkan meninggal, selama musim dingin ini karena kekurangan bahan bakar, makanan, obat-obatan, dan vaksin.
"Rumah sakit di Nepal kehabisan obat untuk keadaan darurat. Mereka yang selamat dari gempa belum pulih, dan seluruh negeri berpenduduk 30 juta orang dalam keadaan tersandera. Buddha sedang tidak tersenyum," Kunda Dixit, seorang wartawan, menulis dalam salah satu artikelnya.
Blokade perbatasan India serta krisis akibat kelangkaan barang kebutuhan pokok dan obat-obatan sebenarnya bukan hal baru bagi Nepal. Pada 1988-1989, pemerintah India yang dipimpin Perdana Menteri Rajiv Gandhi memberlakukan embargo perbatasan terhadap Nepal selama 13 bulan setelah Nepal membeli senjata dari Cina. Kebetulan pula waktu itu Nepal baru saja dihantam gempa berkekuatan 6,9 skala Richter.
Nepal memang terletak di antara kekuatan besar India dan Cina, yang bersaing di berbagai sektor, ekonomi dan politik. Dalam posisi geopolitik yang sensitif inilah negara tertua di Asia Selatan yang berlokasi di Himalaya itu melatih diri untuk tak memihak kepada tetangganya di selatan ataupun utara. Tapi setelah Nepal pada 2008 beralih rupa menjadi republik, dari semula monarki, tekanan diplomatik dan politik ikut berubah. Baik platform partai komunis yang berkuasa di Cina tentang "One Belt, One Road" maupun platform Bharatiya Janata Party yang berkuasa di India tentang Hindutva (nasionalisme Hindu), keduanya sama-sama mencari dukungan Nepal. Kedua negara tetangga ini menyumbang 85,5 persen (India 51 persen, Cina 34,5 persen) pada total nilai impor Nepal.
Komposisi krisis Nepal kali ini meliputi tiga hal: posisi geopolitik, persaingan kekuatan di antara elite partai politik, dan aspirasi rakyat terhadap pemerintahan yang melibatkan semua pihak. "Ini tentang ego yang terluka di kalangan mapan New Delhi yang berusaha memberi pelajaran terhadap politikus Nepal karena tak mendengarkan mereka," kata mingguan berita Nepali Times dalam editorialnya di edisi ke-779.
Dampak sosial dan ekonomi dari blokade perbatasan diperkirakan melampaui dampak gempa yang lalu. Perhitungan Nepali Times mendapatkan tingkat kemiskinan Nepal yang telah turun dari 45 persen menjadi 22 persen selama 15 tahun terakhir kini bakal naik drastis. Gempa pada April lalu melemparkan 700 ribu orang ke bawah garis kemiskinan (pendapatan US$ 1,9 per hari) dan blokade telah menambah jumlah itu dengan 800 ribu orang lainnya.
Sekitar dua juta korban gempa harus bertahan hidup di tempat penampungan sementara selama musim dingin ini, ketika suhu udara jatuh di bawah nol derajat Celsius begitu matahari tenggelam. Buku putih pemerintah Nepal baru-baru ini melaporkan penerimaan pajaknya turun US$ 355 juta selama empat bulan terakhir saja. Pada periode yang sama, kerugian sektor swasta telah melewati US$ 1.872 juta.
Pariwisata merupakan sektor yang paling terkena akibatnya; pendapatannya terpangkas hingga setengahnya. Diperkirakan lebih dari 200 ribu orang kehilangan pekerjaan karena banyak industri tutup setelah gempa yang disusul blokade perbatasan. Perkiraan pertumbuhan ekonomi Nepal tahun ini pun diturunkan menjadi 2 persen saja dari rata-rata 4 persen seperti diyakini sebelumnya.
"Jika keadaan ini berkepanjangan, bisa terjadi kekacauan serupa dengan peristiwa menjelang pemberontakan kaum Maois pada 1996," kata Om Astha Rai, wartawan yang berpengalaman lebih dari 15 tahun di media arus utama. Kekhawatirannya didasari tuntutan amendemen konstitusi oleh kaum Madhes di wilayah selatan yang tak mungkin dipenuhi, sikap cuci tangan pemerintah Nepal, dan nihilnya tanda-tanda India bakal mencabut blokade.
Kebanyakan rakyat Nepal harus berjuang mendapatkan bahan kebutuhan pokok sehari-hari seperti makanan, bahan bakar, dan obat-obatan. Pompa bensin di Kathmandu, ibu kota, kebanyakan tutup serta antrean panjang sepeda motor, bus umum, dan taksi adalah pemandangan yang lazim.
Rekonstruksi gedung-gedung yang rusak akibat gempa juga tak bisa dilanjutkan. Perapian mustahil dinyalakan. Karena itu, kompor listrik dan penanak nasi listrik menjadi satu-satunya pilihan. "Saya takut menerima tagihan listrik bulan ini. Kami sepenuhnya bergantung pada listrik untuk setiap kebutuhan di rumah," kata Gopal Awale dari Patan, kota terbesar ketiga di Nepal.
Seulki Lee (Kathmandu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo