Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andersen telah menggunakan jari-jarinya yang sakti mandraguna hingga dongengnya kini menjadi kerajaan di hati setiap anak di dunia. Demikian pula Mark Twain dengan petualangan Tom Sawyer dan Huckleberry Finn, Enid Blyton dengan serial Lima Sekawan, Roald Dahl dengan Matilda, dan berbagai serial dongeng lainnya yang telah berhasil menapak di lorong hati anak-anak sedunia.
Kenapa cerita anak-anak begitu penting?
Selain kami mencari alternatif untuk menyambut libur sekolah dan Hari Anak pada 26 Juli nanti, Iqra kali ini juga ikut menyambut peluncuran salah satu buku anak-anak terdahsyat di dunia, yaitu serial Harry Potter.
Serial keempat tentang seorang anak ajaib karya Joanne Kathleen Rowling itu akan diluncurkan pada 8 Juli nanti di berbagai belahan dunia (kecuali Indonesia, yang baru akan meluncurkannya September mendatang). Apa yang begitu istimewa dari ketiga buku serial Harry Potter itu? Belum pernah ada buku anak-anak yang diterjemahkan ke dalam 30 bahasa di 200 negara hanya dalam waktu tiga tahun. Buku ini telah menghasilkan US$ 27 juta bagi Rowling. Dan bukunya yang keempat yang akan terbit itusetebal 700 halamandiperkirakan akan mengalirkan uang sebesar US$ 20 juta ke kocek Rowling. Kini, janda cerai berputri seorang itu terhitung sebagai wanita terkaya nomor tiga di Inggris Raya.
Kenapa dia bisa begitu sukses meski sebelumnya sudah ada penulis anak-anak terkemuka seperti Roald Dahl dan Enid Blyton?
Tokoh Harry Potter adalah seorang yatim-piatu yang dipelihara oleh paman-bibinya yang luar biasa menyebalkan. Hidupnya begitu sengsara hingga suatu keajaiban hinggap padanya. Seekor burung hantu menunjukkan bahwa Potter memiliki kemampuan sihir. Dan untuk berbuat kebaikan, dia melatih kemampuan sihirnya di Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry. Kisah petualangan Harry dengan berbagai keajaiban dalam tiga edisi itulah, yakni Harry Potter and the Philosopher's Stone, Harry Potter and the Chamber of Secrets, dan Harry Potter and the Prisoner of Azkaban, yang telah membawa jutaan pembacaanak-anak dan dewasabertamasya ke Dunia Dongeng tanpa batas. Kelebihan Rowling adalah dia mampu membuat anak-anak, bahkan orang dewasa, mengidentifikasi diri dengan Potter. Potter bukan anak yang tampan. Dia berkacamata tebal dan cenderung dianggap "berbeda" atau "aneh". Rowling menunjukkan bahwa "it is fine to be different" ("tak soal jika kita berbeda dengan yang lain"). Konsep ini adalah konsep yang tengah populer di negara-negara Barat, tampat kaum yang konformis dan konvensional tengah digugat.
Selain itu, keistimewaan Rowling, seperti halnya Roald Dahl dan Sue Townsend, adalah kemampuannya menunjukkan bahwa sastra adalah bacaan yang bisa menembus berbagai lapisan pembacadari segala usia, kelompok, ras, dan latar belakang pendidikandan membawa mereka ke sebuah dunia yang hidup di alam imajinasi. Biarkan dunia itu menjadi liar, biarkan dia berkembang dan berkelok semaunya . Bukankah itu kekayaan fantasi yang kelak memiliki hidupnya sendiri dalam bentuk sebuah buku cerita?
Nun di London yang cerah, 8 Juli yang dinanti, jutaan pembaca Harry Potter akan menanti di tujuh stasiun dengan harap cemas. Sang penulis, J.K Rowling, akan mengendarai kereta api dengan nama Hogwarts Expresssesuai dengan nama sekolah tokoh Potterdan berhenti di tujuh stasiun untuk menemui penggemarnya dan menandatangani buku setebal 700 halaman itu yang terbaru.
Buku serial Harry Potter dan beragam buku lain yang sudah beredar di Indonesia kami pilihkan agar Anda dan anak-anak memiliki dunia alternatif selain bermain Playstation dan melenggang di mal. Dunia ini memang jauh dari ingar-bingar konsumerisme dan menawarkan kehidupan alam imajinasi yang fantastis. Selamat bertamasya ke Dunia Dongeng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo