Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kontribusi tambahan menjadi momok para pengembang pulau reklamasi di Teluk Jakarta. Setelah mereka setuju menghibahkan 35 persen lahan tiap pulau untuk ruang terbuka hijau serta 5 persen untuk fasilitas umum dan khusus, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama masih mewajibkan mereka menyetor 15 persen dikali nilai pajak dikali luas lahan yang bisa dijual.
Nilai sebesar itu berupa pembuatan pelbagai fasilitas di daratan Jakarta, seperti proyek pencegahan banjir. Jika mengacu pada perkiraan nilai pajak saat pulau mulai dijual, Rp 25 juta per meter persegi, pemerintah bakal mendapat Rp 48 triliun dari sepuluh perusahaan yang membangun 17 pulau.
Pengembang tentu keberatan. Sugianto Kusuma salah satu yang getol berusaha memangkas kewajiban itu. Bos Agung Sedayu Group ini punya lima pulau seluas total 1.329 hektare, melalui PT Kapuk Naga Indah, sehingga akan paling besar membayar kontribusi. Ia diduga memakai pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk menyetop keinginan Gubernur Basuki itu.
Salah satunya lewat nilai jual obyek pajak (NJOP) yang ditekan semurah mungkin. Usaha itu dicoba digolkan lewat Prasetyo Edi Marsudi, Ketua DPRD dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. "Dia minta supaya NJOP antara Rp 3 juta dan Rp 10 juta saja," kata Mohamad Taufik, Wakil Ketua DPRD dari Gerindra, pekan lalu.
Taufik dihubungi Prasetyo pada awal Januari lalu. Saat itu, DPRD sedang panas-panasnya membahas Rancangan Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Di dalamnya diatur soal kontribusi tambahan. Ketika itu, sebagai Ketua Badan Legislasi, Taufik hendak memanggil Dinas Pajak dan Badan Pertanahan Nasional untuk membicarakan NJOP. "Kata dia, itu titipan Aguan," ujar Taufik menyebut panggilan Sugianto Kusuma.
Kepala Dinas Pelayanan Pajak Agus Bambang mengkonfirmasi, lobi anggota Dewan sangat gencar agar NJOP pulau reklamasi ditetapkan sangat rendah. Pemerintah ketika itu menyodorkan NJOP perkiraan Rp 18-22 juta per meter persegi berdasarkan nilai pajak daratan terdekat dari reklamasi, yakni Pantai Indah Kapuk di Jakarta Utara.
Pembahasan soal itu alot benar. Taufik dan anggota Dewan ngotot NJOP maksimal hanya Rp 10 juta, sementara pemerintah juga berkeras mendasarkannya pada Pantai Indah Kapuk. Gagal melunakkan Agus Bambang, Taufik mengontak Prasetyo dan melaporkan misi telah gagal. "Tapi ini bukan untuk menurunkan kontribusi pengembang," kata Taufik.
Prasetyo membenarkan kabar bahwa ia menelepon Taufik meminta NJOP dibuat Rp 10 juta. Tapi ia menyangkal melobi Badan Legislasi atas perintah Aguan. "Itu inisiatif saya," ujarnya. Namun, ketika ditanyai soal Aguan, Prasetyo menyebutkan, "Ia bos saya, pengusaha yang sukses membangun Pantai Indah Kapuk."
Prasetyo beralasan, kontribusi tambahan yang ditetapkan Basuki terlalu besar dan akan menjadi beban pengembang. "Gue enggak mau pemerintah nginjek pengembang, pengembang nginjek pemerintah."
Aguan tak menjawab pertanyaan apakah ia telah memerintahkan Prasetyo agar kontribusi tambahan dibuat sekecil mungkin. Ia tak mau menjawab setelah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi, Senin pekan lalu. Aguan dicegah ke luar negeri untuk pemeriksaan Mohamad Sanusi, politikus Gerindra tersangka penerima suap reklamasi, dan Ariesman Widjaja, Direktur Utama Podomoro Land, yang memberinya sogokan.
Upaya menjegal kontribusi tambahan pengembang tak hanya dilakukan melalui NJOP. Suap kepada Sanusi diduga untuk menurunkan kontribusi dari 15 persen menjadi 5 persen. Dan Sanusi sesungguhnya bukan anggota Badan Legislasi sejak mula. Adik Taufik ini masuk Badan Legislasi pada 21 Oktober 2015, menjelang pembahasan rancangan peraturan daerah itu.
Taufik, Ketua Gerindra Jakarta, beralasan memasukkan adiknya ke Badan Legislasi untuk penyegaran. "Sanusi menggantikan orang separtainya yang cuti hamil," kata Krishna Murthi, pengacaranya. Masalahnya, jabatan-jabatan di tempat lain tak diserahkan Sanusi kepada politikus lain. Karena itu, selain anggota Badan Legislasi, ia menjabat Ketua Komisi Pembangunan dan anggota Badan Anggaran.
Sanusi orang yang cocok menjadi jembatan Dewan dengan pengembang dalam urusan reklamasi, selain Prasetyo Edi. Ia berkongsi dengan Podomoro mengelola pusat belanja Thamrin City. Sedangkan Prasetyo hingga kini masih bekerja di salah satu perusahaan Aguan, kendati mengaku tak ikut campur mengelola urusan teknis.
Dengan kedekatan itu, Prasetyo membawa pimpinan DPRD menemui Aguan di rumahnya di Pantai Indah Kapuk, awal Desember 2015. Prasetyo membawa serta Ketua Panitia Khusus Reklamasi Selamat Nurdin dari Partai Keadilan Sejahtera dan Ongen Sangaji dari Hanura, selain Taufik dan Sanusi.
Selamat Nurdin membenarkan adanya pertemuan itu, tapi menyangkal membicarakan reklamasi. "Kami hanya makan siang dan berkenalan," ujarnya. Yang jelas, menurut Inggard Joshua dari NasDem, setelah kumpul-kumpul itu, beredar kabar ada suap Rp 5 miliar bagi anggota yang mendukung penurunan kontribusi.
Itu baru suapnya. Ada pula iming-iming lain, seperti diskon bagi anggota Dewan jika membeli apartemen di pulau reklamasi, juga uang rapat agar pembahasan peraturan daerah itu mencapai kuorum. "Saya ditawari Rp 100 juta oleh pimpinan," kata Fajar Sidik dari Gerindra.
Ada juga ongkos jalan-jalan ke luar negeri dan hadiah mobil Alphard. Taufik salah satu yang disebut mendapat suap berupa sangu dan tiket berlibur ke Amerika Serikat dari Aguan. Ia menyangkalnya. "Kalau ke sana, gue masih mampu," ujarnya.
Menurut Sanusi kepada penyidik KPK, perintah sogok itu datang langsung dari Aguan. Suatu kali pada Desember 2015, ia dipanggil Aguan ke kantornya di Harco Mangga Dua, Jakarta. Aguan meminta Sanusi berkoordinasi dengan anaknya, Richard Halim Kusuma. Seperti ayahnya, Richard dicegah bepergian ke luar negeri.
Setelah pertemuan di Harco itu, Sanusi menyampaikan keinginan Aguan kepada Sunny Tanuwidjaja, anggota staf khusus Gubernur Basuki. KPK telah menyadap percakapan mereka tentang kontribusi reklamasi. Perencanaan itu buyar begitu Sanusi ditangkap KPK pada awal Maret lalu.
Menurut Asisten Sekretaris Daerah Bidang Pembangunan Gamal Sinurat, siasat lain anggota Dewan adalah memindahkan kontribusi tambahan dari peraturan daerah ke peraturan gubernur. Taufik orang yang disebut getol melobi opsi ini. Lobinya hampir berhasil ketika pemerintah sepakat mengatur kontribusi dalam peraturan gubernur pada hasil pembahasan Februari lalu.
Taufik menilai kontribusi dalam rancangan peraturan daerah tak memiliki dasar hukum. Ia mengklaim bertemu dengan Gubernur Basuki membicarakan soal itu, dan setuju soal kontribusi dihilangkan dari peraturan daerah. "Itu yang saya bilang dia menipu, fitnah," ujar Basuki ketika dimintai konfirmasi.
Gagal mempengaruhi Basuki, Taufik mengontak Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Heru Budi Hartono. Heru termasuk pejabat yang dipercayai Basuki, sehingga ia diajak menjadi calon wakil gubernur dalam pemilihan tahun depan melalui jalur nonpartai. "Dia orang dekat Gubernur," kata Taufik. "Setiap pejabat dekat dengan Ahok," Heru menimpali.
Erwan Hermawan, Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo