Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jika Asal-asalan, Kami Tak Menang di Pengadilan

17 Juli 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMISI Pemberantasan Korupsi telah bersiap dengan jawaban atas tuduhan yang dikumpulkan Panitia Angket Dewan Perwakilan Rakyat. Panitia ini hendak menyelidiki sejumlah penyidikan KPK yang mereka anggap menyalahi aturan. Meski telah siap, pimpinan KPK memutuskan tak akan datang jika dipanggil Panitia untuk diperiksa. "Kami menunggu putusan uji materi keabsahan angket di Mahkamah Konstitusi," kata Ketua KPK Agus Rahardjo.

Salah satu tuduhan DPR adalah KPK mengangkat penyidik polisi tanpa persetujuan Markas Besar Kepolisian RI. Menurut Agus, tuduhan itu bertujuan mengadu domba KPK dengan polisi, yang selama ini punya hubungan yang bagus. Agus ditemani Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif dan juru bicara Febri Diansyah saat menjawab tuduhan-tuduhan DPR yang ditanyakan Anton Aprianto, Anton Septian, Wayan Agus Purnomo, Syailendra Persada, dan Mitra Tarigan dari Tempo pada Jumat pekan lalu.

Apakah KPK akan datang ke sidang Panitia Khusus di DPR?

Agus: Kami menunggu putusan uji materi di Mahkamah Konstitusi. Sebab, jika merujuk pada aturan, kami menafsirkan KPK bukan obyek hak angket. Maka kami lihat bagaimana pendapat Mahkamah.

Berdasarkan temuan Pansus, Badan Pemeriksa Keuangan menyebut pimpinan KPK berkirim surat ke polisi pada 2014 terkait dengan pengangkatan 28 penyidik. Isinya, pimpinan meminta polisi menerbitkan surat dengan tanggal yang sudah dimundurkan menjadi tahun 2012 untuk memberhentikan mereka. Benarkah?

Agus: Pada 1 Oktober 2012, KPK memang mengangkat 28 pegawai tetap dari kepolisian untuk mengisi posisi penyidik dan jabatan lain. Keesokan harinya, KPK mengirimkan surat pemberitahuan. Secara aspek hukum, pengangkatan 28 pegawai tetap dari polisi ini sudah memenuhi aspek legalitas sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK.

Panitia Angket juga menuding KPK menyalahgunakan kewenangan penyadapan....

Agus: Pertama yang perlu dijelaskan adalah KPK merupakan satu-satunya lembaga yang diaudit soal penyadapan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika sampai 2015. Namun, setelah itu, muncul putusan Mahkamah Konstitusi sehingga Kementerian merasa tidak berwenang mengaudit penyadapan. Tapi kami pastikan semua proses penyadapan sudah sesuai dengan prosedur.

Bagaimana prosedur penyadapan di KPK?

Laode: Penyadapan hanya bisa dilakukan jika sudah masuk tahap penyelidikan sesuai dengan undang-undang. Dan kami selalu berhati-hati ketika akan menyadap. Ada mekanisme internal yang ketat.

Artinya, bisa saja seseorang yang diduga melakukan korupsi disadap seumur hidup?

Laode: Itu tidak mungkin. Berbicara penyadapan itu bukan sampai kapan seseorang disadap, tapi pada tahap apa. Dan seperti sudah saya jelaskan, penyadapan hanya dilakukan jika sudah masuk penyelidikan.

Panitia Angket juga mendapat informasi bahwa penyidik KPK mengintimidasi tersangka untuk mendapatkan keterangan. Benarkah?

Agus: Itu tidak mungkin karena semua proses interogasi sesuai dengan prosedur. Kami merekam semua pemeriksaan.

Anggota DPR menuduh kamera dimatikan saat intimidasi....

Agus: Ini lebih ngawur lagi. Kami pernah mengajak anggota Komisi Hukum DPR berkeliling gedung KPK. Mereka lihat sendiri kamera pengawas di ruang pemeriksaan menyala 24 jam.

Panitia Angket juga punya informasi tentang penetapan tersangka dengan bukti lemah. Apa tanggapan Anda?

Laode: Perlu diingat satu hal, KPK tidak memiliki mekanisme penghentian penyidikan, sehingga kami harus sangat hati-hati dalam mengumpulkan bukti. Bahkan banyak juga laporan yang masuk ke Divisi Pengaduan Masyarakat tidak berlanjut ke penyelidikan karena bukti permulaan yang lemah. Maka kami sangat hati-hati.

Agus: Untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka, dibutuhkan dua alat bukti kuat. Nah, jika dikatakan bukti KPK lemah, bagaimana bisa mayoritas perkara yang dibawa KPK ke pengadilan divonis bersalah? Bahkan beberapa perkara yang bebas di tingkat pertama diputus bersalah di Mahkamah Agung. Kalau asal-asalan, tidak mungkin menang di pengadilan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus