Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemeriksaan virus corona Indonesia termasuk yang paling rendah dibanding negara lain.
Bulan lalu, Presiden Jokowi menargetkan 10 ribu pemeriksaan per hari.
Dengan minimnya pemeriksaan, epidemiolog menyarankan penundaan new normal.
JAKARTA -- Bagi pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, rencana pemberlakuan aturan normal baru masih jauh panggang dari api. Dosen dan peneliti di Fakultas Kesehatan Masyarakat itu menilai Indonesia belum siap menjalankan tata kehidupan baru di tengah wabah virus corona layaknya sejumlah negara lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pandu khawatir pelaksanaan normal baru yang terus dikampanyekan pemerintah malah bakal melonjakkan jumlah kasus Covid-19. Terlebih, dia melanjutkan, pemeriksaan serta pengawasan pasien dan terduga pasien Covid-19 masih sangat minim. "Belum sampai ke titik-titik permukiman padat yang berpotensi membuat ledakan kasus," kata dia kepada Tempo, dua hari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alih-alih mengakhiri pembatasan sosial berskala besar (PSBB), Pandu menyarankan agar pemerintah melonggarkan pembatasan di wilayah yang relatif lebih dapat mengendalikan wabah virus corona. Setelah itu baru berpikir soal tatanan normal baru dalam skala yang lebih luas. "Tentu dibarengi dengan peningkatan kewaspadaan," ujar dia. Caranya, antara lain, dengan tetap menjalankan protokol kesehatan, menggenjot pemeriksaan swab dan uji spesimen di laboratorium, serta menelusuri kontak pasien Covid-19.
Masalahnya, angka tes di Indonesia dengan lebih-kurang 260 juta penduduknya memiliki rasio pemeriksaan virus corona yang rendah. Hingga Mei lalu, baru 88.924 orang yang telah melalui uji tes PCR. Bandingkan dengan Malaysia, misalnya, yang telah memeriksa 205 ribu orang dari total populasi 32 jutaan.
Adapun jumlah yang sudah dites (PCR) hingga Mei lalu sekitar 88.924 orang. Angka tersebut jauh berbeda dibanding di Malaysia. Berdasarkan situs web Our World In Data, negara terdekat dengan Indonesia itu telah mengetes 205.594 orang dari sekitar 32 juta total penduduknya hingga 4 Mei. Sedangkan Singapura, yang berpenduduk sekitar 5,8 juta jiwa, sudah mengetes 143.919 orang per 27 April lalu.
Pada bulan lalu, Presiden Jokowi mematok target tinggi: menjalankan 10 ribu tes PCR per hari. Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengakui ambisi besar itu belum tercapai.
Menurut Wiku, awalnya, pemerintah terbentur keterbatasan jumlah petugas dan kapasitas laboratorium yang hanya ada di Jakarta. Pemerintah lalu menambah jumlah laboratorium dan petugas. Upaya lain untuk mencapai target Presiden itu adalah menambah pasokan reagen PCR dari luar negeri.
Wiku menambahkan, rasio tes per jumlah penduduk Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan negara lain. "Alasannya, faktor geografis, kekuatan ekonomi, dan jumlah penduduk," kata dia.
Saat ini, Wiku memastikan Indonesia tidak lagi kekurangan reagen, berkat hasil kerja sama dengan sejumlah negara, seperti Korea Selatan dan Cina. "Hanya, kurang maksimal dalam sampel yang dites," kata dia.
Menurut guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia itu, fasilitas kesehatan seharusnya lebih proaktif dan terukur dalam pemeriksaan. "Gampangnya, ODP (orang dalam pemantauan) dan PDP (pasien dalam pengawasan) yang dites. Jangan lama mencari-cari orang yang sehat," kata Wiku.
Dengan kecukupan alat tes, Wiku melanjutkan, seharusnya jumlah orang dalam pemantauan dan pasien dalam pengawasan bisa berkurang. Status mereka bisa dipastikan, entah positif atau negatif Covid-19. "Selanjutnya, kebutuhan fasilitas isolasi dan lainnya akan mengacu pada data itu," ujarnya.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, menurut Wiku, juga membenahi sistem pendataan kasus dengan membuat platform yang memudahkan fasilitas kesehatan melaporkan dan memasukkan data yang kemudian diolah secara terpusat. "Sudah ada platform yang kami buat, Bersatu Lawan Corona, itu sudah pas," ujar Wiku. Kendati demikian, dia menyebutkan masih ada sejumlah kendala, misalnya kebingungan pelaporan di tingkat fasilitas kesehatan dan kerumitan birokrasi.
Sebelumnya, pelaksana tugas Deputi II Bidang Penanganan Darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Dody Ruswandi mengatakan tengah menyiapkan sejumlah rumah sakit darurat di daerah untuk mengantisipasi lonjakan jumlah pasien. BNPB bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Dody memprediksi puncak pandemi di Indonesia akan terjadi pada bulan ini. Dengan demikian, dia berharap kurva kasus akan melandai setelah mencapai puncak. Tentu dengan tes yang masif.
INGE KLARA SAFITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo