Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tarik-Ulur Beleid Pengganti

Tiga klausul dalam peraturan pemilu dianggap bisa menghambat pelaksanaan pesta rakyat 2009. Pemerintah menyiapkan aturan pengganti undang-undang.

23 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA kelompok orang berkerut dahi di ruang Asean Hotel Sultan, Jakarta Selatan, Selasa malam pekan lalu. Mereka adalah birokrat dari Departemen Dalam Negeri, politikus Senayan, dan pimpinan Komisi Pemilihan Umum.

Tiga hal penting persiapan pemilu mereka bahas malam itu: pemutakhiran data pemilih yang belum terdaftar, keabsahan cara penandaan kertas suara alias soal coblos dan contreng, serta penetapan calon anggota legislatif terpilih. Yang terakhir ini jadi masalah setelah Mahkamah Konstitusi menetapkan pemenang pemilu adalah mereka yang mendapat suara terbanyak—bukan berdasarkan nomor urut.

Soal pertama menjadi problem karena daftar pemilih tetap masih acak-acakan. Di sejumlah daerah, jumlah pemilih lebih banyak dari semestinya. Di tempat yang lain malah lebih sedikit (lihat Misteri Rohli dan Kembarannya). Komisi Pemilihan Umum berniat mengubah daftar itu. Tapi, ”Menurut Undang-Undang Pemilihan Umum, data itu hanya boleh ditetapkan sekali,” ujar Eka Santosa, Wakil Ketua Komisi II DPR.

Masalah lain adalah soal pencoblosan kertas suara. Berdasarkan Undang-Undang Pemilihan Umum No. 10 Tahun 2008, pemilih hanya boleh membubuhi satu kali tanda pada kertas surat suara. Ini berbeda dengan pemilihan umum sebelumnya yang menggunakan paku untuk mencoblos. Dalam pemilu lalu pemilih diizinkan melubangi gambar partai dan nama calon sekaligus.

Ide pencontrengan ini dikeluarkan oleh Fraksi Partai Golkar saat awal pembahasan undang-undang. Rapat lobi antarpartai digelar hingga di rumah dinas Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang juga Ketua Umum Partai Golkar. Pencontrengan dinilai lebih efisien karena tidak membutuhkan bilik suara yang besar—karena kertas suara tak harus dibuka lebar-lebar. Dalam sistem coblos, kemungkinan paku tembus ke halaman belakang kertas suara juga cukup besar. Diperkirakan, dengan sistem contreng, 50 persen biaya bisa dihemat. Sebagian lembaga pemantau pemilihan umum independen juga mendukung cara ini karena telah digunakan di banyak negara berkembang.

Menurut aturan Komisi Pemilihan ada tiga lokasi pencontrengan pada surat suara: pada gambar partai, nomor urut calon, atau nama calon. ”Tapi hanya satu kali,” kata Ketua Komisi Pemilihan Umum, Hafiz Anshary.

Namun, dengan cara ini, dalam sejumlah simulasi, tingkat kesalahan masyarakat cukup tinggi. Sebagian orang ternyata cenderung mencontreng lebih dari sekali atau menandai dengan pola garis. Sebagian lainnya malah melubangi kertas suara dengan ujung pulpen. Dalam simulasi di Serang pekan lalu, tingkat kesalahan mencapai 26 persen. Simulasi di Jakarta, kesalahan 24 persen. Denny Indrayana, staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bidang hukum, sempat berseloroh. ”Kita bisa mengalahkan Argentina, yang mengalami 21 persen kertas suara tidak sah,” katanya.

Itulah sebabnya, Komisi menuntut pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. ”Dengan aturan yang baru, mencontreng di tiga tempat, asal masih di partai yang sama, tetap sah,” kata Hafiz.

l l l

MASALAH yang tak kalah pelik adalah soal penghitungan suara. Setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan Umum menggunakan pola penghitungan suara terbanyak untuk menetapkan calon terpilih. Sebelumnya, calon terpilih ditentukan oleh nomor urut.

Persoalannya, ketentuan ini bersinggungan dengan aturan parliamentary threshold sebesar 2,5 persen. Maksudnya, sebuah partai tak akan mendapat satu kursi pun jika suara nasional partai itu tak mencapai batas minimal tadi. Nah, boleh jadi suatu partai tak mencapai 2,5 persen namun ada calonnya yang mendapat suara lebih banyak dari calon partai lain yang secara nasional melampaui ambang batas.

Komisi Pemilihan sebagai lembaga yang diberi mandat untuk menetapkan calon terpilih bisa mendapat hujan gugatan. Itulah sebabnya, untuk memperkuat posisi Komisi, kata Hafiz, ”Kami membutuhkan payung hukum berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”

Rabu dua pekan lalu itu, ketiga masalah dibicarakan di Senayan dalam rapat konsultasi antara Komisi Pemilihan dan DPR. Forum ini juga dihadiri Menteri Dalam Negeri Mardiyanto dan Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Nur Hidayat Sardini.

Dilaksanakan tertutup, isu yang paling ramai dibicarakan adalah soal data pemilih. Sempat juga terjadi saling tuding. ”Mengapa datanya bisa berubah? Ini salah siapa?” kata Wakil Ketua Komisi Pemerintahan Eka Santosa, mengutip salah seorang peserta. Ketika Komisi Pemilihan Umum meminta payung hukum peraturan pemerintah pengganti undang-undang, sebagian politikus Senayan menyarankan Komisi menginventarisasi semua masalah terlebih dahulu. Forum konsultasi lantas berlanjut di Hotel Borobudur, Ahad pekan lalu.

Dalam pertemuan ketiga di Ruang Asean Hotel Sultan, menurut sumber Tempo, data Komisi Pemilihan kembali digugat. Fraksi Banteng, misalnya, meminta penjelasan konkret penyebab data jumlah pemilih berubah. Beruntung, ketegangan tak berlanjut.

Sumber Tempo bercerita, dalam forum itu pemerintah mengedarkan draf rancangan peraturan pemerintah pengganti undang-undang itu. ”Formatnya sudah seperti asli, bukan rancangan lagi,” katanya. Para peserta rapat lalu diminta membubuhkan masukan tertulis langsung di atas kertas itu. Ada tiga pasal yang tercantum di sana: pasal 40 mengenai pemutakhiran data, pasal 176 tentang penandaan surat suara boleh lebih dari sekali, dan pasal 214 mengenai penetapan calon terpilih.

Kepada pers, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto mengatakan, peraturan pemerintah akan segera dikeluarkan. Namun pemerintah menilai pemutakhiran data pemilih tidak perlu ikut dimasukkan ke peraturan itu. Artinya, poin dalam peraturan pemerintah nanti hanya untuk pemilih yang sudah terdaftar tapi belum tercatat. ”Kalau belum terdaftar, ya tidak bisa.”

Budi Riza

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus