Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERKALI-kali digelar sejak 1955, pemilihan umum identik dengan pencoblosan. ”Tradisi” ini berubah pada pemilihan 9 April nanti: penandaan pilihan pada kartu suara dilakukan dengan mencontreng. Hasilnya, menurut sejumlah simulasi, jumlah suara tak sah akan sangat tinggi, bahkan bisa menjadi yang tertinggi di dunia.
”Saya sangat khawatir dengan soal penandaan ini,” kata Nur Hidayat Sardini, Ketua Badan Pengawas Pemilu. Ia masih menganggap pencoblosan merupakan cara yang paling pas buat masyarakat Indonesia. Alasannya, perubahan model ini tak semestinya dilakukan ketika tingkat partisipasi pada pemilu cenderung menurun.
Lihatlah simulasi yang digelar Komisi Pemilihan Umum Tangerang, Banten, bekerja sama dengan International Foundation Electoral Systems (IFES) dan Center for Electoral Reform (Cetro) di Kecamatan Tigaraksa. Para peserta simulasi diminta mengikuti proses pemungutan dan penghitungan suara yang akan digunakan Komisi Pemilu pada pemilu 9 April.
Dari 295 surat suara yang masuk, 78 atau 26 persen di antaranya dinyatakan tidak sah. Menurut Direktur Eksekutif Cetro, Hadar Navis Gumay, surat tidak sah itu melampaui standar internasional 2,5 persen hingga 3 persen. Tingkat kesalahan pada hasil simulasi ini bahkan yang tertinggi di dunia. Sangat memalukan jika angka salah memberi tanda sebesar itu,” kata Hadar.
Dalam simulasi tadi, masih banyak pemilih yang menggunakan tanda selain contreng. Ada juga pemilih memberi tanda secara benar, tapi oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dianggap tidak sah. Misalnya, pemilih memberi tanda centang tapi bentuknya lebih mirip dengan tanda kurang dari (<) dan sudut centang yang menabrak sedikit saja di bawah kolom nama.
Temuan lain simulasi itu, dari jumlah 78 yang tidak sah tadi, 74 di antaranya benar-benar menunjukkan niat memilih, tetapi dianggap tidak sah menurut undang-undang pemilu. Misalnya, itu ditunjukkan dengan pemilih memberi tanda silang, lingkaran, urek-urek (mirip paraf), mencentang partai dan nama calon legislatif, dan sejumlah varian lain.
Menurut Hadar, maksud atau niat pemilih menggunakan penanda tadi sangat jelas. Di negara maju sekalipun, kata dia, meski pemilih gagal mengikuti instruksi, sejauh maksudnya dapat diterjemahkan jelas, tetap dinyatakan sah. Jadi, kalau perintahnya mencentang tetapi pemilih menggunakan garis atau oret-oretan pada kolom yang jelas maksudnya, suara seperti itu tetap saja dianggap sah. ”Kalau enggak, kasihan nenek-nenek yang sejak semalam berlatih, lalu pilihannya dinyatakan salah. Padahal tanda yang diberikan maksudnya jelas,” kata Hadar.
Salah memberi tanda juga tampak dalam simulasi di Jakarta Utara, Desember lalu. Untuk pemberian suara pada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, misalnya, tingkat kesalahannya hingga 60 persen. Anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah Jakarta Jamaludin Hasyim mengatakan, kesalahan paling besar adalah pemilih mencontreng pada nama dan nomor calon. Padahal, aturannya harus di foto. ”Tapi aturan ini telah direvisi sehingga mencontreng nama dan nomor tetap sah,” katanya.
Menurut Hadar, potensi surat suara tak sah akan mencapai sekitar 31,4 juta suara. Angka ini diperoleh dari jumlah daftar pemilih tetap terbaru sebanyak 169,5 juta dengan asumsi partisipasi pemilu 70 persen. Jika angka ini benar-benar menjadi kenyataan pada hasil pemilu nanti, proses pemilu akan diragukan. ”Legitimasi hasil pemilu rendah,” kata Hadar.
Potensi rusaknya suara ini hendak dihadang dengan penerbitan peraturan pengganti undang-undang. Menurut Undang-Undang Pemilu, pemberian suara sah jika dilakukan dengan memberikan tanda satu kali pada surat suara. Komisi Pemilihan Umum kemudian menerjemahkannya dengan tanda centang atau contreng.
Menurut Ketua Komisi, Hafiz Anshary, pemerintah kemungkinan akan menerbitkan peraturan pengganti undang-undang buat membatalkan aturan satu tanda itu. Aturan ini akan membolehkan penandaan lebih dari satu kali, misalnya contreng di gambar partai sekaligus di nama calon legislator. Komisi Pemilihan juga mengeluarkan peraturan yang membolehkan contreng tak sempurna. Tanda silang dan garis mendatar selama masih dalam kolom juga dianggap sah. Yang tetap diharamkan adalah titik, lingkaran, tanda seru, atau tanda tanya. ”Kalau ini juga dibolehkan, bisa kacau,” kata Hafiz.
Pengurangan tingkat kesalahan, menurut Nur Hidayat, juga bisa dilakukan dengan menggenjot sosialisasi. Sayangnya, mesin buat mempercepat usaha ini juga loyo. Penyebabnya, duit untuk sosialisasi cekak benar. Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah Jawa Tengah Ida Budhiati membandingkannya dengan biaya sosialisasi pemilihan gubernur tahun lalu. Ketika itu, satu suara mendapat jatah anggaran Rp 250. Kali ini per kecamatan hanya memperoleh Rp 2 juta per bulan. Sebagai ilustrasi, Brebes punya tujuh belas kecamatan dengan jumlah pemilih 1,4 juta orang. Dengan jatah Rp 34 juta, artinya anggaran sosialisasi kurang dari Rp 25 per pemilih.
Di Banyuwangi, Jawa Timur, sosialisasi belum berjalan karena anggaran Rp 50 juta dari Komisi Pusat belum bisa dicairkan. Hari Priyanto, anggota Komisi Divisi Sosialisasi, tidak tahu penyebabnya. Menurut Hari, sosialisasi yang dilakukan Komisi sebatas menunggu undangan dari lembaga lain. Sosialisasi pemilu di Kota Malang bernasib sama.
Komisi Pemilihan Surakarta juga hanya mendapat anggaran sosialisasi Rp 70 juta, dari Rp 13 miliar yang masuk daftar anggaran Komisi. Uang sebesar itu untuk sosialisasi dengan cara tatap muka, plus ongkos cetak spanduk, pamflet, dan selebaran. Padahal, untuk sekali tatap muka paling tidak butuh Rp 1 juta. Jumlah kelurahan 51 plus sosialisasi pada lima kecamatan berarti perlu 56 tatap muka. Sehingga, butuh Rp 56 juta. Sisanya tinggal 14 juta. ”Jelas tidak cukup,” kata Ketua Divisi Logistik dan Keuangan, Wisnu Cahyanto.
MESKI alarm tanda bahaya belum berdering, persoalan logistik pun tak mulus. Belajar dari pengalaman 2004 yang membuat petingginya masuk penjara, Komisi Pemilihan Umum membagi tanggung jawab pengadaan logistik ke daerah. Hanya pencetakan kartu suara untuk Dewan Perwakilan Rakyat dan beberapa berkas seperti berita acara hasil pemilihan yang dilakukan pusat, selebihnya dibagi ke komisi di daerah.
Pencetakan kartu suara ini sedang berlangsung. Komisi menempatkan sejumlah personel kepolisian di setiap percetakan pemenang tender. Menurut aturan, tak boleh satu pun kartu suara hasil cetakan tercecer. Hasil cetakan yang rusak harus dimusnahkan, dengan lebih dulu dibuatkan berita acara. Komisi juga membebankan tanggung jawab distribusi kartu suara hingga kabupaten ke perusahaan pemenang tender.
Tapi ”pembagian risiko” ini juga mengundang masalah. Pengadaan di sejumlah daerah tersendat dan tak mampu menaati tenggat. Akibatnya, jantung anggota Komisi Pemilihan di daerah pun empot-empotan. Muhaimin Sutawijaya, anggota Komisi Pemilihan Umum Banyuwangi, contohnya. ”Kami belum siap menggelar pemilu,” ujarnya.
Komisi Pemilihan Banyuwangi hingga akhir pekan lalu baru menerima kiriman tinta dan kertas segel. Sebanyak 39 item logistik pemilu masih belum jelas. Misalnya, logistik paling dasar seperti bilik suara, pulpen, atau kunci kotak suara. Banyuwangi perlu tambahan 1.862 dari total kebutuhan 11.382 bilik suara. Sisanya menggunakan bilik bekas pemilihan gubernur.
Soal kotak suara, kata Muhaimin, juga jadi persoalan. Ia yakin, kotak suara ukuran 60x40x40 sentimeter bekas Pemilu 2004 tak akan mampu menampung surat suara yang ukurannya makin lebar. Selain itu, jumlah pemilih di tiap tempat pemungutan bertambah. Pada pemilu lalu, tiap tempat pemungutan untuk tiga ratusan pemilih. Kali ini, untuk lima ratusan orang. ”Mestinya, ukuran kotak suara diperbesar agar bisa menampung seluruh surat suara,” kata Muhaimin.
Di Jawa Timur, sekitar 20 ribu kotak suara tak bisa digunakan lagi. Jenis kerusakannya antara lain sekrup hilang, engsel lepas, dan dinding kotak penyok. Kotak suara rusak akibat proses pengangkutan dari kecamatan ke tempat pemungutan atau sebaliknya saat pemilihan gubernur Jawa Timur putaran kedua November lalu. Kini kotak suara yang tersedia 50 ribu, sedangkan kebutuhannya 70 ribu.
Sekretaris Komisi Pemilihan Jawa Timur Zainal Muhtadien mengatakan tender pengadaan kotak suara dan bilik suara baru dibuka, Jumat pekan lalu, dengan nilai hampir Rp 5,2 miliar. Inilah yang membuat Muhaimin galau. Sebagai pelaku tingkat paling bawah dalam struktur, pasti sangat repot jika logistik tiba mepet waktu. Apalagi sekarang masih tender. Padahal Komisi Pemilihan pusat berjanji semua logistik pemilu sudah terdistribusi di komisi kota dan kabupaten awal Februari lalu.
Telatnya jatah logistik ini pasti mengganggu pendistribusiannya ke 3.311 tempat pemungutan suara di seluruh Banyuwangi. Sebagian tempat pemungutan jauh dan terpencil dari jantung kabupaten. Menurut ketentuan, seluruh logistik itu sudah harus diterima Panitia Pemungutan Suara (PPS) paling lambat tujuh hari sebelum hari pemungutan suara. ”Siap enggak sih melaksanakan pemilu?” kata Muhaimin mengeluh.
Problem logistik yang paling mutakhir adalah ditemukannya surat suara bolong selebar lubang jarum pada 14 juta dari 21 juta surat suara yang sudah didistribusikan di seluruh Jawa Barat. Badan Pengawas Pemilu yang mendapat temuan ini. Surat suara ini dicetak percetakan Ganeca Exact Bandung. Ada dua belas titik bolong yang tersebar di sejumlah kolom nomor urut calon. Ketua Badan Pengawas Pemilu Nur Hidayat Sardini selanjutnya menyerahkan temuan ini ke Komisi Pemilihan Umum. ”Ini harus mendapat perhatian serius,” kata Nur Hidayat.
Ada masalah besar lain yang dikhawatirkan Badan Pengawas Pemilu: daftar pemilih tetap. Daftar yang kacau berpotensi menimbulkan ricuh. Misalnya, kisruh di tempat pemungutan suara. Tekanan mereka yang merasa berhak memilih tapi ternyata tak terdaftar akan menjadi beban tambahan bagi para petugas pemungutan suara (lihat ”Misteri Rohli dan Kembarannya”).
Toh, Ketua Komisi Pemilihan Hafiz Anshary optimistis pemilu berjalan menurut jadwal. Menurut Hafiz, Komisi telah melewati tahap paling krusial, yakni penetapan peserta pemilu, daerah pemilihan, dan calon dengan mulus. Kalau logistik terlambat, kata dia, segera bisa diatasi. Surat suara, lembar daftar calon tetap, dan formulir menurut Hafiz memang terlambat. ”Sedang dikerjakan dan segera selesai,” katanya.
BS, Sunudyantoro, Agung Sedayu (Jakarta), Ika Ningtyas (Banyuwangi), Ukky P. (Solo), Sohirin (Semarang), Dini M. (Surabaya), Mahbub D. (Jember), Bintariadi (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo