JUSTEDJO Tarik cuma melirik bola smash Kim Choon Ho dari Korea
Selatan, yang jatuh di sekitar baseline. "Point!' teriak wasit,
melihat penjaga garis menunjuk ke dalam. Justedjo tertegun,
memelototi penjaga garis dan baseline berganti-ganti. Dan sambil
menarik tangannya ke pinggang mulutnya komat-kamit. Tak jelas
apa yang dikomat-kamitkannya, tapi pasti umpatan. Untungnya set
itu dimenangkan Justedjo -- yang mengantarkannya menjadi juara
tunggal putra tenis Asian Games IX.
Dalam berbagai pertandingan tenis internasional lainnya, adegan
tarik urat leher semacam itu (meski tanpa suara) juga dapat kita
saksikan. Dalam kepala para pecandu tenis masih terekam
adegan-adegan tegang John McEnroe, atau Jimmy Connors, apalagi
Ilie Nastase, yang bahkan ribut bertengkar dengan wasit dan
penjaga garis. "Kendati umumnya pada jengkel dengan ulah tak
seronok mereka, sebagian besar penonton biasanya menganggap para
pemain di pihak yang benar," tulis Kevin McKean dalam majalah
Discover.
Alasan para awam memang sekilas masuk akal. Bagaimanapun, para
pemain tenis top mempunyai daya refleks tinggi, penglihatan
akurat dan pengalaman segudang yang tentu menyebabkan mereka
tahu persis di mana bola mendarat. Tidak boleh tidak.
"Tapi benarkah begitu?" tanya McKean. Untuk menguji anggapan
para awam itulah baru-baru ini diadakan suatu penelitian. Dan
membuktikan bahwa "para wasit yang umumnya tua, berkacamata
tebal dan bertampang buruk, ternyata lebih akurat ketimbang para
pemain." Kalau begitu penjaga garis yang goblok? Juga tidak.
Mereka ini memang sering kena sasaran, dengan penampilan yang
tak kurang buruknya: bermata cadok, duduk terbungkuk-bungkuk di
belakang sepotong daerah kekuasaan. Tapi mereka malah "lebih
akurat ketimbang para wasit," tulis McKean. Apalagi dibanding
para petenis.
Kesimpulan yang cukup mencengangkan itu ditarik di sekolah
tenis Vic Braden, di suatu tempat yang disebut Coto de Caza,
Trabuco Canyon California, AS. Di sana -- 70 mil di selatan
Los Angeles -- lengkap dengan seragam tenisnya masing-masing,
para petenis pria dan wanita menjadi kehitam-hitaman kulitnya.
Maklum mereka harus bermain di bawah sorot lampu listrik ribuan
watt -- agar kamera mampu merekam dengan baik setiap gerak dan
peristiwa.
Lalu tampak seorang pemain melakukan servis smash melintasi
jaring, sementara sebuah alat perekam kecepatan -- 108 mil per
jam -- mulai bekerja. Sebelumnya, dua kamera berkecepatan tinggi
yang ditempatkan di dua ujung lapangan mulai merekam beberapa
detik sebelum servis dilakukan. Segera setelah itu empat
pembantu memburu ke garis servis dengan tongkat pewarna untuk
menandai tempat jatuhnya bola seperti yang dikatakan oleh dua
penjaga garis, wasit dan petenis peserta.
Pada servis ini, tiap sisi mendapat dua tongkat pewarna. "Anda
lihat?" kata Vic Braden seperti kesal. "Andaikata ini
pertandingan profesional, salah satu pihak tentu berkata ia
telah dirugikan".
Braden, 53 tahun, gemuk pendek dan berwajah suci, adalah seorang
pro tenis. Tampang akrab pemirsa tv setempat ini tampil sebagai
komentator berbagai pertandingan tenis, dengan gaya jenaka ia
juga teoritikus tenis terkemuka, yang memperoleh gelar master
dalam ilmu psikologi. Ia diminta oleh Komisi Perwasitan
Persatuan Tenis AS untuk menyiasati masalah call garis. "Untuk
mencari tahu faktor-faktor apa yang membuat sebuah call akurat
dan tidak akurat," tulis McKean. Hal ini memang sempat membikin
prihatin golongan perwasitan. Seperti kata Braden, "Kami
benar-benar tidak tahu seburuk apa pandangan penonton" melihat
tempat jatuhnya bola.
Masa jabatan seorang ofisial turnamen utama tenis lebih rapuh
ketimbang rekan-rekannya di hampir semua cabang olahraga. Memang
wasit tenis bisa memecat penjaga garis, bahkan pada saat
pertandingan sedang berlangsung. Malahan ia boleh minta
berhenti, jika ia merasa tak mampu mengendalikan pemain, kepada
dewan wasit.
"Saya tahu beberapa pemain," kata Braden, "mempermasalahkan
suatu call bukan untuk keuntungan saat itu, tapi untuk
mempengaruhi pikiran wasit pada call berikutnya." Bahkan
penonton mampu mempengaruhi wasit. "Para wasit diperangkap untuk
meng-call skor yang menguntungkan pihak mereka. Bagai
memenangkan perang, memang."
Bagai masuk ke kancah peperangan, masalahnya memang tidak
gampang. Sebab dalam kenyataan, sebenarnya tak seorang pun --
pemain, wasit, penjaga garis -- yang tahu persis di mana bola
itu tepatnya jatuh: di garis serviskah, di garis sisikah, atau
di garis belakang. Kesimpulan ini tergambar sebagian dalam
penelitian yang dilakuan dengan eye mark recorder, sebuah
peralatan mirip helm kecil yang dipasangkan kepupil mata
seseorang. Alat ini untuk mengetahui di mana sesungguhnya
penglihatan terpusat.
TERNYATA, dalam tes yang dilakukan, eye mark recorder tersebut
menunjukkan bahwa pandangan penjaga garis tidak langsung pada
titik tempat bola jatuh. Lebih-lebih lagi, servis yang cepat
segera menyentuh lapangan dalam tempo sekitar tiga perseratus
detik. Itu lebih kecil dari 'sekedipan' cahaya bola lampu ukuran
60 putaran per detik. Dari sini Braden menyimpulkan kontak bola
dengan landasan terlalu cepat untuk dapat ditangkap. "McEnroe
selalu ngotot berkata, 'Persis disini! Jatuhnya tepat di
sini!'," kata Braden. "Tapi itu hanya banyolan yang tak lucu.
Tak mungkin ia tahu persisnya."
Protes-protes mungkin tampak dilakukan dengan jujur. Caranya
juga. Seolah pemain melihat sebelumnya bola mendarat dan
kemudian membal. "Dan benaknya --dengan menggunakan trianggulasi
berdasar lintasan bolak-balik bola -- tergoda berpendapat bahwa
ia telah melihat titik-darat bola," kata McKean.
Tapi sang otak sendiri tak dapat ditipu. Penelitian Gideon
Ariel, bekas pelempar cakram Olimpiade kelahiran Israel yang
kini direktur Pusat Riset Coto de Casa, memberikan hasil yang
menarik. Studi yang berlangsung di laboratorium olahraga seharga
US$ 5 juta itu -- berada satu kompleks dengan Sekolah Tenis Vic
Braden -- menunjukkan bahwa bola tenis sebenarnya tidak mental
langsung, melainkan menggelinding sedikit, sekitar dua atau tiga
inci. Lagi pula, lantunannya dalam sudut lebih menukik dari yang
dikira. Selisih sudut lantun ini, kata Ariel, dapat meniadakan
proses trianggulasi otak.
Persepsi seorang pemain juga bisa menyimpang oleh gerakan
kepala-yang menciptakan kekuatan G-mini. Kekuatan inilah yang
mengalihkan letak bola mata pada saat-saat tertentu, hingga
gambar yang masuk ke retina keluar dari fokus. "Jika anda
mempunyai pandangan lima puluh-lima puluh," Braden menjelaskan,
"tatkala kaki anda menghantam ke landasan, untuk sesaat anda
tidak melihat apa-apa."
Para pemain bisa menderita "buta sesaat", waktu itu memang,
namun penjaga garis pun tak mungkin kebal dari kelemahan yang
sama. Dalam turnamen yang kurang penting, para petugas
perwasitan tentu kurang jumlahnya. Dalam turnamen macam ini
seorang penjaga garis sering harus mengawasi garis servis tengah
pada saat servis dilakukan -- lalu kembali cepat-cepat
mengalihkan matanya ke garis sisi.
Pada turnamen penting saat penjaga garis menunggui tiap garis,
tentu hakim garis tak perlu kelewat sibuk. Dan dari posisinya
mengawasi garis masing-masing, para penjaga garis menjalankan
kewajibannya dengan baik -- menurut tes yang dilakukan Braden.
Dalam 204 call yang direkam dalam film, rata-rata hanya meleset
sekitar dua inci -- dan hanya satu yang salah, alias rata-rata
1,5%. Sedikit.
Para wasit, yang duduk di kursi tinggi di salah satu ujung
jaring, ternyata memang membuat kesalahan lebih banyak. Mereka
salah dua kali untuk 73 call, berarti rata-rata 3%. Dan,
rata-rata hampir tiga inci meleset untuk setiap call.
Bagaimana para pemain sendiri? "Yang terburuk adalah para
pemain," ungkap McKean. Mereka salah kira rata-rata lima inci,
dan membuat tujuh kesalahan untuk 63 call alias rata-rata 11%.
Bahkan mereka tidak sanggup bilang apa-apa terhadap sepuluh
lainnya -- karena tak melihat. Ini terutama terhadap servis yang
kecepatannya 100 mil per jam. Pelatih tenis terkenal Will Arias
berujar, "Saya dapat merasa-rasa apakah itu masuk atau keluar,
namun tak dapat menjelaskan seberapa. Berkali-kali itu terjadi
demi Tuhan."
KESlMPULAN Braden, bahwa penjaga garis membuat lebih banyak call
yang akurat, telah menimbulkan keraguan terhadap kebenaran
peraturan yang ditetapkan tiga tahun lalu, yang membolehkan
wasit memecat penjaga garis. Tapi Ken Farrar, satu dari lima
pengawas full-time pada turnamen Grand Prix -- khusus untuk
profesional pria -- membela peraturan tersebut demi ketertiban.
"Itu hanya untuk kesalahan yang menyolok," katanya. "Kita
katakan kepada wasit, lucu untuk memperdebatkan dan membatalkan
keputusan terhadap bola yang hanya dekat dua inci ke garis."
Namun Braden menunjuk pada kesalahan rata-rata wasit yang
berbeda dua inci seperti yang dibuktikan oleh hasil
penyelidikannya. "Baiknya tidak ada penilaian kembali, kecuali
penjaga garis memintanya."
***
Dunia tenis pertama kali mendengar kesimpulan yang mengagetkan
itu ketika Braden omong-omong dalam kesempatan turnamen terbuka
AS di New York City. Lalu diikuti dengan pertunjukan video tape
di hadapan para ofisial, selama 20 menit. Para penjaga garis
bersorak sorai. Tapi para wasit ragu. "Jika seseorang tidak
menampak bola jatuh dua inci dari garis," kata Jason Smith,
ofisial turnamei saban tahun sejak 1959, "ia baiknya tidak ikut
mengurus tenis. Lebih baik dagang anak anjing yang baru melek."
Para pengkritik mengemukakan, beberapa di antara orang-orangnya
Braden, seperti 'wasit' dan 'hakim garis', bukanlah wasit-wasit
terlatih. "Hanya pelatih dari sekolah tenisnya," kata mereka.
Namun Bob Rockwell, Ketua Komisi Wasit USTA, mengaku bahwa
pembatalan keputusan wasit dalam turnamen mulai menurun sejak
tahun lalu.
Rockwell ingin Braden membantu para ofisial tenis dengan membuat
film latihan berdasar hasil tesnya itu -- dan menunjukkan
bagaimana caranya meningkatkan akurasi. Satu di antara cara
Braden diperuntukkan kepada para penjaga garis belakang. Yaitu
dengan memperhatikan cara terbang bola dalam waktu yang cukup,
kemudian menentukan kira-kira di mana sang bola jatuh.
Berikutnya tinggal mencocokkan pandangan pada tempatnya jatuh
itu. Ini dapat mengurangi gerakan kepala yang membuat biji mata
meleng, demikian penulis mencoba menyimpulkan.
Braden mengakui, eksperimennya memerlukan lebih banyak data dan
pengawasan yang lebih baik. Namun hasil yang telah dicapainya
dianggapnya cukup baik pula. Terutama untuk menunjukkan bahwa
kesalahan manusia merupakan faktor menentukan dalam tenis -- dan
mungkin juga dalam sebagian besar olahraga lain "Implikasinya
fantastis," katanya. "Di dalam bola basket, wasitnya lari
mundar-mandir selama pertandingan, menghadapi masalah sama
seperti pemainnya. Bagaimana pula dengan hockey, yang wasitnya
harus ngebut ke sana ke mari?"
Jawabannya menurut Braden, adalah latihan dan penataran wasit
yang lebih banyak dan lebih baik. Tapi tokoh lainnya, termasuk
partnernya, Gideon Ariel, menganggap penelitian-penelitian Coto
de Caza memerlukan peralatan otomat. Misalnya: caller servis
elektronik seperti yang pernah dipakai di turnamen Wimbledon,
dan pada open turnamen AS sejak 1980.
Peralatan ini, tak resmi disebut sebagai cyclop, memproyeksikan
sorot sinar infra sepanjang dan sedikit di luar garis servis.
Bola yang memecah sorot luar tanpa menganggu sorot yang
melingkupi sepanjang garis, dinyatakan out.
Namun cyclop konon tak baik untuk garis sisi dan garis belakang.
Karena pemain dapat mengganggu sorotan pada kawasan-kawasan ini,
dengan gerakan kaki mereka. Pemilik pabrik mencoba memecahkan
halangan ini. Makanya, pemakaian peralatan ini masih
dipertimbangkan.
Karena itu, kendati Rockwell ingin mempertimbangkan cyclop untuk
mengganti para wasit di lapangan tenis para petenis
mengkhawatirkan peralatan itu malah akan mengganggu. Berkata Jim
McManus dari Persatuan Petenis Profesional: "Baiklah robot-robot
saja yang disuruh main tenis, lalu tempatkan alat perwasitan
otomatis di sana." Klop.
Dan inilah komentar wasit kawakan Frank Hammond. Ia satu-satunya
wasit yang berbeda pendapat tentang pengganyangan keluar Ilie
Nastase dari turnamen terbuka AS 1979-dan ia pula satu-satunya
yang minta berhenti kepada Komisi Wasit. Merasa peralatan
perwasitan elektronik akan membuat permainan tak menarik, ia
berujar: "Jika setiap penonton cuma tersenyum melihat bola
dipukul ke sana ke mari, tenis akan menjadi olahraga yang
membosankan."
Satu hal, ulah yang dibuat Justedjo atau Nastase di lapangan,
suatu tontonan yang memikat pula -- asal tidak berkelebihan.
Bagai garam bagi asinan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini