Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tarik urat di lapangan tenis

Masalah call garis sering menjadikan tarik uratan tara pemain tenis dengan penjaga garis maupun wasit. menurut suatu penelitian, ternyata para wasit lebih akurat ketimbang para pemain. (sel)

8 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUSTEDJO Tarik cuma melirik bola smash Kim Choon Ho dari Korea Selatan, yang jatuh di sekitar baseline. "Point!' teriak wasit, melihat penjaga garis menunjuk ke dalam. Justedjo tertegun, memelototi penjaga garis dan baseline berganti-ganti. Dan sambil menarik tangannya ke pinggang mulutnya komat-kamit. Tak jelas apa yang dikomat-kamitkannya, tapi pasti umpatan. Untungnya set itu dimenangkan Justedjo -- yang mengantarkannya menjadi juara tunggal putra tenis Asian Games IX. Dalam berbagai pertandingan tenis internasional lainnya, adegan tarik urat leher semacam itu (meski tanpa suara) juga dapat kita saksikan. Dalam kepala para pecandu tenis masih terekam adegan-adegan tegang John McEnroe, atau Jimmy Connors, apalagi Ilie Nastase, yang bahkan ribut bertengkar dengan wasit dan penjaga garis. "Kendati umumnya pada jengkel dengan ulah tak seronok mereka, sebagian besar penonton biasanya menganggap para pemain di pihak yang benar," tulis Kevin McKean dalam majalah Discover. Alasan para awam memang sekilas masuk akal. Bagaimanapun, para pemain tenis top mempunyai daya refleks tinggi, penglihatan akurat dan pengalaman segudang yang tentu menyebabkan mereka tahu persis di mana bola mendarat. Tidak boleh tidak. "Tapi benarkah begitu?" tanya McKean. Untuk menguji anggapan para awam itulah baru-baru ini diadakan suatu penelitian. Dan membuktikan bahwa "para wasit yang umumnya tua, berkacamata tebal dan bertampang buruk, ternyata lebih akurat ketimbang para pemain." Kalau begitu penjaga garis yang goblok? Juga tidak. Mereka ini memang sering kena sasaran, dengan penampilan yang tak kurang buruknya: bermata cadok, duduk terbungkuk-bungkuk di belakang sepotong daerah kekuasaan. Tapi mereka malah "lebih akurat ketimbang para wasit," tulis McKean. Apalagi dibanding para petenis. Kesimpulan yang cukup mencengangkan itu ditarik di sekolah tenis Vic Braden, di suatu tempat yang disebut Coto de Caza, Trabuco Canyon California, AS. Di sana -- 70 mil di selatan Los Angeles -- lengkap dengan seragam tenisnya masing-masing, para petenis pria dan wanita menjadi kehitam-hitaman kulitnya. Maklum mereka harus bermain di bawah sorot lampu listrik ribuan watt -- agar kamera mampu merekam dengan baik setiap gerak dan peristiwa. Lalu tampak seorang pemain melakukan servis smash melintasi jaring, sementara sebuah alat perekam kecepatan -- 108 mil per jam -- mulai bekerja. Sebelumnya, dua kamera berkecepatan tinggi yang ditempatkan di dua ujung lapangan mulai merekam beberapa detik sebelum servis dilakukan. Segera setelah itu empat pembantu memburu ke garis servis dengan tongkat pewarna untuk menandai tempat jatuhnya bola seperti yang dikatakan oleh dua penjaga garis, wasit dan petenis peserta. Pada servis ini, tiap sisi mendapat dua tongkat pewarna. "Anda lihat?" kata Vic Braden seperti kesal. "Andaikata ini pertandingan profesional, salah satu pihak tentu berkata ia telah dirugikan". Braden, 53 tahun, gemuk pendek dan berwajah suci, adalah seorang pro tenis. Tampang akrab pemirsa tv setempat ini tampil sebagai komentator berbagai pertandingan tenis, dengan gaya jenaka ia juga teoritikus tenis terkemuka, yang memperoleh gelar master dalam ilmu psikologi. Ia diminta oleh Komisi Perwasitan Persatuan Tenis AS untuk menyiasati masalah call garis. "Untuk mencari tahu faktor-faktor apa yang membuat sebuah call akurat dan tidak akurat," tulis McKean. Hal ini memang sempat membikin prihatin golongan perwasitan. Seperti kata Braden, "Kami benar-benar tidak tahu seburuk apa pandangan penonton" melihat tempat jatuhnya bola. Masa jabatan seorang ofisial turnamen utama tenis lebih rapuh ketimbang rekan-rekannya di hampir semua cabang olahraga. Memang wasit tenis bisa memecat penjaga garis, bahkan pada saat pertandingan sedang berlangsung. Malahan ia boleh minta berhenti, jika ia merasa tak mampu mengendalikan pemain, kepada dewan wasit. "Saya tahu beberapa pemain," kata Braden, "mempermasalahkan suatu call bukan untuk keuntungan saat itu, tapi untuk mempengaruhi pikiran wasit pada call berikutnya." Bahkan penonton mampu mempengaruhi wasit. "Para wasit diperangkap untuk meng-call skor yang menguntungkan pihak mereka. Bagai memenangkan perang, memang." Bagai masuk ke kancah peperangan, masalahnya memang tidak gampang. Sebab dalam kenyataan, sebenarnya tak seorang pun -- pemain, wasit, penjaga garis -- yang tahu persis di mana bola itu tepatnya jatuh: di garis serviskah, di garis sisikah, atau di garis belakang. Kesimpulan ini tergambar sebagian dalam penelitian yang dilakuan dengan eye mark recorder, sebuah peralatan mirip helm kecil yang dipasangkan kepupil mata seseorang. Alat ini untuk mengetahui di mana sesungguhnya penglihatan terpusat. TERNYATA, dalam tes yang dilakukan, eye mark recorder tersebut menunjukkan bahwa pandangan penjaga garis tidak langsung pada titik tempat bola jatuh. Lebih-lebih lagi, servis yang cepat segera menyentuh lapangan dalam tempo sekitar tiga perseratus detik. Itu lebih kecil dari 'sekedipan' cahaya bola lampu ukuran 60 putaran per detik. Dari sini Braden menyimpulkan kontak bola dengan landasan terlalu cepat untuk dapat ditangkap. "McEnroe selalu ngotot berkata, 'Persis disini! Jatuhnya tepat di sini!'," kata Braden. "Tapi itu hanya banyolan yang tak lucu. Tak mungkin ia tahu persisnya." Protes-protes mungkin tampak dilakukan dengan jujur. Caranya juga. Seolah pemain melihat sebelumnya bola mendarat dan kemudian membal. "Dan benaknya --dengan menggunakan trianggulasi berdasar lintasan bolak-balik bola -- tergoda berpendapat bahwa ia telah melihat titik-darat bola," kata McKean. Tapi sang otak sendiri tak dapat ditipu. Penelitian Gideon Ariel, bekas pelempar cakram Olimpiade kelahiran Israel yang kini direktur Pusat Riset Coto de Casa, memberikan hasil yang menarik. Studi yang berlangsung di laboratorium olahraga seharga US$ 5 juta itu -- berada satu kompleks dengan Sekolah Tenis Vic Braden -- menunjukkan bahwa bola tenis sebenarnya tidak mental langsung, melainkan menggelinding sedikit, sekitar dua atau tiga inci. Lagi pula, lantunannya dalam sudut lebih menukik dari yang dikira. Selisih sudut lantun ini, kata Ariel, dapat meniadakan proses trianggulasi otak. Persepsi seorang pemain juga bisa menyimpang oleh gerakan kepala-yang menciptakan kekuatan G-mini. Kekuatan inilah yang mengalihkan letak bola mata pada saat-saat tertentu, hingga gambar yang masuk ke retina keluar dari fokus. "Jika anda mempunyai pandangan lima puluh-lima puluh," Braden menjelaskan, "tatkala kaki anda menghantam ke landasan, untuk sesaat anda tidak melihat apa-apa." Para pemain bisa menderita "buta sesaat", waktu itu memang, namun penjaga garis pun tak mungkin kebal dari kelemahan yang sama. Dalam turnamen yang kurang penting, para petugas perwasitan tentu kurang jumlahnya. Dalam turnamen macam ini seorang penjaga garis sering harus mengawasi garis servis tengah pada saat servis dilakukan -- lalu kembali cepat-cepat mengalihkan matanya ke garis sisi. Pada turnamen penting saat penjaga garis menunggui tiap garis, tentu hakim garis tak perlu kelewat sibuk. Dan dari posisinya mengawasi garis masing-masing, para penjaga garis menjalankan kewajibannya dengan baik -- menurut tes yang dilakukan Braden. Dalam 204 call yang direkam dalam film, rata-rata hanya meleset sekitar dua inci -- dan hanya satu yang salah, alias rata-rata 1,5%. Sedikit. Para wasit, yang duduk di kursi tinggi di salah satu ujung jaring, ternyata memang membuat kesalahan lebih banyak. Mereka salah dua kali untuk 73 call, berarti rata-rata 3%. Dan, rata-rata hampir tiga inci meleset untuk setiap call. Bagaimana para pemain sendiri? "Yang terburuk adalah para pemain," ungkap McKean. Mereka salah kira rata-rata lima inci, dan membuat tujuh kesalahan untuk 63 call alias rata-rata 11%. Bahkan mereka tidak sanggup bilang apa-apa terhadap sepuluh lainnya -- karena tak melihat. Ini terutama terhadap servis yang kecepatannya 100 mil per jam. Pelatih tenis terkenal Will Arias berujar, "Saya dapat merasa-rasa apakah itu masuk atau keluar, namun tak dapat menjelaskan seberapa. Berkali-kali itu terjadi demi Tuhan." KESlMPULAN Braden, bahwa penjaga garis membuat lebih banyak call yang akurat, telah menimbulkan keraguan terhadap kebenaran peraturan yang ditetapkan tiga tahun lalu, yang membolehkan wasit memecat penjaga garis. Tapi Ken Farrar, satu dari lima pengawas full-time pada turnamen Grand Prix -- khusus untuk profesional pria -- membela peraturan tersebut demi ketertiban. "Itu hanya untuk kesalahan yang menyolok," katanya. "Kita katakan kepada wasit, lucu untuk memperdebatkan dan membatalkan keputusan terhadap bola yang hanya dekat dua inci ke garis." Namun Braden menunjuk pada kesalahan rata-rata wasit yang berbeda dua inci seperti yang dibuktikan oleh hasil penyelidikannya. "Baiknya tidak ada penilaian kembali, kecuali penjaga garis memintanya." *** Dunia tenis pertama kali mendengar kesimpulan yang mengagetkan itu ketika Braden omong-omong dalam kesempatan turnamen terbuka AS di New York City. Lalu diikuti dengan pertunjukan video tape di hadapan para ofisial, selama 20 menit. Para penjaga garis bersorak sorai. Tapi para wasit ragu. "Jika seseorang tidak menampak bola jatuh dua inci dari garis," kata Jason Smith, ofisial turnamei saban tahun sejak 1959, "ia baiknya tidak ikut mengurus tenis. Lebih baik dagang anak anjing yang baru melek." Para pengkritik mengemukakan, beberapa di antara orang-orangnya Braden, seperti 'wasit' dan 'hakim garis', bukanlah wasit-wasit terlatih. "Hanya pelatih dari sekolah tenisnya," kata mereka. Namun Bob Rockwell, Ketua Komisi Wasit USTA, mengaku bahwa pembatalan keputusan wasit dalam turnamen mulai menurun sejak tahun lalu. Rockwell ingin Braden membantu para ofisial tenis dengan membuat film latihan berdasar hasil tesnya itu -- dan menunjukkan bagaimana caranya meningkatkan akurasi. Satu di antara cara Braden diperuntukkan kepada para penjaga garis belakang. Yaitu dengan memperhatikan cara terbang bola dalam waktu yang cukup, kemudian menentukan kira-kira di mana sang bola jatuh. Berikutnya tinggal mencocokkan pandangan pada tempatnya jatuh itu. Ini dapat mengurangi gerakan kepala yang membuat biji mata meleng, demikian penulis mencoba menyimpulkan. Braden mengakui, eksperimennya memerlukan lebih banyak data dan pengawasan yang lebih baik. Namun hasil yang telah dicapainya dianggapnya cukup baik pula. Terutama untuk menunjukkan bahwa kesalahan manusia merupakan faktor menentukan dalam tenis -- dan mungkin juga dalam sebagian besar olahraga lain "Implikasinya fantastis," katanya. "Di dalam bola basket, wasitnya lari mundar-mandir selama pertandingan, menghadapi masalah sama seperti pemainnya. Bagaimana pula dengan hockey, yang wasitnya harus ngebut ke sana ke mari?" Jawabannya menurut Braden, adalah latihan dan penataran wasit yang lebih banyak dan lebih baik. Tapi tokoh lainnya, termasuk partnernya, Gideon Ariel, menganggap penelitian-penelitian Coto de Caza memerlukan peralatan otomat. Misalnya: caller servis elektronik seperti yang pernah dipakai di turnamen Wimbledon, dan pada open turnamen AS sejak 1980. Peralatan ini, tak resmi disebut sebagai cyclop, memproyeksikan sorot sinar infra sepanjang dan sedikit di luar garis servis. Bola yang memecah sorot luar tanpa menganggu sorot yang melingkupi sepanjang garis, dinyatakan out. Namun cyclop konon tak baik untuk garis sisi dan garis belakang. Karena pemain dapat mengganggu sorotan pada kawasan-kawasan ini, dengan gerakan kaki mereka. Pemilik pabrik mencoba memecahkan halangan ini. Makanya, pemakaian peralatan ini masih dipertimbangkan. Karena itu, kendati Rockwell ingin mempertimbangkan cyclop untuk mengganti para wasit di lapangan tenis para petenis mengkhawatirkan peralatan itu malah akan mengganggu. Berkata Jim McManus dari Persatuan Petenis Profesional: "Baiklah robot-robot saja yang disuruh main tenis, lalu tempatkan alat perwasitan otomatis di sana." Klop. Dan inilah komentar wasit kawakan Frank Hammond. Ia satu-satunya wasit yang berbeda pendapat tentang pengganyangan keluar Ilie Nastase dari turnamen terbuka AS 1979-dan ia pula satu-satunya yang minta berhenti kepada Komisi Wasit. Merasa peralatan perwasitan elektronik akan membuat permainan tak menarik, ia berujar: "Jika setiap penonton cuma tersenyum melihat bola dipukul ke sana ke mari, tenis akan menjadi olahraga yang membosankan." Satu hal, ulah yang dibuat Justedjo atau Nastase di lapangan, suatu tontonan yang memikat pula -- asal tidak berkelebihan. Bagai garam bagi asinan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus