Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menurut sumber yang layak dipercaya...

Berbagai ungkapan yang dipakai oleh para wartawan untuk menyembunyikan identitas sumbernya. (sel)

8 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG wartawan tentu pernah menerima nasihat basi ini: dapatkan informasi itu dari siapa pun. Dari si tuan atau si nyonya. Dari si sinyo ataupun si non. Kalau gagal, dapatkan dari babunya, kokinya, tukang kebunnya. Masih gagal? Berhenti saja jadi wartawan. Biasanya, memang, kalau berbagai sumber itu dihubungi, jarang yang gagal. Cuma acapkali sumber jarang mau disebut identitasnya -- takut kena getahnya, atau karena berbagai alasan lain. Maka agar berita tidak dianggap pembaca sebagai hasil lamunan, terpaksalah sang wartawan memakai ungkapan ini: "Menurut sumber yang layak dipercaya . . . " Atau, "Sumber kita yang tak mau disebut namanya ...." Satu hari, di bulan November lalu, The New York Times memuat di halaman depannya tiga karangan berikut penjelasan dari berbagai pihak. Dan menurut pengamatan David Shaw dari International Herald Tribune, mereka telah memakai berbagai ungkapan yang menyembunyikan identitas sumbernya. Misalnya: 'seorang duta besar negeri Barat', 'seorang diplomat Barat', 'seorang wartawan lokal yang terkemuka', 'sumber kepolisian', 'seorang pejabat Deplu', 'pejabat pemerintah', 'pejabat pemerintah yang lain', dan 'pejabat senior pemerintah'. Pada minggu yang sama, Los Angeles Times menerbitkan sekitar dua puluh tulisan, yang juga menyembunyikan para pemberi informasi. Sebagai gantinya disebut: 'seotng diplomat', 'sejumlah pengecam', 'pejabat Pentagon', 'seorang pejabat', 'seorang pejabat senior', 'para pejabat pemerintah', 'sebuah sumber Gedung Putih', 'sebuah sumber di serikat buruh', 'sumber-sumber', 'sumber lain', 'sebuah sumber', 'berbagai sumber', dan 'sumber yang mengetahui'. Waktu-waktu berikutnya, The Washington Post memuat sembilan karangan memakai ungkapan-ungkapan yang mirip: 'para pejabat AS', 'para diplomat Barat', 'sumber-sumber diplomatik', 'sumber-sumber setengah resmi', 'seorang pejabat AS', 'para pejabat yang mengetahui', 'seorang pejabat Deparlu', 'para pejabat senior Deparlu', dan 'sumber-sumber resmi'. Shaw, yang mangkal di Los Angeles itu, mengaku mengangkat contoh-contoh tersebut secara serabutan saja. Masih banyak contoh lain yang katanya "bisa dipungut saban hari di surat kabar di seluruh AS yang secara rutin mengutip berbagai sumber tanpa menyebut nama. Ini fakta," dan menurut dia, The New York Times ternyata lebih hati-hati -- lebih terbatas ketimbang surat-surat kabar lainnya dalam menyebut sumber-sumber yang tak beridentitas itu. Surat kabar ini, katanya, tidak gegabah. Para redakturnya lebih mantap dalam pertimbangan jika umpamanya hendak memakai ungkapan 'para pejabat negeri Barat' dan 'para pejabat senior pemerintah'. "Mereka memberikan kepada pembacanya isyarat-isyarat, betapa pun samarnya, tentang kemungkinan keterikatan dan kecondongan sumber yang bersangkutan," tulis Shaw. Berbeda dengan The New York Times yang senantiasa berusaha memberikan identifikasi sumber-sumber beritanya ('seorang pejabat Deparlu' misalnya, tidak terlalu spesifik), surat-surat kabar lain kurang kena dalam mencantelkan atribut--seperti hanya 'sumber-sumber' atau 'sumber-sumber resmi'. Menurut yang empunya kisah, "mereka tidak memberikan petunjuk-petunjuk kepada para pembacanya, sejauh mana kredibilitas keterangan yang diberikan. Atau kemungkinan vested interest si sumber berita". Para pembaca juga tampaknya kurang waspada atau kurang kritis terhadap berita yang disuguhkan, yang sumber beritanya 'entah siapa'. Pada hal sering tidak cukup dijelaskan di sana, mengapa sang sumber tidak ingin namanya disebut. Lalu Shaw bertanya: "Coba, siapa sesungguhnya 'seorang intelek' yang dikutip dalam laporan Chicago Tribune 7 November? Di situ orang tersebut dikatakan memberikan komentar tentang Partai Kelembagaan Revolusioner Meksiko dengan kata-kata: "Mereka lebih menyukaimu sebagai anteknya, membeli sikap opposisimu. Dan jika itu tak mempan, mereka akan mencoba menakut-nakutimu." Dan siapa pula 'seorang pejabat AS' yang dikutip kantor berita AP 2 November, yang konon setelah bertemu dengan para anggota Kongres mengatakan: "setiap orang tampaknya mendukung "keputusan Presiden Ronald Reagan yang mengizinkan marinir AS menjalankan patroli terbatas di jalan-jalan Beirut Barat"? Lalu, apakah 'pejabat' dan 'intelek' tersebut benar-benar tahu apa yang mereka bicarakan? Punyakah mereka alasan pribadi dan politik terhadap pandangan yang ingin mereka umumkan itu bahkan, jika kedua sumber itu bias (berpihak), bagaimana caranya supaya para pembaca tahu? "Itulah kesulitan yang sebenarnya dihadapi pembaca saban hari," tulis Shaw bagai menyimpulkan. Tentu ada kekecualian, katanya lebih jauh. Yaitu jika kaum reporter, yang tidak dapat menyebut nama sumber, menyuguhkan informasi yang luas berkenaan dengan posisi sang sumber -- misalnya bagaimana identifikasi bisa membahayakan keselamatannya, atau langsung berkaitan dengan dirinya. Sejumlah reporter, redaktur dan pembuat berita yang diwawancarai Los Angeles Times sepakat mengakui, kebanyakan laporan memang sedikit sekali memberikan informasi tentang sumber yang tanpa identitas itu. Dan kendati sudah diusahakan perbaikan di berbagai bidang, masalahnya konon malah bertambah buruk. Sebab, paling tidak, ada akibat lain: para sumber, di bawah lindungan aman anonimitas, lantas leluasa menggunakan pers untuk kepentingan pribadi dan politik mereka. Misalnya mengasah kapak perang, memuaskan ambisi, membantai saingan dan membakar-bakar khalayak. Caranya memang aman: lempar batu, sembunyi tangan. Minta jangan disebut nama maupun identitas. " 'Sumber-sumber' adalah kata-kata yang paling tidak kusenangi," kata William F. Thomas, redaktur dan wakil Dirut Los Angeles Times. "Aku membencinya . . . kata sepotong itu. Itu bukan cara yang baik untuk menulis laporan." Lalu mengapa tak melarang saja penyiaran pernyataan apa pun yang tak menyebut sumber yang jelas? Mengapa tidak ditentukan, agar siapa saja yang ingin bicara kepada pers harus nampang terang-terangan di depan khalayak, dan di depan kata-kata yang diucapkannya? "Aturan yang simpel saja: tak ada nama, tak ada berita," tulis Shaw. Tapi masalahnya memang tak sesederhana itu. "Tidak praktis dan tidak bertanggung jawab untuk bertindak demikian," menurut penulis yang sama mengutip Thomas dan sejumlah wartawan lain yang diwawancarainya. Demikian juga pendapat sejumlah pejabat, yang masih di singgasana maupun yang sudah turun panggung. "Tak ada jalan untuk menghindarinya," kata Jody Powell, sekretaris pers bekas presidan J immy Carter, yang kini anggota sindikat kolumnis. "Anda tidak akan mendapat banyak jika mengharuskan setiap orang memperjelas identitasnya." Mengapa? KARENA orang yang sedang berkuasa dan berjaya (penguasa atau orang swasta sama saja) tidak ingin membaca kritik tentang dirinya dimuat di koran-koran: programnya, tindakan-tindakannya, kehidupan pribadinya. Jika setiap orang yang membongkar cacat rencana kerja Departemen Hankam AS atau masalah sikut-menyikut di Gedung Putih memberikan identitasnya di media cetak ataupun non-cetak, wah, gawat dong. Gawatnya, menurut Shaw juga, atasan segera melakukan pembalasan: mempermalukan, mengucilkan, menurunkan pangkat, bahkan memecat. Sedang yang tidak diinginkan para wartawan tentunya berlakunya gerakan tutup mulut massal -- terutama dalam hal masalah-masalah kontroversial. Sebab kalau hal itu kejadian, segala bentuk publikasi akan langka berita spekulasi dan gosip yang menggelitik di lingkungan pemerintahan dan swasta --yang dalam banyak hal sebenarnya berguna. Berarti juga pers dan publik akan langka informasi tentang manipulasi, kecurangan, korupsi, pungli, kemacetan, kemunafikan, dan segala ketidak becusan lainnya yang sebenarnya merugikan publik itu sendiri dan mencemarkan demokrasi. "Menjadilah kita orang-orang sok murni, yang tidak membolehkan orang berkata apa pun tanpa menyebut namanya," ujar Gene Robert, redaktur pelaksana Philadelphia Inguirer. "Akibatnya arus informasi mandek. Dan itu menggagalkan misi utama kita agar khalayak memperoleh hak mereka untuk tahu". "Di Vietnam dulu, kutahu ada sejumlah orang yang tidak setuju perang yang banyak memboroskan uang itu," kata Robert. "Tapi tcntara tidak mau anda memberikan laporan begini: 'Kolonel John Jones dan sejumlah pengikut berkata bahwa Jenderal Westmoreland tidak tahu apa yang dilakukannya di sini.' "Peranan terpenting surat kabar adalah penampilannya sebagai saluran perdebatan (intern) kebijaksanaan politik pemerintah," kata Robert lebih jauh. "Bagaimana kita bisa melakukannya, jika kita menolak memuat ucapan-ucapan mereka 'hanya' karena tidak mau menyebut identitasnya?" Robert, dan setiap orang pers yang diwawancarai Shaw, mengakui bahwa 'kepercayaan' media massa terhadap sumber-sumber tak bernama semakin berkelebihan. Dan hal yang dianggap kekeliruan yang sudah meluas itu cukup memprihatinkan para redaktur, wartawan dan pembaca. Soal perlindungan terhadap sumber yang dirahasiakan sendiri, di depan pengadilan, tampaknya tak ada masalah. Wartawan akan dengan senang hati siap masuk penjara ketimbang harus membukakan siapa sumber beritanya. Dalam hal itu sudah ada kesepakatan. Tapi terpisah dari setiap konflik yang mungkin terjadi antara pers dan pengadilan, ada yang membikin marah dan keccwa para pengecam -- dari dalam maupun luar kalangan pers. Yaitu anggapan bahwa para sumber berita anonim itu sudah keterlaluan memanfaatkan 'keistimewaan' mereka. Padahal para wartawan yang menuliskan berita berdasar keterangan sumber yang tak disebut namanya itu sudah mempertaruhkan kepercayaan pembacanya. Daiam kata-kata Shaw, "mengharapkan para pembaca percaya kepadanya, meyakinkan pembacanya bahwa para reporter (dan para redaktur) benar-benar telah menyelidiki kredibilitas sang sumber." Wartawan yang baik dan surat kabar yang baik sepantasnya memegang teguh kepercayaan pembaca itu. Tapi, dan inilah berita, pengumpulan pendapat umum yang dilakukan belakangan ini di AS menunjukkan kepercayaan itu makin menyempit. Akibatnya sejumlah redaktur menganggap pengurangan pemakaian sumber berita anonim sebagai satu-satunya jalan untuk membantu "mengembangkan kepercayaan" kembali. Itu menurut Eugene Patterson, Presdir dan redaktur St. Peterburg (Florida) Times dan Independent. PERSATUAN Redaktur Surat kabar, dan Dewan Pemberitaan Nasional, dua organisasi pers Amerika independen, sempat memonitor tingkah laku penampilan media massa. Dan tampaknya mereka cukup prihatin dengan kasus sumber berita tanpa nama itu, lalu segera merembukkan soal tersebut. Studi mendalam oleh organisasi para redaktur itu sedang berjalan. Penelitian oleh Dewan Pemberitaan Nasional sudah rampung dan segera diumumkan resmi ke seluruh negeri. Dalam kata pembukaan penelitiannya, Dewan Pemberitaan menyebutkan: "Di hari-hari belakangan ini secara meluas timbul masalah bagaimana sebaiknya dunia pers menjalankan misinya. Satu masalah yang tampaknya menonjol: bagaimana saya tahu bahwa berita ini benar padahal saya tidak tahu dari mana datangnya". Lalu: "Ketidakpuasan yang meningkat ditunjukkan pada kenyataan makin seringnya dilaku kan penyamaran sumber-sumber informasi jurnalistik." Sejumlah pembaca malahan curiga, jangan-jangan penggunaan sumber berita tanpa identitas hanya tipu muslihat jurnalistik. Tidak mungkinkah sang wartawan sendiri berlindung di balik ungkapan 'sumber yang mengetahui' atau 'seorang pengamat Senat' untuk menyatakan pendapatnya sendiri di depan khalayak? Atau: itu memungkinkannya merangkai dan memadukan sejumlah pandangan dari beberapa sumber berita -- yang tak seorang pun di antaranya dapat dikutip secara tepat, pada hal ia ingin laporannya mempunyai warna dan titik singgung yang khusus. Tom Brokaw, koordinator reportase pada NBC Nightly News, mengeluh tentang ungkapan-ungkapan ini: 'Kecenderungan nyata yang saya perhatikan akhir-akhir ini . . .' Atau 'beberapa orang di Hill percaya . . .' "Itu menjadi semacam sangkutan baju yang aman bagi para reporter untuk mencantelkan kesimpulannya sendiri," katanya. Dalam hal ini Brokaw tidak sendiri. "Beberapa reporter tampaknya selalu ingin memasang kutipan sesuai dengan laporan yang hendak diarahkannya," kata Jody Powell. "Pada hal dunia tidak lah seperti yang anda kehendaki. Orang-orang tidak selamanya ingin berkata seperti yang anda inginkan." Biasanya reporter ingin mengutip dua atau lebih sumber 'pejabat' anonim tentang topik yang sama -- karena umumnya media massa berpegang pada kebijaksanaan: sedikitnya harus ada dua sumber yang bertentangan untuk satu topik. "Saya sering dibakar kecurigaan, janganjagan hanya satu sumber saja yang dapat dipercayai," kata Frank Greve, wartawan Knight Ridder Newspaper yang mangkal di Washington. Ungkapan rapuh 'para pejabat' menurut Greve merupakan manuver para reporter yang ingin melihat suratkabarnya tetap berpegang pada kebijaksanaan 'dua sumber berita' tadi -- dan "untuk memberi kesan kepada para redakturnya (dan para pembaca) tentang kesungguhan dan kedalaman laporannya." "Tapi penyandaran diri para reporter pada sumber tanpa identitas itu karena menganggap itulah satu-satunya cara untuk memperoleh laporan khusus." Kini yang berkata Shaw sendiri. Para wartawan sendiri, umumnya menganggap dalih itu tidaklah berlaku umum. Menempatkan para negarawan sebagai sumber anonim malah mereka anggap lebih merupakan kemalasan pribadi dan kebutuhan serta kebiasaan jurnalistik belaka, ketimbang ketidakjujuran. Kadang, memang, seorang reporter tidak kenal benar sumbernya. Sebuah pernyataan rutin Deparlu, misalnya, diumumkan oleh seorang pejabat eselon tiga. Nah, jika beritanya akan disiarkan, nama siapa yang dicantelkan: yang mengumumkan atau yang memerintahkan diumumkan? Atau ada orang lain yang lebih tinggi kedudukannya? Maka daripada berpayah-payah-apalagi jika sedang diburu deadline -- ambil saja ungkapan gampang dan aman: 'sejumlah pejabat pemerintahan'. Itu terutama dialami para reporter yang meliput bidang bernilai pengusuta atau kejahatan yang terorganisasi. Sumber-sumber informasi untuk bidang ini, umumnya, enggan berbicara kepada pers di dalam suasana yang bagaimanapun. Penggunaan anonimitas di sini jadi tak terelakkan. "Para reporter yang meliput negeri-negeri Eropa Timur dan rezim totaliter lainnya sering harus melakukan tata hubungan seperti itu pula dengan sumber beritanya, demi alasan kesamaran serupa," tulis Shaw lebih jauh. Memang, para reporter Amerika yang bekerja di kebanyakan negeri asing sering diminta tidak menyebutkan jelas sumber beritanya. Misalnya oleh para diplomat asing, dalam hal yang berkaitan dengan tradisi dan tata cara diplomatik, yang menyebabkan anggapan tidak layak memberikan komentar tentang persoalan dalam negeri tuan rumah si diplomat masing-masing. Apalagi di negeri-negeri yang tidak dapat memahami tradisi pers bebas. Penggunaan sumber tak dikenal dalam pers Amerika ternyata merupakan jalan paling bermanfaat dan aman dalam meliput kasus Mafia atau tema Moskow. Dan jumlah sumber anonim rupanya lebih banyak bermukim di Washington ketimbang di lain tempat. Memang mengherankan. Seorang sumber Washington bisa berkata begini: "No Comment dan minta agar tidak disebut namanya," kata Shaw. Atau, belakangan ia akan datang atau angkat telepon ke kantor-kantor surat kabar atau TV meminta namanya tidak disebut. Menurut penulis yang sama, begitu rutinnya sudah, di Washington itu. Sehingga sejumlah reporter yang disuruh Shaw berwawancara di sana untuk kepentingan tulisan ini pun, meminta Shaw untuk tidak menyebut dua nama. Nama sumber berita, dan nama sang reporter sendiri . . . Mingguan Berita Newsweek baru-baru ini menurunkan laporan utama tentang campur tangan Amerika dalam perang rahasia untuk menggulingkan pemerintahan kiri di Nikaragua. Di antara informasi dari 36 sumber berita intel, hanya tiga yang mau disebut identitasnya. Dua antaranya menyebut "No Comment". Dan karena itu oleh Newsweek para pejabat itu tidak disebut sama sekali nama jelasnya. Buat apa, 'kan? Mel Elfin, bekas perwira intel AU dan kini Kepala Biro Newsweek di Washington, berkata: "Dalam dunia peromongan, kode anonimitas adalah bagian dari tata cara berbusana." Namun kebanyakan reporter Washington yang meliput bidang yang kurang peka ternyata juga tidak menyebut nama jelas sumbernya. Jadi: "Itu sudah menjadi kebiasaan di Washington," kata yang empunya karangan. "Cukup mencengangkan jumlah laporan dari Washington tanpa sepotong nama tercantel di sana," kata Paul Janesh, redaktur pelaksana Luisville Courier Journal and Times. Korp wartawan Washington dan pemerintah "bekerja sama dalam permainan ini," katanya pula. "Jadinya publik yang rugi." Janesh mengaku sempat menetap di Washington selama setahun -- "dan betapa kagetnya menyaksikan kesediaan para reporter memenuhi permintaan" untuk anonimitas. Para reporter dan pejabat pemerintah sepakat membuat "aturan menari bersama", tambah Janesh, "dan semua itu membuat tercecernya informasi penting dari mata dan telinga publik." LALU Janesh menunjuk tindakan sementara pejabat pemerintah yang membagikan informasi kepada reporter sambil berpesan "Jangan disebut sumbernya". Bahkan tidak boleh pula sebagai latar belakang. Artinya, si reporter bahkan tidak boleh mengutipnya sebagai sumber anonim ia harus mengecek sendiri informasi tersebut entah kepada siapa dan di mana. Atau tulis saja: "Seperti diketahui, bahwa . . ." Bisa juga dalam gaya tulisan seolah ia sudah mengetahuinya sebagai suatu fakta: "Presiden Reagan akan mengumumkan . . ." Konon, penggunaan sumber tanpa identitas sudah berkembang di Washington (dan di mana saja) sejak masa para wartawan dan pejabat harus bertemu dan berbicara. Tapi peningkatan menyo lok terlihat sekitar 20 tahun terakhir. Sejumlah reporter dan redaktur yang diwawancarai menyebut tiga tahap khusus evolusi praktek jurnalistik di negeri itu. Pertama-tama disebut masa pemerintahan Kennedy. Presiden John F. Kennedy dianggap menikmati hubungan baik dengan pers: ia dan pembantu utamanya sangat ahli bergaul (dan mengakali) para wartawan. Adanya "laporan bocor" -- dan sumbernya tidak dikenal -- sudah biasa di masa Kennedy. Dan kritik-kritik terhadap pemerintahan Kennedy kemudian sering dianggap sebagai kecaman terhadap pemerintahan Lyndon B. Johnson atau Richard M. Nixon -- saat kebijaksanaan 'pemberitaan terkendali' populer. Kemudian tahap masalah Vietnam. Dibanding kebanyakan presiden AS lain nya, Johnson dikenal sebagai pribadi tertutup dan angkuh. "Manusia yang cepat bereaksi marah jika rencananya dikritik atau dibocorkan kepada pers," komentar Shaw Kctika kecaman terhadap kebijaksanaanya terhadap Vietnam menanjak, kepekaannya menjadi-jadi. Para reporter haus dan rakus terhadap berita bagus, sementara para pejabat pemerintah sering pula kelewat bersemangat agar bantahannya diketahui secara luas oleh publik. Dari sini para reporter dengan cepat belajar dari pengalaman, bahwa cara teraman untuk kedua belah pihak -- reporter dan sumber berita -- adalah menyiarkan berita tanpa menyebutkan sumber secara jelas. Peristiwa Watergate mungkin tahap yang paling ramai. Kebanyakan wartawan sependapat, penggunaan sumber berita anonim meningkat secara geometris selama peristiwa ini. 'Deep Throat' (harfiah: Kerongkongan Dalam adalah sumber informasi anonim paling menarik dan merangsang. Tapi sesungguhnya, setiap reporter Watergate yang baik harus menggunakan seorang atau dua 'shallow throat' (kerongkongan dangkal) di tempat lain. Karir politik senantiasa dibuntuti bahaya. Termasuk fitnah dan penjara. Suatu saat ada pemerintah yang terguling. Dan jika wartawan bertahan pada ketetapan bahwa setiap informasi harus mencantelkan sebuah nama sumber, "banyak cerita kunci tentang Watergate tidak akan pernah disiarkan," tulis Shaw. Sayangnya, dalam persaingan mengungkapkan Watergate, standar tradisional dalam hal pencantelan nama sumber berita makin tersisih. Karena yang penting: berita hangat harus segera naik cetak, dan itu berasal laporan dari sumber anonim. Ini dianggap lebih baik ketimbang menyiarkan berita basi kendati dengan sumber yang jelas. Watergate ternyata memberikan rangsangan bagi orang-orang muda, "para reporter pengusut", yang senang memburu berita penuh glamour. Mereka menyangka dapat menyenangkan para redaktur (dan pembaca) mereka karena berhasil membina hubungan dengan 'sumber-sumber yang mengetahui', dan 'para pejabat Balaikota'. Lucunya, bahkan ketika sumber yang bersangkutan benar-benar ingin namanya jelas-jelas disebutkan, mereka merahasiakan. Para reporter sendiri sebaliknya cenderung menyalahkan sistem -- sebagian terbesar pemerintah -- berkenaan dengan banyaknya sumber yang tak mau disebut namanya itu. Toh banyak kalangan pers mengakui bahwa para reporter sendiri turut bersalah. Memang, lebih gampang dan lebih cepat memperoleh informasi dari orang-orang yang tak ingin namanya disebut ketimbang yang sebaliknya. Dari sumber yang jelas, tumbuh masalah bagaimana meniti di antara lika-liku birokrasi, untuk mencari sumber yang paham benar masalah. Lalu bagaimana meyakinkannya agar mau memberikan keterangan dengan nama jelas. Jadi beberapa reporter lebih suka memilih jalan yang gampang, kata Shaw. Dennis Britton, redaktur Nasional Los Angeles Times, menyebut pemakaian sumber tak beridentitas sebagai "perangkat manusia yang malas." Namun kemalasan, kenaifan dan glamour bukan satu-satunya alasan mengapa para reporter begitu menyandarkan diri pada sumber anonim. Persaingan antar media cetak dan hadirnya televisi juga menjadi alasan yang kuat. Kini ada 4.355 wartawan mangkal di Balai Wartawan Kongres saja. Jumlah yang melipat dua dalam waktu 20-an tahun terakhir, menurut National Journal. Journal memperkirakan ada sekitar 10 ribu "wartawan dan penulis berita yang resmi terdaftar" bekerja di Washington mewakili surat kabar, televisi, radio dan buletin. Dengan begitu serunya persaingan, besar sekali beban terpikul di pundak wartawan agar senantiasa menjadi yang tercepat -- kendati karenanya mereka hanya mempunyai secuil laporan yang baik. Informasi dari sumber yang tak ingin namanya disebut, dalam pada itu, sebenarnya sering dapat dicek kebenarannya kepada sumber yang namanya mau diumumkan -- jika reporter bersangkutan memiliki cukup banyak waktu untuk memburu dan menggali lebih dalam. "Tapi keharusan menjadi yang pertama jarang memberi kesempatan untuk penggalian lebih dalam itu," tulis Shaw. Para reporter biasanya lebih kencang memburu ke percetakan atau studio radio dan TV, dengan laporan dari sumber anonim. Ini memang hubungan yang simbiosis. Reporter dan sumber berita saling memanfaatkan untuk diri masing-masing, yang ternyata acap bertentangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus