THE EASTASIA EDGE
Roy Hofheinz Jr. dan Kent E. Calder, Basic Books, 1982, 296 hal.
Bahwasanya produktivitas Amerika Serikat semakin menurun
sementara di Jepang keadaan sebaliknya yang terjadi sudah banyak
digarap oleh beberapa penulis dalam waktu belakangan ini. Tetapi
suatu gambaran yang menarik dan lengkap atas perekonomian
negara-negara Asia lainnya disekitar Jepang, baru ditemui dalam
buku ini. Bersama dengan Jepang, yang memiliki modal besar dan
teknologi cukup tinggi, negara-negara Asia lainnya yang terkenal
karena upah buruhnya yang rendah, seperti: RRC, Korea Selatan,
Taiwan, Filipina, Singapura dan Hongkong, telah berhasil
menantang dominasi pasaran dunia yang selama ini dikuasai oleh
Amerika Serikat dan Eropa.
Semakin luasnya jangkauan "Eastasian", julukan yang diberikan
untuk negara-negara tersebut oleh George Orwell dalam 1984,
sangat sulit dimengerti. Sebagai contoh Tokyo Stock Exchange,
bursa yang memiliki modal sebesar 356 milyar dollar AS pada awal
1981 merupakan nomor dua terbesar di dunia setelah New York.
Pasar dollar di Singapura berjalan dengan besaran sekitar 65
milyar dollar AS dan hanya di bawah pasar uang jangka pendek
dari London.
Serangan negara-negara Eastasia ke pasar Amerika Serikat dan
Eropa Barat telah dimulai sejak PD 11. Di tahun 1963 hanya 1%
dari perlengkapan pengangkutan di Eropa datang dari Jepang. Tapi
saat ini jumlah tersebut telah meningkat menjadi 16%
Barang-barang kulit dari Asia pada tahun 1963 hanya 10% beredar
di pasar Amerika Serikat dan Eropa Barat, pada tahun 1977 telah
berlipat dua. Pakaian dan barang-barang sejenis dari Asia yang
pada tahun 1963 hanya diperlukan 22% oleh Eropa, saat ini telah
meningkat menjadi 31% . Dari jumlah ini hanya 1,6% yang datang
dari Jepang.
Kedua penulis The Eastasia Edge memberikan pertanyaan: sampai
kapan serangan ini akan berlangsung? Jawabnya, mereka siapkan
juga, serangan ekspor ini akan terus berlangsung di masa depan
tanpa gangguan politis. Hanya, keuntungannya bagi
negara-negara Barat, pasaran di Asia juga semakin berkembang
dengan semakin majunya perekonomian mereka (lihat tabel). Oleh
karenanya, daerah pinggiran Eastasia masih merupakan pasar yang
menantang bagi negara-negara Barat.
Bagi Hofhein, bekas guru besar Harvard yang sekarang membuka
biro konsultan, dan Calder, ekonom pemerintahan dari Harvard,
kekuatan yang perlu diperhatikan adalah RRC: Raksasa dengan 1
milyar penduduk yang agak tertinggal dari rekan-rekannya yang
kecil semacam Singapura dan Taiwan. Kalau saja, menurut kedua
penulis ini, kelak akan berhasil terbentuk kekuatan
Sino-Japanese, yang pada saat ini telah mulai tampak, maka
Eastasia bukan saja sekedar imbangan bagi kepemimpinan
perekonomian negara Barat, tetapi bahkan akan menjadi pemeran
utama di dunia dalam abad ke-21 yang akan datang.
Mungkin kekuatan semacam itu sulit dibayangkan saat ini. Namun
bagi para ekonom, usahawan dan bahkan investor yang telah dibuat
tertegun oleh kenyataan-kenyataan ekonomi seperti terlihat di
atas, bukan mustahil bagi negara-negara Asia untuk mengambil
peran yang sekarang dimainkan oleh negara-negara Barat dalam
bidang teknologi, pemasaran maupun perindustrian. Suatu
perwujudan kepemimpinan masa depan yang mulai dimengerti oleh
para ahli di dunia Barat.
Prijono Tjiptoherijanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini