KARTUN pada mulanya cuma obat stres bagi Dwi Koen. Tapi kemudian guyonan bergambar itu dikembangkan menjadi pojok editorial kartun mingguan sampai kini. Itulah kisah Panji Koming, cerita kartun yang muncul setiap Minggu di Kompas, karya Dwi Koen (Dwi Koendoro Brotoatmodjo), yang 13 tahun lalu benar-benar sibuk sebagai Kepala Bagian Produksi Audio Visual. Dwi Koen memang bisa mengembangkan situasi Majapahit menjadi kartun opini yang tak habis-habisnya. Ia mempunyai pengalaman panjang dalam percaturan kartun Indonesia. Olah kartun opini dimulainya sejak tahun 1961 di harian Kedaulatan Rakyat dan Minggu Pagi Yogyakarta, sambil kuliah di ASRI. Permainan kartunnya menjadi lincah setelah hijrah ke Jakarta. Karyakaryanya sering muncul di berbagai media Jakarta seperti Stop dan Astaga. Kini ia mengisi tetap serial Sawung Kampret yang mengambil situasi zaman VOC di majalah Humor. Pengalaman panjang ini memantapkannya dalam teknik gambar yang piawai, kelincahan garis, pengungkapan sudut pandang, dan pembentukan karakter. Sedang keterlibatannya dalam film animasi membekali konsistensi tokohnya. Pada Panji Koming, tampak garis kuas yang lentur dan hidup, seakan bergerak seperti dalam film kartun. Tak heran bila Y.B. Mangunwijaya dalam pengantar buku ini menggelarinya sebagai "Doctor Honoris Causa Walt Disney Indonesia". Kisah Koming dilahirkan 13 tahun lalu, diangkat dari situasi Majapahit. Menurut Dwi Koen, catatan sejarah masa akhir Majapahit cukup terang meski sedikit remang. Tatanan negara tersusun rapi, tapi penuh intrik dan ketidakjelasan. Dalam situasi itu, ia mengangkat kisah si Koming yang lugu nyaris bego, bingung tapi jujur. Tokoh lain, Pailul, digambarkan urakan, vokal, ceplas-ceplos, tapi sering betul. Koming punya pacar Ni Woro Ciblon, si cantik molek berbudi halus, penurut, tak pernah menatap mata sesuai dengan etika wanita Jawa. Pailul didampingi Ni Gembil yang garang, bertubuh tinggi besar, dengan sikap meyakinkan seperti kaum feminis masa kini. Di tengah para pamong, prajurit, adipati, petinggi, dan sang resi, tokoh-tokoh itu mengumbar kejenakaan dan kejailannya. Hingga lengkaplah kesemarakan parodi alegoris lakon Panji Koming. Mengisi kartun opini enam gambar tiap minggu memang bukan perkara mudah. Dwi Koen harus mengikuti berita hangat Kompas untuk menyesuaikan gagasan dan tingkat intelektual pembaca. Namun, dalam menghayati nuansa berita, Dwi Koen memilih majalah TEMPO. Berita yang pedas dan pahit pun dapat diramu menjadi ulasan yang dalam dengan tetap mengundang senyum. Pengungkapan butuh seni berkias tinggi dengan ilmu sindir Jawa yang bersayap. Artinya, lelucon bukan saja ditangkap sebagai peristiwa lucu. Seperti bisa dinikmati dalam Panji Koming, kartun itu memuat sarat kata dan perlambang. Buku Panji Koming 19791984 berisi 190 serial. Perkembangannya dari minggu ke minggu menunjukkan bagaimana Koming menemukan bentuknya yang utuh. Buku ini dipilah menjadi empat bagian: pekerti, keadilan, pelestarian, dan senyum renung. Ini dimaksudkan sebagai pigura untuk memudahkan pembaca mengikuti isi buku. Kelebihan lain, Panji Koming berhasil tampil dengan pesanpesan atas kejadian yang tetap kontekstual. Priyanto S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini