Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Den Kisot, Teater Boneka yang Lengkap

Sebagai sutradara, Endo Suanda menciptakan teater dengan keyakinan yang klasik: pertunjukan adalah perpaduan semua unsur seni yang dilibatkan. Juga yang bukan seni: penonton.

11 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEN Kisot naik kuda sembrani, yang bisa terbang lantaran dikerek. Ia menuju angkasa untuk membebaskan Dulcinea, kekasih khayalinya, yang terkena musibah: dimantrai gergasi menjadi patung dan disimpan di atas langit. Sampai di bawah atap ruang pertunjukan, sebuah lampu yang terang menyilaukan matanya. Itulah raksasa yang harus ia bunuh untuk membebaskan sang kekasih. Den Kisot hampir berhasil, tapi nasib belum mengizinkan. Tali pengerek putus, Den Kisot terbanting ke bawah bersama kudanya, ringsek. Selanjutnya adalah dialog antara yang terbaring remuk dan Sancho Panza, petani dungu lagi buta huruf, pelayan setia si Aden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adegan menjelang penutup pertunjukan teater boneka golek dengan lakon Den Kisot itu adalah percakapan yang membawa haru. Percakapan tentang melanjutkan perkelanaan tapi mustahil karena tubuh sudah remuk; tentang lahir yang di ujungnya sudah dipastikan: mati; tentang awal yang mau tak mau harus diakhiri. Dan tentang betapa tidak penting pengarang cerita, apakah itu Miguel de Cervantes atau Sayid Hamid, karena, kata Sayid Hamid, Don Quixote sendiri yang merangkai segalanya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yang mengharukan itu hadir setelah sejumlah adegan dan dialog yang sering kocak. Kocak bukan karena adegan yang slapstick, memanfaatkan tubuh secara berlebihan untuk mengundang tawa, melainkan lantaran sejumlah pelesetan yang piawai yang sebenarnya sudah diisyaratkan dalam judul, Den Kisot. Maka dikisahkan bahwa kuda tunggangan si Aden Kisot itu sesungguhnya bernama Kliwon, tapi agar keren dinamai Rocinante. Dan Dulcinea, kekasih yang khayali itu, diyakini Den Kisot sedang menyamar sebagai pelayan hotel dengan nama Siti Badriyah.

Endo Suanda dan gitar bambu di rumahnya, Bandung, Desember 2019. TEMPO/Prima Mulia

Yang ternikmati: pertunjukan seolah-olah mengalir dengan sendirinya, perpaduan yang kreatif antara naskah yang ditulis Goenawan Mohamad dan di sana-sini dialihwahanakan ke pentas oleh Endo Suanda, sutradara. Yang kemudian tersaji: sebuah pertunjukan yang berangkat dari kisah kesatria Spanyol, yang menurut orang kesatria majenun, dengan rasa karedok di sana dan di sini. Itu tampaknya karena semua unsur pertunjukan hadir dengan bernas tanpa membuat unsur yang lain menjadi yang kedua—sesuatu yang rasanya susah dicapai dalam sebuah tontonan: naskah (lebih tepatnya bahasa) yang sederhana tapi bermakna dan tersampaikan dengan jelas, wujud wayang golek yang berkarakter, musik yang menggugah, dalang membawakan (membaca, ternyata) naskah serasa air mengalir yang alami, kadang teks dinyanyikan, dan sudah barang tentu sutradara yang tampaknya kaya gagasan. 

Memang, Den Kisot bukan sejenis teater yang berbicara dengan bahasa “puitis”, semisal pertunjukan Orfeus yang digarap Melati Suryodarmo sebagai penciptaan kembali puisi “Orfeus” Goenawan Mohamad. Tak ada yang “menghibur” dalam Orfeus, tragedi Yunani tentang pemusik yang hampir berhasil menghidupkan kembali Euridisi, istrinya. Pertunjukan ini, juga puisinya, menyentuh dan membawa kita merenungkan ihwal hidup dengan “bahasa” itu tadi, tanpa “menghibur”. Den Kisot memilih hadir sebagai bebodoran yang “serius”. 

Karakter Den Kisot saat gladi resik di Komunitas Salihara, Jakarta, 13 Juli lalu. TEMPO/NITA DIAN

Pada mulanya, naskah ditulis untuk sebuah teater anak-anak. Pada akhirnya, sutradara melihat ada yang lebih “dalam” dari naskah itu. Maka jadilah sebuah tontonan untuk segala usia: jalan cerita yang mudah ditangkap, adegan-adegan yang tidak sulit dan menyarankan sebuah dongeng yang “pada zaman dahulu kala adalah seorang kesatria…” dan seterusnya, serta dialog-dialog yang mudah tapi menyarankan perenungan lebih jauh, juga musik pembuka suasana beragam makna. “Walau khayal, tetap berharga, fantasi tak ikut mati, tapi kini gelap-gulita, tak terlihat celah bayangan… ya, Tuhan… harus bagaimana kita ini…,” kata Sancho Panza menjawab ajakan Den Kisot, yang terbaring remuk, untuk meneruskan perkelanaan mereka membasmi kejahatan. 

Sekitar sejam pertunjukan Den Kisot berlangsung—bandingkan dengan naskah Don Quixote yang diindonesiakan dalam dua jilid. Dan dalam sejam itu Den Kisot serasa hadir dengan segala yang mungkin dalam sebuah teater boneka: aktor yang sebenarnya (bukan boneka), suguhan film video pembakaran buku. Semua itu didukung bentuk boneka yang tanpa dimainkan pun terasa bermakna, seperti sebuah karya seni rupa tiga dimensi yang bermutu. Sebuah alih wahana dari teks yang lazim dibaca sendiri, sebuah percakapan antara teks dan seorang pembaca, menjadi pertunjukan yang ditonton beramai-ramai dan direspons dengan bebas—seperti sebuah teater rakyat. 

Kepiawaian mengalihwahanakan teks menjadi pertunjukan yang enak ditonton dan perlu itu, saya kira, sangat patut dicatat. Bukankah pergelaran Den Kisot di Indonesia timur (di Ternate dan Tidore) sebelum akhir tahun lalu membuat anak-anak di kawasan itu, yang jauh dari sumber wayang golek dan (mungkin) jauh dari teater modern dengan segala idiomnya, ternyata terbahak-bahak menyaksikan kekocakan si Aden? Tampaknya Endo Suanda paham benar bahwa teater tanpa penonton bukanlah pertunjukan yang sukses. Dikabarkan, Den Kisot di Ternate dan Tidore tampil dengan banyak kosakata dan kebiasaan lokal. Itu sebabnya Endo dengan yakin mengajak penulis Nukila Amal, yang memahami adat kebiasaan setempat, terlibat. 

Endo, dengan demikian, menerapkan dengan pas bahwa pertunjukan adalah hasil kerja sama berbagai unsur, berbagai cabang seni. “Dalang bukan segalanya…,” terlantun nyanyian dalam penutup kisah. Andai itu dilengkapi, bukan hanya dalang, tapi juga sutradara, pemain, musik, boneka, naskah, dan lain-lain, bukan segalanya. Segalanya adalah perpaduan itu semua. Endo membuktikannya di Salihara, Jakarta; di Bandung; juga di Ternate dan Tidore, dan entah di mana lagi, dengan “melibatkan” satu hal lagi: penonton. 

BAMBANG BUJONO, PENGAMAT, DAN PENULIS SENI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus