Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUISI Indonesia sepanjang 2019—terlebih yang telah dibukukan—belum beranjak jauh dari puisi Indonesia tahun-tahun sebelumnya. Banyak penyair masih mengolah bentuk-bentuk yang telanjur mapan, yang memang belum kehilangan pesona. Puisi lirik, misalnya. Sejumlah penyair menggarap puisi-prosa atau puisi naratif atau yang serupa haiku atau yang sekadar jungkir-balik dalam keruwetan metafora. Beberapa dari mereka mengolah kembali bentuk warisan penyair pendahulu. Atau bersiasat dengan mengarahkan fokus perhatian pada yang, mungkin, belum banyak digarap penyair lain. Misalnya sains dan sejarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demikian pula Deddy Arsya. Ia mengolah kembali bentuk warisan penyair terdahulu—terutama Chairil Anwar dan Afrizal Malna. Tapi ia juga berupaya menemukan apa-apa yang bisa menjadi miliknya. Puisi-puisi Deddy, selaku penyair yang secara akademis mempelajari sejarah di tingkat sarjana dan pascasarjana, memberikan tempat yang penting kepada peristiwa-peristiwa sejarah, serangkaian kronik, terutama di kawasan Sumatera Barat sebagai daerah kelahirannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buku puisinya, Odong-odong Fort de Kock (Kabarita, 2013), yang beroleh penghargaan Buku Puisi Pilihan Tempo 2013, mengolah tegangan antara sejarah dan hari ini. Di dalamnya kita menemukan tenaga puisi modern yang digayuti daya tenung pepatah-petitih dan tambo Minangkabau, narativisme prosa dengan ornamentasi saling-silang bunyi. Serangkaian kronik atau pemandangan dunia hari ini mencapai taraf kepuisiannya yang wajar di tangan subyek lirik yang mencuri kelincahan celoteh tukang kaba dan tukang pantun.
Begitu pula buku puisi terbarunya, Khotbah Si Bisu (Diva Press, September 2019). Deddy memainkan kembali tegangan antara kesadaran sejarah dan sikap ahistoris. Dunia hari ini adalah puncak gunung es dari masa silam yang belum selesai, tapi mereka yang hidup hari ini mati-matian menolak masa silam tersebut. Salah satu penyebabnya: trauma. Subyek lirik puisinya adalah orang aneh yang hendak mencekau merjan-merjan sejarah yang masih bisa berpendar di tengah gerusan kekontemporeran. Dari situasi seperti ini, meletuplah ironi yang sedap.
khotbah Si Bisu, Deddy Arsya Diva Press, September 2019
Misalnya, pemandangan “jalak di punggung kerbau” (sebagaimana ditunjukkan dengan tepat oleh sajak berjudul sama) lebih mempesona ketimbang cerita kemiskinan. Sebab, di balik sawah yang indah-permai itu sebenarnya terbentang sejarah penguasaan tanah, amuk bencana, terusirnya kaum tani dari sawah dan kebun mereka, hingga mereka menjadi kaum urban dan miskin. Dengan kata lain, kita sebenarnya tidak membutuhkan sejarah karena sejarah melulu soal perlawanan yang berujung kekalahan. Yang kita butuhkan adalah puisi yang menyembuhkan trauma, pemandangan “Hindia Molek” yang menyenangkan hati.
Dalam konteks ini, puisi adalah sejurus eskapisme; obat untuk trauma sejarah.
Sesungguhnya, sejarah membutuhkan narrative yang cukup agar bisa sampai kepada kita. Tapi hasrat yang berlebihan akan sejarah bisa menjebak puisi menjadi hanya proses penceritaan kembali. Ia menjadi sekadar kalimat-kalimat prosa yang kemudian diberi tipografi tertentu dan diakui sebagai puisi, atau prosa berirama yang disangka puisi-prosa. Namun Deddy mengatasi ini dengan tetap mempertahankan apa-apa yang selama ini lekat sebagai watak puisi: jukstaposisi, paralelisme, repetisi, enjambemen (larik sambung), metafora, simile (majas), dan seterusnya—sebagaimana ditunjukkan dengan baik oleh puisi “Para Pembuat Rajah” dan “Di Selatan Kaldera”.
Jika Deddy mengosongkan puisi-puisinya dari kesadaran sejarah, yang kita dapatkan adalah potret dunia hari ini dalam larik-larik ringkas serta permainan metafora dan simile yang masih lumayan menawan. Juga, karena dalam bentuk yang ringkas-padat itu, ia berhasil menghidupkan paradoks antara harapan dan kenyataan, antara bentuk dan isi. Paruh pertama puisi “Beri Aku Pelukan-pelukan Ringan” (salah satu puisi terbaik dalam kumpulan ini) menggambarkannya begini:
Beri aku pelukan-pelukan ringan
seringan kapas diterbangkan angin ke buritan
Mungkin nanti pada punggungku
akan ada empat atau enam roda
—retina matamu caping tembaga
Mungkin nanti pada pundakku dan pundakmu
mengepak-ngepak sepasang sayap dari dingin baja
—dan hidup jadi selesat cahaya
Tapi kini kita berhimpit-himpitan di sini
aku di atas ‘ambulan’ raksasa
dan kau tergolek di belakangnya.
•••
Dalam puisi ini, tidak dibutuhkan sesuatu yang sempurna, selesai dan penuh. Cukuplah sesuatu yang sifatnya sejenak, yang kecil, tapi tetap punya makna. Itulah “kecupan-kecupan tipis/setipis lembut daging di tungkai betis”. Serangkaian aksi yang tidak akan mengubah keadaan, tapi masih bisa membuat manusia bertahan lebih lama lagi dalam terungku dunia.
Hasrat meminta yang kecil saja berhubungan dengan sesuatu yang permanen dalam puisi-puisi Deddy, yakni kesadaran sejarah tadi. Masalahnya, mereka pernah menuntut perubahan besar dan mereka kecewa. Ingat bagaimana trauma penduduk Sumatera Barat setelah penghancuran laskar dan pendukung Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia oleh tentara Republik dari Jakarta/Jawa. Dengan kata lain, puisi-puisi Deddy sebenarnya serangkaian siasat untuk mengatasi trauma sejarah. Puisi berada dalam permainan memori antara ingat dan lupa, antara memaafkan dan melupakan.
Deddy Arsya di Bukittinggi, Sumatera Barat, Desember 2019.
Karena itu, tidak ada heroisme dalam puisi-puisi Deddy. Yang ada kemudian adalah kisah-kisah kepahlawanan itu dirawikan kembali untuk dicemooh. Sebab, kepahlawanan hanyalah milik mereka yang pernah melawan dan kalah. Perlawanan kaum—baik terhadap Belanda maupun tentara Republik—selalu dilihat dalam perspektif orang kalah, yang mengakibatkan trauma yang sulit disembuhkan. Maka, dengan jurus eskapisme, heroisme lantas berubah menjadi erotisme.
Sajak “Perang Lima Tahun” yang ditulis untuk mengenang Sentot Alibasyah, salah satu pemimpin laskar Pangeran Diponegoro yang kemudian menyerah dan bekerja untuk Belanda, menunjukkan bagaimana perubahan orientasi itu terjadi. Karena keputusasaan, kepahlawanan di medan perang berganti dengan pergulatan penuh berahi di atas ranjang. Pada saat yang sama, muncul permainan motif keris yang bermakna ganda: senjata pembunuh sekaligus zakar.
Kudekap kau dalam gelora mabukku, kutikamkan ujung keris ini/pada dua pucuk kepundan coklatmu dam kawah merah di lapis/pahamu, bagaimana bisa ragi bertikai begini?
Cara pandang Deddy yang seperti ini juga berpengaruh pada caranya memperlakukan tradisi. Sebagai penyair yang tumbuh dalam budaya Minangkabau—dan tahulah kita betapa kuat pengaruh budaya itu kepada sastrawan yang lahir dari situ—Deddy menjalankan siasat “benci tapi rindu” dengan tradisi yang telah membesarkannya. Dia mendayagunakan kembali tenaga sastra lisan Minangkabau dalam puisi modern dengan sikapnya yang kritis sekaligus jenaka.
Sementara selama ini kita mengenal ungkapan “duri dalam daging” atau “padi merunduk tanda berisi”, Deddy mencoba mencari nalar baru dari ungkapan-ungkapan tersebut. Sebuah permainan yang muncul setelah si penyair berdiri pada jarak tertentu dari tradisi itu. Misalnya dengan pernyataan “Aku minta kau mencari duri dalam dagingku/Mencari pintu dari ketuk mimpiku” (puisi “Lenguh Sapi-Sapi di Padang Terbuka”) dan “Tapi kini aku jinak serupa padi/Merunduk, merunduk//Tapi betulkah tanda berisi?” (puisi “Keledai Pirang”).
Dengan puitika seperti ini, Deddy Arsya telah menerakan sidik jari kepenyairannya pada lanskap puisi Indonesia modern. Khotbah Si Bisu menyadarkan kita bahwa kepenyairan berarti memperluas perhatian tidak melulu pada dunia hari ini, tapi juga pada masa silam yang jauh di belakang kita. Penyair bolak-balik dengan rileks di antara keduanya. Pada saat yang sama, ia terombang-ambing antara memadatkan ungkapan dan menguraikan kisah, antara menjajarkan citraan dan merinci peristiwa, antara mengolah pengaruh dan menemukan yang khas miliknya.
Sesungguhnya, tegangan itu abadi sifatnya.
ZEN HAE, KRITIKUS SASTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo