Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK mudah mengisahkan kembali pengalaman “menyaksikan” karya-karya Julian Abraham Togar dalam proyek seni bunyinya, “Melintas Bunyi”, di Rubanah, Jakarta, 27 April-18 Mei 2019. “Menyaksikan” dalam proyek itu mesti diberi catatan khusus. Kita memang menyaksikan benda-benda, bermacam raut dan susunannya, sebagian besar rangkaian yang terdiri atas beberapa bagian. Benda-benda Togar baru terasa hadir dan “bermakna” jika bersentuhan atau dimainkan dengan obyek atau alat lain, menimbulkan beragam bunyi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melalui singgungan, gesekan, dan tabuhan dengan alat lain, benda-benda itu kompak melahirkan satuan atau pangsa bunyi baik sebagai bunyi tunggal maupun pengulangan. Kekompakan—tanpa mengindahkan simpang-siur jalur-jalur kabel—juga tampak pada pemajangan di dinding atau konfigurasi di atas lantai. Instalasi dalam arti harfiah, pasang-memasang, beroleh wujud nyatanya dalam karya-karya ini. Togar menyebutnya karya instalasi bunyi konkret.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teranglah, proyek “Melintas Bunyi” Togar diniatkan keluar dari bahasa rupa yang bersandar pada indra penglihatan semata. Sebagai ganti atau pelengkapnya, ia menempatkan indra pendengaran kita sebagai yang sangat penting dalam cerapan. Benda-benda menjadi sumber bunyi, tentu saja. Tapi bebunyian bagi Togar bisa lebih dari sekadar itu: secara konkret menimbulkan imaji rupa, lingkungan, situasi, atau kejadian. Karena itulah ia menyebut bebunyian sesuatu yang “konkret”.
Pameran “Melintas Bunyi” karya Julian Abraham “Togar” di Jakarta, Mei 2019. Foto: Dok.pri
Upaya Togar berjejak. Pada 2017, ia memamerkan percobaannya dalam proyek “Sebelum Gendang” di Kedai Kebun Forum, Yogyakarta. Gagasan yang diajukan dalam pameran itu adalah “fisikalitas” (melalui) bunyi. Bunyi mengandung sekaligus menyembunyikan raut. Cerapan melalui indra pendengaran bagi Togar dianggap lebih langsung ketimbang indra yang lain. Dalam pameran itu, ia menyebut dan menjuduli sebuah instalasi bunyinya Ears Have No Self-Defense Mechanism (2017). Apakah bunyi menerobos pendengaran kita selekas pendar sumber cahaya?
Pada 2018, ia melanjutkan proyek bunyinya di Cemeti-Institute for Art and Society, Yogyakarta. Pertanyaan Togar dalam pameran “IIINNNGG” itu: apakah bunyi merupakan materi (matter) atau energi? Dan bukankah bunyi adalah sungguh merupakan persoalan di dunia kita saat ini? (Does it matter?) Seperti halnya energi surya dan gelombang udara menghasilkan daya listrik, bunyi juga memproduksi energi. Tapi bebunyian di sekitar kita tercetus dari kiprah perangkat teknologis yang berhasrat memperbesar gaungnya. Bagi Togar, bebunyian yang tidak lagi alami itu menjadi persoalan baru bagi tubuh kita. Interaksi dan reaksi tubuh kita atas berbagai bunyi menjadi lebih rumit dan kaya.
•••
DIBAWA ke ranah seni, kita tentu tahu bahwa praktik seni rupa sendiri tak lain adalah perkara kemajemukan. Orang menyebutnya semacam politik gado-gado di dunia seni (the politics of mélange). Perhatikan, belakangan ini kita juga kerap membaca pernyataan gado-gado, berbunyi seperti ini: “Saksikan narasinya pada kanal bla-bla-bla….” Layar kaca pada satu sisi menegaskan hegemoni dunia visual. Tapi, pada sisi lain—setidaknya dalam pernyataan tersebut—layar kaca dianggap tidak mampu eksis tanpa tuturan naratif yang mesti kita “saksikan”.
Upaya memurnikan seni—ke dalam kategori atau hierarki—akan selalu berhadapan dengan fakta keberagaman seni itu sendiri. Dalam kebudayaan Eropa abad ke-12, contohnya, apa yang disebut “lukisan” bukanlah seperti citra “murni” yang kita kenali sekarang. Berbagai bentuk hiasan dan ukiran pada barang-barang fungsional—kaca, logam, tembikar, dan lain-lain—suatu ketika semua itu dibilang sebagai lukisan. Pada Abad Pertengahan, para ahli sejarah dengan yakin mengatakan bahwa indra yang membentuk hubungan-hubungan paling halus dan tajam (the perceptive sense par excellence) dengan dunia selingkung kita tak lain adalah pendengaran. Penglihatan berada di belakang, sesudah indra sentuhan atau rabaan.
Demikianlah, Abad Pertengahan akan selalu dikenang sebagai “antivisual” ketika kesenian Barok terutama mewujud sebagai semarak visual benda-benda, penuh gaya, pernik, dan hiasan. Menjelang masa kejayaan Renaisans, visi dipandang sebagai “purwarupa kepekaan”, lahir dari proses pengetahuan yang didorong berbagai kepekaan indrawi. Gagasan perihal visi yang majemuk itu perlahan-lahan bergeser menjadi pengetahuan optis, ditandai dengan penemuan perspektif lurus. Visi perspektif “Albertian” kelak berdiri kokoh sebagai pilar perkembangan sains modern, berkembang khas dalam budaya Kristen di Eropa. Ranah visual mengalami otonomi sekuler dalam sains—menyingkirkan indra-indra lain—dan kita beroleh warisannya sebagai budaya okularsentris modern.
•••
PROYEK “Melintas Bunyi” berupaya meyakinkan kita bahwa khazanah bunyi layak menjadi pusat perhatian seniman kontemporer yang tanpa sadar terkurung oleh budaya okular dan selama ini memuja indra penglihatan. Dalam karya-karya di Rubanah itu kita mengenali ragam bunyi yang dimulai secara klise dari yang kita kenal: bel sepeda, suara penjaja bakso atau siomai. Nyatanya, sumber-sumber bunyi sederhana non-nada inilah yang membentuk selingkung dunia kita, berhubungan dengan faal biologis, bau, wujud makanan, dan persaingan bebunyian di jalanan. Bebunyian dalam proyek Togar lahir dari obyek mangkuk, sendok, setang sepeda, balok dan kentongan kayu, palu plastik, genta, juga gong kecil.
Togar menggunakan kata “konkret” untuk proyek seni bunyi mutakhirnya. Sesungguhnya, itulah warisan yang dihadapinya dari khazanah puisi konkret dan benda-benda—seni rupa baru—lebih-kurang setengah abad lalu. Dalam ceramah panjang berjudul “Ngaji Bunyi” di Masjid Jendral Sudirman, Yogyakarta (2018), ia menekankan perihal kekonkretan bunyi, ketika kebudayaan visual tidak terlepas dari berbagai ciptaan dan sekaligus sampah bebunyiannya.
Namun “kekonkretan” bunyi dalam proyek Togar tidak cuma membangun imaji dengan dunia selingkung. Togar merujuk, misalnya, pada karya obyek pintu, karya Bonyong Munni Ardhi dalam pameran “Seni Rupa Baru” (1975) yang meledakkan polemik sengit di kalangan kritikus. Bagi Togar, karya Bonyong nyata berhubungan dengan matra bunyi: derit suara pintu. Dalam karya Ngeeek (2019) ini, Togar menghadirkan kembali karya Bonyong di ruang pameran; menghidupkan kepekaan kita pada “sejarah”, pada ingar-bingar teks polemik seni rupa masa itu.
Dalam karya Acoustic Analog Digitally Compose #12, After Danarto, ia berupaya menjamah kembali suasana dan struktur konkret “puisi” khas karya Danarto. Dalam pameran “Seni Rupa Baru” (1979), Danarto menampilkan sejumlah kanvas bundar kosong yang “melayang” pada dinding dan lantai ruang pameran sebagai wujud arsitektur imaji benda-benda. Togar menampilkannya dengan susunan sejumlah drum kayu kecil serta derap bunyi yang disusun mirip puisi rupa Danarto.
Julian Abraham Togar dilahirkan di Medan pada 1987. Ia dikenal sebagai penggebuk drum dan anggota sejumlah band. Ketika belajar di Jurusan Penyiaran Radio-TV dan Film Akademi Komunikasi Indonesia, Yogyakarta (2005-2011), ia bergabung dengan komunitas House of Natural Fiber. Saat itulah ia mulai tertarik pada jenis musik elektronik dan penerapan berbagai efek audio-visual dalam segala macam seni media. Pada 2013-2015 ia kembali ke Medan, berniat melanjutkan studinya ke Jurusan Elektronika Institut Teknologi Medan. Tapi, pada 2011, ia telah memutuskan berkarya sebagai seniman mandiri dan mengawali eksperimen bunyi. Dalam proyek “Alami Tanah” di Galeri Jatiwangi Art Factory, Majalengka, Jawa Barat, misalnya, ia membuat karya Instalasi Tanah Berbunyi (2015) dengan memanfaatkan lantai tanah di lingkungan setempat sebagai wahana tetabuhan.
Dalam eksperimen kekonkretan bunyi pada “Melintas Bunyi”, Togar berupaya membangun landasannya pada kepekaan indrawi yang melahirkan subyek lain. Dan, yang mengejutkan, ia menunjukkan kepekaan terhadap sejumlah karya seni rupa dalam lintasan perkembangan seni rupa kita yang nyaris tak lagi dikenali para seniman, termasuk yang merasa paling maju. Pencariannya dalam ranah seni instalasi bunyi beberapa tahun terakhir tampaknya masih akan terus berkembang.
HENDRO WIYANTO, PENGAMAT SENI RUPA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo