PERTENGAHAN 60-an, di Yogyakarta, para pelukis suka saling
mengejek. Pelukis nonfiguratif yang masih sedikit jumlahnya,
sering diserang sebagai pelukis yang tak bisa menggambar dan
lari dari kenyataan.
Fadjar Sidik, salah seorang pelukis nonfiguratif dan yang paling
tangkas berbicara, balik menyerang pelukis yang bukan
nonfiguratif. Kalian yang justru lari dari kenyataan, begitu
balasnya. Di sekeliling kita kini tumbuh gedung-gedung modern,
muncul mobil-mobil mewah, pesawat tv dan pesawat terbang tak
lagi dilihat sebagai burung raksasa. Tapi mengapa kalian masih
menggambar laut, petani, sawah atau rumah-rumah gubuk, tanya
Fadjar.
Waktu itu memang belum terbayangkan, bagaimana pesawat terbang
atau pesawat tv dilukis secara realistis persis seperti adanya.
Soalnya, jadinya tentu lebih menyerupai gambar reklame--bukan
lukisan. Belum ada yang menemukan bagaimana mengguncangkan
"kenyataan modern" itu agar bisa juga dilukis realistis.
Bak kisah klasik memberdirikan telur Colombus, ternyata
masalahnya sederhana sekali. Tahun 1977 muncul beberapa anak
muda yang melukis realistis, tak beda dengan realisme Basuki
Abdullah atau Gambir Anom. Hanya sudut pandang realisme-baru itu
memang lain. Orang terbaring digambar persis dari atas. Atau
potret Bung Karno yang digambar dalam ukuran besar sekali dan
memang terasa berbeda bila digambar seperti ukuran lazimnya.
Tapi memang belum ada yang memotret gedung-gedung, atau
menggambar pesawat terbang. Baru ketika salah seorang anak muda
realisme-baru itu berpameran tunggal, 1979, muncullah lukisan
Tugu Monas dilukis seperti apa adanya tanpa menjadi gambar
reklame. Ada yang lain memang, puncak tugu itu bukan patung api
dilapis emas, tapi diganti sebuah botol kecap besar.
Sepeda Motor Terbalik
Anak itu adalah Dede Eri Supria, lahir di Jakarta 1956, dan
pernah duduk di Sekolah Senirupa Indonesia, Yogyakarta. Dan kini
dia muncul lagi, dengan 33 lukisan barunya, 31 Agustus sampai 14
September di Taman lsmail Marzuki.
Dan kini jawaban terhadap tantangan Fadjar Sidik dulu itu,
semakin mantap pula. Dede melukis sepeda motor Yamaha persis
seperti adanya. Yang membedakannya dengan gambar-gambar reklame
sepeda motor, Yamaha Dede dilukis terbalik, menggantung di
angkasa sebuah kota besar. Juga ada Dua Penggergaji Kayu.
Anehnya? "Mereka hanya dua orang kok bisa menggergaji kayu
sebanyak itu," sahut Dede. Kecuali ada gambar dua orang sedang
menggergaji kayu, memang di samping terletak tumpukan kayu
banyak sekali.
Dede kini nampaknya lebih santai tak lagi asyik dengan teknik
realismenya. Meskipun masih juga ide kurang tajam munculnya,
yang seringkali menutup rasa haru. Dua Penggergaji Kayu itu
misalnya, tak bisa cepat ditangkap apa mau pelukisnya. Tumpukan
kayu yang banyak itu tak langsung berbicara untuk mendukung
kehebatan kerja dua tokoh itu. Dan lagi pula, bukankah setumpuk
kayu itu bisa saja dikerjakan berhari-hari? Dramatik, yang
diinginkan Dede akhirnya memang tertutup dengan keasyikan
bentuk.
Padahal dramatik sesungguhnya hal yang sering pula
ditampilkannya. Kemenakanku Sari adalah lukisan seorang gadis
kecil 10-an tahun yang manis. Hanya saja ia berpose duduk di
sebuah kursi plastik yang telah terburai plastiknya, dan memakai
sandal jepit yang telah tipis. Sepertinya ada cerita duka di
situ.
Cerita duka yang lain yang lebih cepat bisa ditangkap adalah
Orang Tua di Tepi Pantai Ada langit kelabu. Ada ombak berdebur
sunyi. Ada bukit-bukit gersang. Seorang Na penjual makanan duduk
sendiri di tepi pantai. Wajahnya yang kerut-merut menyimpan
perjalanan hidupnya yang hampir menemui ujungnya. Di pantai yang
sunyi itu seolah-olah ia menunggu langganannya yang terakhir,
malaikul maut.
Kecenderungan lain pada Dcde adalah protes sosial. Menatap Masa
Depan melukiskan seorang gadis kecil bersandar di pagar. Di
belakangnya adalah garis-garis tegar bak menyimbolkan masa
kemarin yang gersang. Lalu esok? Adalah wajah kosong gadis
kecil itu. Suatu pesimisme yang menyangsikan munculnya kehidupan
yang lebih baik, agaknya.
Masih juga. berkaiun dengan anakanak, itulah Menuju Tempat
Kerja. Sepintas ini sebuah gambar biasa saja. Sebuah truk laju
menuju sebuah pabrik besar. Jalan masih senyap, udara pun masih
segar. Suasana pagi. Tapi berangkat kerja adalah berangkat
menuju "penjara". Di dalam truk itu, ditutup kuat-kuat, berdiri
berdesakan sejumlah anak. Tak seperti pada lukisan Dua
Penggergaji, lukisan ini langsung menyentuh: truk yang
mengangkut anak-anak bagaikan mengangkut tahanan itu, tentulah
tidak membawa anak-anak itu untuk piknik. Tujuannya adalah
sebuah pabrik yang berdiri seram. Anak-anak itu adalah
pekerjanya.
Seperti kebanyakan pelukis realis Dede pun tertarik pada dunia
wanita. Gincu Untuk Ibu adalah salah satunya. Ini sebuah potret
Ibu Kartini. Cuma, Sang Ibu lagi menangis. Di depannya sebuah
lipstick besar, dan mengerudungi kepalanya adalah alat pengering
rambut. Apa yang engkau tangisi Ibu? Tak jelas memang. Tapi
lukisan ini, toh memancing rasa haru juga. Dan sejumlah asosiasi
bisa saja muncul. Modernisasi yang merontokkan martabat wanita,
misalnya.
Tak seperti pelukis Affandi yang mencari ilham dengan melihat
dunia sekelilingnya, Dede mencari ilham dari gambar-gambar di
majalah. Kalau toh ia tertarik pada satu obyek di sekelilingnya,
atau yang dilihatnya, ia pun tak lantas merenunginya, menangkap
kesannya lantas mewujudkannya dalam lukisan. Tapi ia memotret
obyek itu, baru kemudian dipindahkan ke kanvas--lewat bermacam
proses. Kadang dengan slide projector ia sorotkan potret itu ke
kanvas, untuk mencari komposisi yang pas--juga, tentunya, bentuk
yang lebih persis. Kadang, untuk memperoleh kepersisan bentuk
itu, dia menggunakan dam, garis bantu memperbesar gambar.
Adakah itu bukti dari pembesaran foto saja? Bagi Dede tentu
saja tak hanya itu. Yang jelas warna memang terasa lebih padat
dibanding foto. Dan bagaimanapun masih juga terasa rasa sapuan
dan goresan dalam lukisannya.
Yang terlebih penting, dia tak sekedar memotret. Ada ide yang
mengguncangkan obyek yang dilukisnya, yang menjadikannya tak
sekedar pembesaran foto atau cuma selembar gambar reklame.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini