Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Guncangan Pada Kenyataan

Pameran lukisan Dede E. Supria (pelukis realisme baru), menampilkan 33 karyanya. (sr)

5 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTENGAHAN 60-an, di Yogyakarta, para pelukis suka saling mengejek. Pelukis nonfiguratif yang masih sedikit jumlahnya, sering diserang sebagai pelukis yang tak bisa menggambar dan lari dari kenyataan. Fadjar Sidik, salah seorang pelukis nonfiguratif dan yang paling tangkas berbicara, balik menyerang pelukis yang bukan nonfiguratif. Kalian yang justru lari dari kenyataan, begitu balasnya. Di sekeliling kita kini tumbuh gedung-gedung modern, muncul mobil-mobil mewah, pesawat tv dan pesawat terbang tak lagi dilihat sebagai burung raksasa. Tapi mengapa kalian masih menggambar laut, petani, sawah atau rumah-rumah gubuk, tanya Fadjar. Waktu itu memang belum terbayangkan, bagaimana pesawat terbang atau pesawat tv dilukis secara realistis persis seperti adanya. Soalnya, jadinya tentu lebih menyerupai gambar reklame--bukan lukisan. Belum ada yang menemukan bagaimana mengguncangkan "kenyataan modern" itu agar bisa juga dilukis realistis. Bak kisah klasik memberdirikan telur Colombus, ternyata masalahnya sederhana sekali. Tahun 1977 muncul beberapa anak muda yang melukis realistis, tak beda dengan realisme Basuki Abdullah atau Gambir Anom. Hanya sudut pandang realisme-baru itu memang lain. Orang terbaring digambar persis dari atas. Atau potret Bung Karno yang digambar dalam ukuran besar sekali dan memang terasa berbeda bila digambar seperti ukuran lazimnya. Tapi memang belum ada yang memotret gedung-gedung, atau menggambar pesawat terbang. Baru ketika salah seorang anak muda realisme-baru itu berpameran tunggal, 1979, muncullah lukisan Tugu Monas dilukis seperti apa adanya tanpa menjadi gambar reklame. Ada yang lain memang, puncak tugu itu bukan patung api dilapis emas, tapi diganti sebuah botol kecap besar. Sepeda Motor Terbalik Anak itu adalah Dede Eri Supria, lahir di Jakarta 1956, dan pernah duduk di Sekolah Senirupa Indonesia, Yogyakarta. Dan kini dia muncul lagi, dengan 33 lukisan barunya, 31 Agustus sampai 14 September di Taman lsmail Marzuki. Dan kini jawaban terhadap tantangan Fadjar Sidik dulu itu, semakin mantap pula. Dede melukis sepeda motor Yamaha persis seperti adanya. Yang membedakannya dengan gambar-gambar reklame sepeda motor, Yamaha Dede dilukis terbalik, menggantung di angkasa sebuah kota besar. Juga ada Dua Penggergaji Kayu. Anehnya? "Mereka hanya dua orang kok bisa menggergaji kayu sebanyak itu," sahut Dede. Kecuali ada gambar dua orang sedang menggergaji kayu, memang di samping terletak tumpukan kayu banyak sekali. Dede kini nampaknya lebih santai tak lagi asyik dengan teknik realismenya. Meskipun masih juga ide kurang tajam munculnya, yang seringkali menutup rasa haru. Dua Penggergaji Kayu itu misalnya, tak bisa cepat ditangkap apa mau pelukisnya. Tumpukan kayu yang banyak itu tak langsung berbicara untuk mendukung kehebatan kerja dua tokoh itu. Dan lagi pula, bukankah setumpuk kayu itu bisa saja dikerjakan berhari-hari? Dramatik, yang diinginkan Dede akhirnya memang tertutup dengan keasyikan bentuk. Padahal dramatik sesungguhnya hal yang sering pula ditampilkannya. Kemenakanku Sari adalah lukisan seorang gadis kecil 10-an tahun yang manis. Hanya saja ia berpose duduk di sebuah kursi plastik yang telah terburai plastiknya, dan memakai sandal jepit yang telah tipis. Sepertinya ada cerita duka di situ. Cerita duka yang lain yang lebih cepat bisa ditangkap adalah Orang Tua di Tepi Pantai Ada langit kelabu. Ada ombak berdebur sunyi. Ada bukit-bukit gersang. Seorang Na penjual makanan duduk sendiri di tepi pantai. Wajahnya yang kerut-merut menyimpan perjalanan hidupnya yang hampir menemui ujungnya. Di pantai yang sunyi itu seolah-olah ia menunggu langganannya yang terakhir, malaikul maut. Kecenderungan lain pada Dcde adalah protes sosial. Menatap Masa Depan melukiskan seorang gadis kecil bersandar di pagar. Di belakangnya adalah garis-garis tegar bak menyimbolkan masa kemarin yang gersang. Lalu esok? Adalah wajah kosong gadis kecil itu. Suatu pesimisme yang menyangsikan munculnya kehidupan yang lebih baik, agaknya. Masih juga. berkaiun dengan anakanak, itulah Menuju Tempat Kerja. Sepintas ini sebuah gambar biasa saja. Sebuah truk laju menuju sebuah pabrik besar. Jalan masih senyap, udara pun masih segar. Suasana pagi. Tapi berangkat kerja adalah berangkat menuju "penjara". Di dalam truk itu, ditutup kuat-kuat, berdiri berdesakan sejumlah anak. Tak seperti pada lukisan Dua Penggergaji, lukisan ini langsung menyentuh: truk yang mengangkut anak-anak bagaikan mengangkut tahanan itu, tentulah tidak membawa anak-anak itu untuk piknik. Tujuannya adalah sebuah pabrik yang berdiri seram. Anak-anak itu adalah pekerjanya. Seperti kebanyakan pelukis realis Dede pun tertarik pada dunia wanita. Gincu Untuk Ibu adalah salah satunya. Ini sebuah potret Ibu Kartini. Cuma, Sang Ibu lagi menangis. Di depannya sebuah lipstick besar, dan mengerudungi kepalanya adalah alat pengering rambut. Apa yang engkau tangisi Ibu? Tak jelas memang. Tapi lukisan ini, toh memancing rasa haru juga. Dan sejumlah asosiasi bisa saja muncul. Modernisasi yang merontokkan martabat wanita, misalnya. Tak seperti pelukis Affandi yang mencari ilham dengan melihat dunia sekelilingnya, Dede mencari ilham dari gambar-gambar di majalah. Kalau toh ia tertarik pada satu obyek di sekelilingnya, atau yang dilihatnya, ia pun tak lantas merenunginya, menangkap kesannya lantas mewujudkannya dalam lukisan. Tapi ia memotret obyek itu, baru kemudian dipindahkan ke kanvas--lewat bermacam proses. Kadang dengan slide projector ia sorotkan potret itu ke kanvas, untuk mencari komposisi yang pas--juga, tentunya, bentuk yang lebih persis. Kadang, untuk memperoleh kepersisan bentuk itu, dia menggunakan dam, garis bantu memperbesar gambar. Adakah itu bukti dari pembesaran foto saja? Bagi Dede tentu saja tak hanya itu. Yang jelas warna memang terasa lebih padat dibanding foto. Dan bagaimanapun masih juga terasa rasa sapuan dan goresan dalam lukisannya. Yang terlebih penting, dia tak sekedar memotret. Ada ide yang mengguncangkan obyek yang dilukisnya, yang menjadikannya tak sekedar pembesaran foto atau cuma selembar gambar reklame. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus