INDRAMAYU jangan dikira sembarang daerah minus. Sebab, di situ ternyata ada tambang uang. Letaknya di Desa Tambi, Kecamatan Sliyeg. Tambang itu adalah makam Ki Buyut Tambi, yang konon berusia ratusan tahun dianggap keramat, tak jelas karena apa dan sejak kapan. Yang jelas, banyak peziarah dari berbagai penjuru yang datang ke situ. Di makam yang dikeramatkan, para peziarah suka bersedekah kepada penjaganya. Begitu pula di makam ini. Dan sang juru kunci alias kuncen lalu menyumbangkan sebagian untuk kas desa. Tiap tahun sumbangan itu meningkat sehingga pamong setempat mematoknya sebagai kewajiban khusus. Itu diatur melalui tender: yang mampu menyetor paling tinggi, dialah yang jadi kuncen. Tahun berikutnya, penawaran dibuka kembali. Jika ada yang berani membayar lebih tinggi lagi, kuncen lama harus digusur. Dana dari upeti itu dimanfaatkan untuk kepentingan desa, misalnya untuk membangun balai desa, jalan, pengairan, dan gorong-gorong. Tiga tahun ini yang menjadi kuncen adalah Haji Mustofa, 60 tahun. Ia memenangkan penawaran tertinggi, Rp 15 juta lebih. ''Uang itu saya pinjam dulu ke tetangga, saudara, dan teman,'' tuturnya. Dengan cara itu, ia mengalahkan kuncen sebelumnya, yang cuma mampu menyetor sekitar Rp 10 juta. Sejak jadi juru kunci, tiap selepas magrib dan lewat tengah malam, ia memimpin doa bersama. Selain itu, para tamu harus melapor kepadanya tentang niat datang ke situ. Buat murah rezeki, enteng jodoh, bisnis mulus, mau cari pangkat, dan sebagainya. Pantangannya, jangan minta nomor buntut. Haji Mustofa lalu menabur kemenyan di perapian seraya berkomat-kamit. Sekali-sekali bahasa Arab, dan kebanyakan bahasa Indramayu. ''Jadi, saya menerima uang bukan karena belas kasihan,'' kata Haji Mustofa kepada Taufik Abriansyah dari TEMPO. Tidak ada tarif resmi, memang. Tapi peziarah pasti melakukan salam tempel. Mereka rata-rata menyelipkan Rp 5.000, malah ada yang Rp 10.000. ''Berapa saja mereka kasih, saya terima. Yang penting, mereka ikhlas,'' katanya. Di samping ada salam tempel tadi, tamu yang menginap dicukai Rp 500 sebagai uang pendaftaran. Dari pemasukan itu, selain untuk honor bagi dirinya, Haji Mustofa membayar listrik serta membeli arang untuk membakar kemenyan. Selain itu, ada delapan pembantunya yang membersihkan kompleks makam seluas satu hektare itu serta memasak air dan makanan untuk peziarah. Mereka juga menjual kemenyan, arang, dan keperluan lain, sebagai usaha sampingan. Jumlah tamu sehari-hari tidak tentu. Puncak ramainya malam Jumat Kliwon, atau ketika para petani tidak ke sawah. Tapi ambil saja jumlah minimal 10 orang berziarah tiap hari. Jika tamu rata-rata menyelipkan Rp 10 ribu, berarti Rp 100 ribu per hari menggelinding ke kocek Haji Mustofa. Jadi, setoran Rp 15 juta setahun, ya, itu ibaratnya cuma kaji menurun. Bahkan, belum setahun, diakuinya, ia sudah balik modal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini