PADA akhirnya cinta tak mengenal warna. Bahkan bagi Fergus (Stephen Rea), cinta bisa tak mempedulikan jenis kelamin. Di Irlandia Utara, hidup dengan cinta dan ketulusan adalah kemewahan. Sehari-hari, rakyat Irlandia Utara menghirup udara penuh bau darah. Mereka bangun pagi dengan rasa cemas jangan- jangan pintu digedor-gedor. Atau, mendadak harus tiarap terjadi tembak-menembak antara para ''pejuang kemerdekaan'' (gerilyawan Irish Republican Army atau IRA) dan ''penjajah'' (tentara Inggris). Bagi Fergus, hari-harinya di Belfast diisi dengan tugas menculik, menangkapi, menjebak, dan akhirnya membunuh mereka yang dikategorikan penjajah. Ia seorang sukarelawan IRA yang siap menerima tugas apa pun. Siang itu tugasnya, bersama Jude (Miranda Richardson), menjebak seorang tentara Inggris berkulit hitam. Jude, aktivis IRA yang fanatik, berambut pirang dan bertubuh seksi, memancing sang tentara dengan paha dan dadanya, lalu Fergus tinggal menghantamnya. Jody (diperankan dengan baik oleh Forest Whitaker), tentara Inggris itu, tergoda. Ia disergap, disandera. Yang diinginkan para aktivis IRA saat itu pertukaran Jody dengan beberapa rekan mereka yang ditahan tentara Inggris. Dengan karung yang menutupi seluruh wajahnya, Jody mencoba mengenali suara orang- orang yang menculiknya. ''Bukalah karung ini, saya tak bisa bernapas. Saya tahu kau orang baik,'' katanya membujuk Fergus. Fergus mengabulkan permintaan itu. Lalu mereka mulai berbincang seperti dua kawan lama. Kata Jody, sebagai orang hitam, dia pun kaum minoritas tertindas di Inggris. Fergus terkesan. Perlahan, keakraban pun tumbuh. Mereka toh manusia juga yang merindukan perdamaian dan cinta. Keistimewaan Neil Jordan sebagai sutradara sudah terbukti pada film-film sebelumnya, seperti Mona Lisa dan The Company of Wolves. Tak heran jika film ini mendapatkan enam nominasi piala Oscar. Tak seperti film-film Holywood yang mengandalkan film- film keras, Jordan memilih jalan sederhana. Ia mengandalkan gambar-gambar sunyi, dialog yang menyentuh, dan kemampuan akting pemain. Dengan hanya memperlihatkan Belfast yang kumuh, kotor, miskin, dan berlumur darah, Jordan telah menggambarkan betapa kerasnya hidup di Irlandia Utara. Sebagai pendongeng yang fasih dan lancar, Jordan layak mendapatkan piala Oscar untuk skenario terbaik. Mungkin karena ia juga novelis Irlandia yang terkenal di Eropa, Jordan mampu menceritakan kompleksitas tokoh-tokohnya dengan cemerlang. Fergus, sukarelawan IRA yang bertugas menghabisi nyawa orang, ternyata memiliki hati yang lembut. Ia kian ragu apakah ia tega membunuh tawanannya, seorang yang penuh peri kemanusiaan. Tapi bagaimanapun Jody, yang peka itu, tahu bahwa ia akan mati di tangan IRA. Permintaannya yang terakhir, agar Fergus bersedia mengunjungi kekasihnya yang jelita di London. ''Ia bekerja di salon Millie's. Setiap sore ia menyeruput margarieta di pub Metro.'' Dan margarieta adalah yang dipesan Fergus di pub Metro London, ketika ia membuntuti Dil (Jaye Davidson), kekasih Jody yang jelita dan menggairahkan. Mungkin, Fergus terus-menerus mengikuti Dil karena campuran rasa bersalah dengan ketertarikannya pada kecantikan Dil. Dengan nama dan penampilan baru, Fergus menjalin hubungan dengan Dil. Meskipun bayang- bayang Jody selalu bermain di benaknya, Fergus tak kuasa menahan diri dari daya pikat Dil. Akhirnya, problem sosial politik yang semula menjadi tema utama film ini pudar. Penonton diberi kejutan seksual. Ternyata, Dil adalah seorang waria yang mengabdikan dirinya pada Jody sepenuh hati dan kini jatuh cinta pada Fergus. Paruh kedua film ini memang berfokus pada Dil, hampir melupakan segala hal yang berkenaan dengan perjuangan IRA. Adalah kemunculan Jude, rekan lama Fergus di IRA, yang mengagetkan dan mendadak, yang membawa penonton mengingat kembali perjuangan IRA. Jude, pejuang yang keras, fanatik, dan berdarah dingin menuntut Fergus untuk aktif dalam perjuangan mereka. ''Sekali kau masuk ke dalam kehidupan perjuangan, kau tak akan bisa keluar.'' Sisanya adalah ketegangan yang beruntun antara adegan pembunuhan terhadap seorang hakim dan pengakuan Fergus pada Dil tentang masa lalunya. Jordan mengemasnya dengan rapi dan lengkap dengan ketegangan yang mencekam. Pada saat itulah Fergus menyadari bahwa meski kecewa bahwa Dil bukan seorang wanita, ia tetap menyayanginya. Pada akhirnya, cinta adalah masalah ketulusan nurani. Sebenarnya pada adegan yang begitu sublim dan mengharukan ini, Jordan sudah bisa menutup filmnya. Tapi ia rupanya memilih ending gaya Hollywood. Fergus dan Dil berbincang dari balik kaca dengan penuh kemesraan. Sebuah adegan yang terlalu verbal, yang merusakkan adegan-adegan sebelumnya yang begitu halus dan mengharukan. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini