Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Catatan seorang polisi

Penulis : abrar yusra dan ramadhan kh jakarta : pustaka sinar harapan, 1993 resensi oleh : dwi s.irawanto

14 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku ini bercerita tentang tokoh yang dianggap kontroversial: Hoegeng. Penggantiannya sebagai Kapolri banyak dikaitkan dengan kasus pemberantasan penyeludupan mobil mewah. Betulkah? SUATU pagi, sewaktu menjabat Menteri Iuran Negara, Hoegeng dipanggil Presiden Soekarno ke Istana Negara. Di sana sudah hadir sejumlah menteri dan pejabat tinggi. Acara pagi itu: perkenalan dengan Direktur KLM (perusahaan penerbangan Belanda) yang baru. ''Meneer direktur mau pulang ke Belanda lewat Amerika. Ayo, kalian mau minta apa?'' kata Bung Karno. Melihat pejabat-pejabat pesan ini dan pesan itu kepada sang direktur, Hoegeng bingung. ''Baru kenal, kok sudah disuruh minta-minta,'' katanya dalam hati. Saking bingungnya, Hoegeng cuma titip pesan untuk temannya di New York bahwa suratnya sudah diterima. Itulah salah satu potret Hoegeng yang gampang diingat: bersahaja. Kesederhanaan itu juga yang tampak di Graha Purna Widya, Jakarta, Kamis malam pekan lalu, pada peluncuran buku Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan memoar pertama seorang perwira tinggi polisi. Buku ini menarik karena bercerita tentang tokoh yang dianggap kontroversial. Hoegeng dilantik sebagai Kapolri pada umur 47 tahun. Tapi, juga turun begitu cepat, dan meninggalkan sejumlah teka-teki mengenai penggantiannya. Sayang, tak semua kisah Hoegeng, yang pensiun pada umur 49 tahun, bisa dibaca dalam buku ini. Kendati disebutkan buku ini merupakan kisahnya sejak kecil sampai sekarang, kita tak akan menemukan cerita seputar keterlibatannya dengan Petisi 50 atau masalah cekal yang dikenakan pada dirinya. Buku ini hanya mengajak kita melihat sosok Hoegeng sebagai polisi semata. Tak lebih dari itu. Begitu pun, sebagai kisah suka duka Hoegeng semasa jadi polisi, buku ini cukup menarik. Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. menuliskan kisah-kisah Hoegeng dengan bahasa ringan. Tapi, dari buku ini tergambar watak Hoegeng sebagai seorang polisi yang keras kepala, disiplin, dan tanpa kompromi. Diceritakan, antara lain, bagaimana Hoegeng sewaktu menjabat Kepala Resor Kriminal Sumatera Utara di Medan, dengan berang membuang ke pinggir jalan seperangkat perabotan yang dikirim seorang pengusaha sebagai ucapan selamat datang kepadanya. Selain itu, Hoegeng juga pernah digoda dengan hadiah rumah dan mobil, dan juga ditolaknya. Hadiah-hadiah itu, kata Hoegeng dengan jujur, memang menggiurkan. ''Apalagi untuk pegawai yang hidup sederhana seperti saya, entah kapan bisa kebeli,'' tulisnya. Sikap tanpa kompromi ini, konon, yang disebut-sebut membuat Hoegeng cepat diganti sebagai Kapolri. Penggantian itu, entah benar entah tidak, banyak dikaitkan orang dengan langkah Hoegeng mengusut penyeludupan mobil-mobil mewah. Tiap tahun, pada masa itu, kata Hoegeng, tak kurang dari 1.500 mobil tak sah masuk ke Indonesia, dan melibatkan banyak pejabat tinggi negara. Mula-mula kasus penyelundupan yang diserahkan polisi dideponir kejaksaan. Pada hasil tangkapan kedua, setelah ditahan beberapa jam, tersangka lolos dengan jaminan sejumlah pejabat. Baru pada kasus ketiga, pelakunya dijatuhi hukuman, dan itu pun hukuman percobaan. Salah satu kasus penyelundupan mobil yang ramai ketika Hoegeng jadi Kapolri adalah kasus Robby Tjahjadi. Anak muda dari Solo ini, tulis Hoegeng, punya relasi sedemikian luas dan elitis. Sejarah memang mencatat Robby dibekuk dan diadili. Tapi, bukan lewat tangan Hoegeng, karena ia sudah diganti sebelum kasus penyeludupan mobil mewah ini tuntas terbongkar. Diganti sebagai Kapolri, Hoegeng ditawari jadi duta besar di Belgia. Tapi, tawaran itu ditolaknya. ''Saya tak pernah belajar jadi dubes, kalau boleh, jabatan apapun asalkan di Jakarta saya mau,'' katanya kepada Menhankam (waktu itu) Jenderal M. Panggabean, yang menyampaikan tawaran Pemerintah untuk bekas Kapolri tersebut. Bagaimana kesan Hoegeng tentang Presiden Soeharto? Hoegeng mulai mengenal Pak Harto ketika dirinya ditunjuk sebagai sekretaris kabinet, Maret 1966. Pak Harto, menurut Hoegeng, orangnya serius. Dalam sidang kabinet, lanjutnya, Pak Harto datang semata-mata untuk rapat: duduk, membuka catatan, mengikuti rapat dengan tekun, dan begitu rapat selesai langsung berdiri dari kursi, lalu berjalan ke pintu. Anehnya, selama tiga bulan menjadi carik kabinet, Hoegeng mengaku belum pernah bercakap- cakap dengan Jenderal Soeharto. Kini, Hoegeng, salah seorang pentolan Petisi 50, sudah makin tua. Usianya sudah 72 tahun, jalan tak lagi tegap, dan gigi sudah pada ompong. Tapi, bekas Kapolri ini masih saja ingin digusur orang. Belum lama berselang, kata Hoegeng, rumah kediamannya yang terletak di Jalan Moh. Yamin, Jakarta Pusat, ditawar seorang utusan konglomerat untuk dibeli. Sekalipun dirinya hidup dengan uang pensiun yang pas-pasan, Hoegeng menolak untuk menjual rumah yang ditawar miliaran itu. Rumah itu, katanya, satu-satunya inventaris kepolisian yang terpaksa diterimanya. Itulah Hoegeng. Dwi S. Irawanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus