Dalam agama Islam dikenal istilah bidah. Artinya, kurang lebih, upaya menambah-nambahi sebuah hukum atau kegiatan ibadah yang tak pernah diumumkan dalam syariat. Bidah hukumnya haram siapa yang melakukannya berdosa. Lalu apa hubungan bidah ini dengan pencekalan Pak Nas? Adalah menarik apa yang dikatakan Kepala Puspen ABRI, Brigjen Syarwan Hamid. Kata Syarwan, ''Nama A.H. Nasution justru tidak pernah didaftar dan masuk kriteria cegah dan tangkal yang tinggal 11 orang itu.'' (TEMPO, 17 Juli 1993, Nasional). Padahal, menurut laporan TEMPO edisi yang sama, juga beberapa nomor sebelumnya, Pak Nas sudah merasa dicekal sejak 1973. Buktinya, antara lain, ketika beliau diundang ke Malaysia untuk memberi ceramah di Kongres Kebudayaan, aparat keamanan menganjurkan agar tidak berangkat. Mana yang benar? Bila kita mengamati perilaku sosial masyarakat, kadang-kadang terlihat seakan-akan berbuat bidah itu seperti ''naluri'' juga adanya. Lihat saja, kadang-kadang staf bupati jauh lebih ''galak'' daripada bupatinya, begitu pula staf kecamatan, kadang-kadang terasa lebih seram ketimbang pak camatnya. Pendek kata, hal itu terlihat, baik di tingkat yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah. Jangan-jangan kasus pencekalan Pak Nas dan teman-temannya sudah dirasuki racun ''bidah'' ini. Maksudnya, perintah cekal itu sendiri sebenarnya tidak pernah ada, hanya para ''bawahan'' atau pelaku keputusan itu yang mencoba-coba menafsirkan sendiri. Tentu itu dengan maksud tertentu, paling tidak agar dia (sang bawahan) dianggap ''tanggap'' mengantisipasi kemauan atasan, atau ''mengerti betul'' apa yang diinginkan atasan. Siapa yang paling diuntungkan oleh kondisi begini? Jelas atasan. Kalau para korban cekal tidak bersuara, para atasan, tanpa harus memerintahkannya, sudah berhasil meredam orang- orang yang tidak disenangi. Sedangkan kalau ada tuntutan, dengan mudah akan dikatakan, ''Lo, kami tidak mencekalnya, kok.'' Kambing hitam, kalau mau, bisa dimunculkan, ya para bawahan tadi. Lalu, apa artinya ini semua? Menurut saya, ini tidak lebih dari sebuah gejala masyarakat yang kurang sehat, kalau tidak mau dikatakan sakit. Orang yang tidak berbuat salah, para korban cekal itu, karena belum dibuktikan di depan pengadilan, dipasung hak-hak asasinya, bahkan hak-hak asasi orang-orang di sekitarnya: keluarga, istri, anak, saudara, dan seterusnya. Para bawahan, dengan maksud agar disukai atasan, atau agar tetap berada di jabatan semula, atau agar dipromosikan, dengan bebas dan sama sekali merasa tidak bersalah melakukan ''bidah''. Para atasan yang bertanggung jawab mengambil keputusan, secara sewenang-wenang membiarkan sesuatu yang salah berlangsung. Dan manakala mereka dituntut, dengan mudah akan menyangkalnya. Kalau dalam Islam bidah itu dilarang, rasanya ini tidak salah bila diterapkan dalam konteks kehidupan kita sehari-hari. M. AKHYAR ADNAN 1/280 Gipps Rd. Keiraville NSW 2500 Australia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini