Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BURU-buru terbang ke Tokyo, Ahad malam, 27 September lalu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Sofyan Djalil tak bisa segera bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Pemimpin pemerintah Negeri Sakura itu sedang menghadiri Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat.
Sebagai gantinya, Selasa akhir September lalu, Kepala Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga menerima Sofyan. Sang tamu membawa pesan penting dari Presiden Joko Widodo, yang isinya kabar buruk belaka. Intinya, pemerintah Indonesia telah mengambil keputusan menyangkut rencana pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Dan dalam skema yang dipilih itu—sepenuhnya dalam pola business to business dan tanpa melibatkan anggaran negara—proposal Jepang terpaksa "lewat". Tawaran Cina dianggap lebih klop.
Menurut Sofyan, pesan itu sebenarnya bisa dikirim via duta besar. "Tapi mengirim utusan khusus menunjukkan bahwa kita menganggap permasalahan ini cukup serius," ujarnya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Pesan tak enak dari Jakarta itu membuat suasana sempat tegang. Hari itu juga, kepada wartawan di kantornya, Suga menyebutkan keputusan pemerintah Indonesia sulit dimengerti dan sangat mengecewakan. "Ini melawan logika umum. Saya ragu ini bisa berhasil," katanya seperti dikutip kantor berita Kyodo.
Menurut Atase Perekonomian dan Pembangunan Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia, Yoshiko Kijima, yang mengecewakan bagi Jepang bukan cuma soal keputusan akhirnya, melainkan juga proses di belakangnya. "Prosesnya sangat mendadak, tanpa penjelasan, ambigu, mengecewakan," ujarnya saat berkunjung ke kantor Tempo, Selasa pekan lalu.
Kijima menjelaskan, Japan International Cooperation Agency telah menghabiskan dua setengah tahun untuk mengerjakan studi kelayakan bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kementerian Perhubungan. Dana yang dikucurkan mencapai US$ 5 juta atau sekitar Rp 70 miliar. Hasilnya kemudian diserahkan dalam bentuk proposal kerja sama pada Maret lalu.
Tapi pemerintah Indonesia berubah pikiran. Pada 4 September lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengundang Duta Besar Yasuaki Tanizaki ke kantornya. Di sana, Darmin menjelaskan bahwa proyek kereta cepat akan diganti dengan kereta berkecepatan menengah. Presiden Jokowi juga ingin proyek ini dikerjakan tanpa anggaran dan jaminan pemerintah Indonesia.
Prasyarat baru ini tentu tak cocok dengan proposal Jepang, yang sejak mula mengajukan skema kerja sama antar-pemerintah. Tapi Jepang akan diberi kesempatan menyusun proposal baru. Bahkan tender akan dibuat terbuka bagi peminat di luar Jepang dan Cina. Ketentuan lebih lanjut akan dibuat dan diumumkan Kementerian Badan Usaha Milik Negara.
Tiga minggu ditunggu, desain dan panduan proyek baru itu tak kunjung turun. Yang kembali datang justru undangan Darmin untuk Duta Besar Tanizaki. Kali itu, pada 23 September lalu, Darmin justru meneruskan keputusan Presiden Jokowi bahwa proyek kereta cepat akan berlanjut.
Menurut Kijima, Darmin juga menyampaikan bahwa Presiden Jokowi akan mengirim utusan khusus ke Jepang. Misinya: menjelaskan keputusan pemerintah Indonesia dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Tapi pesan itu masih berupa teka-teki buat Jepang, sehingga Tanizaki meneruskan informasi tersebut ke Tokyo, disertai pesan agar pemerintahnya bersiap untuk kemungkinan terburuk.
Benar saja, tak sampai sepekan setelah itu, Sofyan Djalil berangkat ke Jepang membawa kabar itu. "Shinkansen itu bagaikan jantung bagi Jepang, jadi keputusan ini membuat kami patah hati," kata Kijima.
Namun, Kijima meyakinkan, kejadian ini tak akan membuat Jepang gelap mata. Ia berjanji negerinya tak akan sampai meninjau ulang proyek-proyeknya yang telah berjalan di Indonesia. Tapi pengalaman ini memberikan pelajaran agar lebih hati-hati dalam merencanakan kerja sama atau merancang investasi di sini. "Analis dan investor pun akan terpengaruh," ujarnya.
Bagi Jepang, yang tak punya perusahaan negara, skema kerja sama business to business adalah hal yang mustahil bagi proyek pembangunan infrastruktur seperti kereta cepat. "Infrastruktur publik itu baru balik modal setelah 50 tahun," kata Kijima.
Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno seolah-olah tak peduli. Yang ia tahu, perintah Presiden Jokowi adalah menjalankan proyek tanpa anggaran dan jaminan pemerintah. Sebab, duit negara yang terbatas akan lebih banyak dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, atau daerah lain yang lebih membutuhkan.
Rini menolak dianggap ambigu. Sebab, sejak awal, pemerintah tak ingin membebani anggaran negara untuk proyek ini, tapi terbuka untuk kerja sama swasta. Dia mengaku telah menjelaskan keputusan tersebut kepada Duta Besar Tanizaki dalam sebuah jamuan makan pada 21 September lalu, sepekan sebelum kunjungan Sofyan Djalil ke Jepang.
Dengan syarat tanpa anggaran negara, proposal Cina-lah yang memenuhi kriteria. Sebab, proposal Jepang mengharuskan pemerintah memberi jaminan dan dengan model two-step loan, yakni dari kredit pemerintah Jepang ke pemerintah Indonesia, baru kemudian turun ke perusahaan. "Karena struktur itu, otomatis tawaran Jepang gugur." Rini yakin kegagalan dalam proyek ini tak akan sampai mengganggu hubungan Indonesia-Jepang. "Dibandingkan dengan Jepang, hubungan Indonesia dengan Cina tak ada apa-apanya. Sangat kecil."
Pingit Aria
Yoshiko Kijima:
Kami Patah Hati
ATASE Perekonomian dan Pembangunan Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia, Yoshiko Kijima, mengaku tak paham atas keputusan pemerintah Indonesia dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Sebab, syarat yang diajukan belakangan sudah pasti tak mungkin mereka penuhi. Selama satu setengah jam kunjungannya ke kantor Tempo, Jakarta, Selasa pekan lalu, Kijima menyampaikan unek-uneknya.
Sebelum Menteri Sofyan Djalil ke Jepang, apakah Anda tahu bahwa Presiden kami sudah memilih Cina?
Tidak, karena Presiden Jokowi hanya menjelaskannya melalui utusan khusus yang ke Jepang.
Apa yang disampaikan Menteri Sofyan di Jepang?
Dia hanya menyatakan, "Presiden Jokowi masih ingin merealisasi kereta cepat Jakarta-Bandung dan Cina menyampaikan proposal baru tanpa penggunaan APBN, tanpa jaminan dari pemerintah. Maka Cina dipilih. Seperti yang telah dua kali dinyatakan Menteri Darmin. Padahal yang kami tunggu adalah TOR (terms of reference)-nya.
Apa tanggapan pemerintah Jepang?
Menteri Sofyan diterima Kepala Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga. Beliau menjelaskan apa yang didengar pemerintah Jepang sebelumnya dari Indonesia: pada awal September, proyek kereta cepat ini sempat berubah menjadi kereta berkecepatan medium, lalu berubah lagi menjadi kereta cepat. Dan sekarang dia mendengar pemerintah Indonesia memutuskan menyambut usul Cina.
Proses dan prosedur yang dilakukan Indonesia sangat sulit dipahami Jepang. Jadi pemerintah Jepang berharap ada perbaikan prosedur dalam proyek infrastruktur yang dapat dilihat dari sekarang.
Mengapa Jepang tidak membuat konsorsium agar bisa memenuhi syarat pengerjaan B to B seperti yang diinginkan Presiden Jokowi?
Di Jepang, pemerintah dilarang memerintah sektor swasta untuk melakukan ini-itu. Jepang juga tidak memiliki badan usaha milik negara seperti di Indonesia.
Setelah semua ini, apakah Jepang akan mengkaji ulang proyek-proyek yang sudah dikerjakan di Indonesia?
Bukan seperti itu. Anda bayangkan, prosesnya sangat mendadak, tanpa penjelasan, ambigu, mengecewakan.
Jadi tidak marah?
Shinkansen itu bagaikan jantung bagi Jepang, jadi kami patah hati. Tidak akan ada kaji ulang untuk proyek yang telah berjalan. Hanya, semua yang punya ketertarikan berbisnis di Indonesia akan berpikir apakah negara ini telah berubah menjadi negara yang ambigu dan tidak jelas. Analis dan investor akan terpengaruh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo