Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI perusahaan Bakrie, rontoknya harga saham di lantai Bursa Efek Indonesia bagai permainan roller coaster. Saham PT Bumi Resources Tbk, misalnya, pernah menyentuh harga Rp 55 per lembar pada 2002. Enam tahun kemudian, harga sahamnya meroket hingga mencapai Rp 8.550 per lembar. Tapi harga itu di pasar negosiasi pada Jumat pekan lalu hanya Rp 68 per lembar.
Salah satu penyebabnya, kata Presiden Direktur PT Visi Media Asia Tbk Anindya Novyan Bakrie, harga komoditas yang jeblok. Itu terutama setelah krisis finansial terjadi pada semester kedua 2008. Krisis yang diikuti pelemahan ekonomi global ini menggoyang bisnis batu bara, yang menjadi primadona Bakrie.
Saat Bumi di puncak bisnis, harga batu bara bertengger pada level US$ 1.200 per ton. Tak aneh bila saham Bumi menjadi magnet bagi investor dan mempengaruhi kenaikan indeks harga saham gabungan. Sedangkan harga batu bara saat ini hanya US$ 61 per ton berdasarkan perdagangan di bursa Rotterdam.
Padahal, sejak bangkit dari krisis moneter 1998, lini usaha Bakrie bergantung pada batu bara dan minyak kelapa sawit. Dari bisnis komoditas, Bakrie perlahan-lahan merangsek ke sektor properti, telekomunikasi, dan infrastruktur.
Norico Gaman, Kepala Riset BNI Securities, mengatakan anjloknya harga komoditas memang berimbas pada perusahaan batu bara. Namun bukan berarti situasi yang sulit itu membuat perusahaan terus-menerus merugi sehingga sulit membayar kewajiban. Ia mengambil contoh PT Adaro Energy Tbk, yang bisa mencetak laba di tengah runyamnya harga komoditas. "Beberapa perusahaan batu bara masih tumbuh," ujarnya.
Menurut Norico, terpuruknya bisnis Bumi disebabkan oleh manajemen utang yang amburadul. Jeratan utang itu akibat Grup Bakrie selalu mengandalkan pinjaman untuk melebarkan bisnis. Bukit utang Bakrie ini mayoritas berasal dari lembaga keuangan asing dalam bentuk dolar. Utang ini membesar ketika nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar.
Anindya mengakui utang berupa dolar membuat repot manajemen. Namun, kata dia, tidak semua utang menjadi masalah. "Utang berupa dolar akan menjadi masalah jika yang berutang perusahaan dengan pendapatan rupiah," ujarnya. Misalnya perusahaan Bakrie yang bergerak di bisnis media, infrastruktur, dan properti.
Menurut Anindya, situasi tersebut berimbas pada kinerja keuangan perusahaan. Strategi keluar dari persoalan ini adalah mengajukan refinancing ke sejumlah bank nasional untuk mengalihkan utang dolar ke rupiah.
Ahli waris takhta imperium Bakrie ini yakin kesehatan perusahaan akan membaik seiring dengan harga komoditas yang kinclong. Namun gurihnya harga batu bara yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Begitu pula harga minyak sawit. Karena itu, Anindya menilai, butuh strategi baru bagi Bakrie untuk mengolah bahan mentah menjadi bernilai tambah. "Generasi sebelumnya berfokus di komoditas. Kami mesti naik kelas dengan cara mengolah dan punya nilai tambah," ujarnya.
Meski dijepit setumpuk persoalan, Anindya optimistis keluarga Bakrie bisa bangkit. Kali ini mereka mengandalkan PT Visi Media Asia Tbk, yang menjadi induk bagi TV One, ANTV, dan situs Viva. Anindya mengklaim, dalam lima tahun terakhir, perusahaan ini tumbuh rata-rata 20 persen setiap tahun.
Dibandingkan dengan saham Bakrie lainnya, harga saham Visi Media Asia boleh dibilang paling moncer, berada di level Rp 268 per lembar. Sebaliknya, saham emiten Bakrie lainnya banyak yang bertengger di level terendah, yakni Rp 50 per lembar. Kinerja saham yang buruk ini, kata Norico, menurunkan nilai aset kelompok Bakrie. Itu sebabnya saham Bakrie tidak lagi dilirik investor.
Menurut Norico, kepercayaan investor terhadap Grup Bakrie rontok karena sejumlah saham grup ini sering dihentikan perdagangannya oleh otoritas bursa. Ketidakpercayaan itu berawal dari banyaknya investor yang merugi setelah membeli saham Bakrie.
Sejumlah analis dan broker di Bursa Efek Indonesia mengatakan investor juga ragu terhadap Bakrie karena manajemen perusahaan kurang transparan. Beberapa analis saham menduga tidak semua utang Bakrie dialokasikan untuk kepentingan bisnis korporasi. "Ini yang tidak dijelaskan dilarikan ke mana dananya," ujar Norico.
Akbar Tri Kurniawan, Ali Ahmad Noor Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo