Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUTUH dua hari bagi Agoeng Wijaya dan fotografer Wahyu Setiawan untuk mengumpulkan nyali terjun di tebing Sungai Yeh Kebus di Buleleng, Bali. Tak ada jalan selain melayang dari ketinggian 14 meter untuk menyusuri sungai berbatu itu. Yeh Kebus terpilih sebagai sungai nomor satu untuk kategori olahraga karena keindahan sekaligus kengerian tebing dan sungainya.
Pada Senin tiga pekan lalu, Agoeng dan Wahyu tiba di sana melihat jurang tersebut. Lutut mereka bergetar membayangkan melompat ke dalamnya. Ada tonjolan batu di dinding ngarai yang bisa menghancurkan tulang sekeras apa pun jika mendarat tak tepat di airnya. "Sudah terpikir mungkin ini liputan terakhir," kata Agoeng, penulis rubrik Wawancara.
Selama dua hari itu, mereka melihat video dan foto-foto Sungai Yeh Kebus di pemondokan para pemandu Adventure and Spirit di Desa Gitgit, juga turis-turis yang melompat di tebing itu. "Jika mereka bisa, mengapa kita tak bisa?" ujar Wahyu kepada Agoeng. Deal. Keduanya sepakat terjun esok harinya. Meliput tebing tanpa mencobanya hanya melahirkan liputan jurnalistik yang kering. Dan Wahyu harus loncat pertama agar bisa memotret Agoeng.
Di bibir jurang itu, Wahyu berancang-ancang. Tas kamera yang sudah dimasukkan ke drum sudah dilempar ke air. Ia memusatkan segenap konsentrasi dan mematuhi arahan pemandu agar mendarat tanpa melenceng. Tak perlu loncat, hanya melangkah, kaki dirapatkan agar nyebur seperti linggis masuk air. Wahyu merapal doa, memejam mata, dan wusss… tubuhnya melayang di ketinggian itu. "Anyiiiiiing," teriakannya menggema ke sudut-sudut tebing.
Ia sudah menutup-buka mata tiga kali, tapi bibir palung tak kunjung tersentuh. Ketika udara yang ditahan di paru-parunya ia embuskan, byur, tubuhnya membentur air. Wahyu harus menggapai kembali permukaan palung sepuluh meter itu agar bisa bernapas. "Dua detik rasanya dua abad," kata Agoeng, yang menyusul Wahyu lima menit kemudian.
Lain lagi cerita Aditia Noviansyah. Untuk mendapatkan sekuel foto 360 derajat Sungai Bahau, Kalimantan Utara, dia harus masuk ke sungai. Titik terbaik memang ada di tonjolan batu di tengah sungai yang lumayan deras. Tapi, untuk ke sana, ia harus berjuang melawan arus, menjejakkan kaki di batu licin agar tak hanyut oleh jeram kecil. Beban berat—dua kamera di pundak dan tripod di tangan—hampir membuatnya kehilangan keseimbangan. Untung seorang penarik perahu menahan tubuhnya.
Pemotretan penuh risiko juga ditempuh Tommy Satria saat merekam ombak pipa Pulau Mentawai di Samudra Hindia. Tommy berangkat bersama penulis desk Gaya Hidup, Heru Triyono. Mereka mengajak Sandi Slamet, peselancar Quiksilver berusia 20 tahun asal Cimaja, Sukabumi, Jawa Barat, yang lama tinggal di Bali. Peselancar peringkat ke-10 Asia itu diajak untuk menjajal ombak Mentawai sekaligus sebagai model.
Hari kedua pemotretan, cuaca tiba-tiba redup padahal tempat ombak masih jauh di depan. "Ada badai, diam di sini atau lanjut?" ujar tukang perahu yang disewa Heru. Tommy celingak-celinguk, Heru bengong, Sandi malah menerungkupkan handuk ke kepala. Karena tak ada yang menyahut, tukang perahu pun melajukan sampan menyongsong awan gelap di depan mereka. "Tenang saja, ada dua papan seluncur, kok," katanya enteng.
Tommy berpegangan tiang. Jika tak mujur, perahu bisa terbalik dan mereka digulung ombak. Sandi mungkin biasa saja, tapi dua wartawan itu tak pernah sekali pun ketemu ombak besar. Perahu memasuki awan gelap itu. "Rasanya seperti dibanting-banting," kata Tommy. Tukang perahu itu piawai juga mengendalikan tunggangannya. Mereka selamat melewati badai dan mendapat balasan setimpal: ombak pipa (barrel) dengan terowongan panjang yang diimpikan semua peselancar di dunia.
Memakai model untuk pemotretan juga dipakai Ratih Purnama Ningsih. Bersama penulis rubrik Politik, Bagja Hidayat, ia meliput Kepulauan Togean, yang menyimpan pantai paling indah di Sulawesi Tengah. Sebelum sampai di Pulau Kadidiri tempat mereka menginap, keduanya bertemu dengan Arjan Kampan dan Astrid-Irene van Etten di kapal Puspita Sari, yang membawa mereka dari Ampana, ibu kota Kabupaten Tojo Una-Una, ke Wakai.
Pasangan Belanda itu juga hendak pelesir ke Kadidiri. Jadilah Bagja menawari keduanya menjadi model untuk menghidupkan foto-foto Ratih. Selama pemotretan di Pantai Taipi dan Batu Lemboto, Bagja "memerintahkan" model dadakan itu berenang ke sana-kemari, menyelam, mendekat ke kamera, berpegangan tangan. "Wah, pemotretan ternyata makan waktu, ya," kata Arjan, manajer teknologi informasi di Koninklijke Luchtvaart Maatschappij NV, maskapai penerbangan Belanda.
Toh, keduanya girang ketika melihat jepretan-jepretan Ratih. Dua jam pemotretan menghasilkan foto bawah laut yang dahsyat. Esoknya mereka bersedia lagi dipotret di jembatan kayu dekat penginapan Black Marlin. Ini spot paling romantis di Kadidiri. Jembatan itu berujung pada gazebo di tengah laut yang membentuk siluet ketika tersiram senja merah. Arjan dan Astrid berdiri di sana, berpelukan, berciuman. "Ini pengalaman hebat dalam liburan kami," kata Astrid, manajer keuangan di perusahaan gas alam cair di Rotterdam.
Pengalaman dahsyat lain diceritakan fotografer Tony Hartawan dan penulis Nurdin Kalim, yang mendaki Gunung Rinjani di Lombok. Tak lewat jalur Sembalun dan Senaru yang umum dipakai pendaki, keduanya menempuh Torean, jalur evakuasi dan peziarah, yang jalannya miring 45 derajat. Enam malam lima hari mereka berjalan, buka tenda jika kemalaman, hingga sampai pucuk gunung setinggi 3.726 meter dari permukaan laut itu. "Gila, jalur mampus ini," kata Tony. Kakinya terkilir dan hampir tak bisa jalan jika tak disembuhkan orang lokal.
Jari tangan Amston Probell juga terkilir dan bengkak akibat jatuh di stalagmit yang licin saat menyuÂsuri Gua Barat di Kebumen, Jawa Tengah. Di kedalaman 70 meter dari permukaan tanah, Amston dan Kepala Biro Tempo Yogyakarta Sunudyantoro harus merenangi sungai untuk mencari air terjun aneka warna. Dibantu empat pencinta alam dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, keduanya menemukan keajaiban itu setelah berjalan sembilan jam. "Lensa kamera penyok dan berembun karena saya berkali-kali jatuh," kata Amston.
Rully Kesuma mesti berlatih renang dan menyelam sambil membawa kamera sebelum berangkat ke Kwatisore di Nabire, Papua, untuk memotret hiu paus. Keberadaan hiu itu membuat tempat ini terpilih sebagai juara untuk kategori penyelaman. Tapi segala jerih payah itu pupus begitu pemotretan dimulai. "Hiunya besar sekali, ujug-ujug menclok di depan hidung," katanya. Rully bisa mengabadikan mereka justru ketika menyelam bebas.
Ayu Ambong harus menempuh perjalanan yang paling tak ia sukai ketika memotret Banda Neira: naik gunung. Ia melawan keengganannya untuk memotret pulau kecil di tenggara Ambon, ibu kota Maluku, itu dari udara. Gunung Api setinggi 600 meter sangat pas untuk melihat pulau pengasingan Bapak Proklamator Bung Hatta pada 1936-1942 itu.
Tanjakannya curam serta berpasir dan berkerikil panas. Ayu sudah menyerah jika Agung Sedayu dan Lukman Ang tak terus menyemangatinya demi mendapatkan foto yang bagus. Posisi itu ia dapat setelah berkali-kali terpeleset saat merayapi tebing. Pulau cantik penuh sejarah pun ia abadikan di lensanya. "Tak terbayang dulu Bung Hatta naik gunung ini tiap pagi," kata Ayu. Mereka mendapat cerita pendakian itu dari putri Hatta, Meutia, yang juga sedang berkunjung ke sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo