Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada pemandangan tak biasa di gedung parlemen Turki pada Kamis tiga pekan lalu. Empat perempuan anggota parlemen dari partai berkuasa, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), mengenakan jilbab ke tempat kerja. Disambut tepuk tangan para koleganya, keempat perempuan itu—Nurcan Dalbudak, Sevde Beyazit Kacar, Gulay Samanci, dan Gonul Bekin—melangkah mantap menuju ruang utama.
Ini merupakan sejarah baru bagi Turki. Untuk pertama kalinya perempuan legislator bebas berhijab ke tempat kerja sejak Mustafa Kemal Ataturk meletakkan asas sekularisme dalam konstitusi Turki pada 1924. Semua itu berkat Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan, yang mencabut aturan yang melarang perempuan pegawai negeri mengenakan jilbab di tempat kerja.
"Kami ingin menyaksikan permulaan sebuah era penting, dan kami akan memainkan peran utama. Kami akan menjadi penentu standar," kata Nurcan Dalbudak, seperti dikutip Al-Jazeera, akhir Oktober lalu.
Dalam upayanya memodernkan Turki, selain melarang pemakaian hijab di instansi pemerintah, Ataturk melarang pemakaian sorban dan kopiah. Kalender yang sebelumnya mengacu pada tahun Hijriah diubah menjadi kalender Gregorian, yang mengacu pada kelahiran Yesus. Pada 1932, azan dengan bahasa Arab dilarang dan diganti bahasa Turki. Jumat tidak lagi menjadi hari libur, digantikan Sabtu dan Minggu.
Pencabutan larangan mengenakan jilbab bagi pegawai negeri merupakan bagian dari paket reformasi yang diluncurkan Erdogan pada akhir September lalu. Kebijakan baru itu antara lain bertujuan memulihkan hak-hak etnis minoritas Kurdi, yang telah lama tertindas. Ia menggunakan kesempatan itu untuk mencabut aturan tentang hijab. Namun kebijakan baru itu tak berlaku bagi perempuan yang bekerja di lembaga peradilan, kepolisian, dan militer. Mereka tetap dilarang berhijab saat bertugas.
Meski tak setuju pada tindakan keempat politikus AKP tersebut, kelompok oposisi enggan bereaksi berlebihan. Legislator Partai Rakyat Republik (CHP), Dilek Akagun Yilmaz, mengatakan partainya menganggap AKP, yang menguasai 327 kursi dari 550 kursi parlemen, sedang mengeksploitasi agama untuk kepentingan politik. "Kami tak akan tinggal diam terhadap aksi yang bertujuan menghapus asas sekularisme," ujarnya kepada Reuters. CHP adalah partai terbesar kedua di parlemen yang menguasai 134 kursi.
Erdogan tak ambil pusing dengan kecaman kelompok sekuler. "Dalam hal ini, setiap orang harus menghormati keputusan saudara-saudara kita," ujar Erdogan menanggapi aksi keempat legislator itu.
Aksi Dalbudak dan kawan-kawan terbilang berhasil jika dibandingkan dengan kejadian serupa yang berujung pada insiden pada 2 Mei 1999. Kala itu, Merve Kavakci, perempuan legislator dari partai Islam, Partai Kebajikan, diusir dari ruang sidang karena mengenakan hijab pada saat pelantikannya.
Perdana Menteri Turki kala itu, Bulent Ecevit, gusar terhadap tindakan Kavakci. "Ini bukan tempat untuk menentang negara. Beri tahu perempuan ini apa saja batasannya," ujarnya. Ucapan Ecevit disambut teriakan separuh anggota parlemen kepada Kavakci, "Keluar! Keluar!"
Partai Kebajikan akhirnya dilarang pada 2001 atas tuduhan melanggar prinsip sekularisme. Anggota parlemen dari partai ini tak boleh aktif berpolitik selama lima tahun. Kavakci menerima hukuman paling berat karena pemerintah juga mencabut kewarganegaraannya. Ia kemudian hijrah ke Amerika Serikat dan menjadi konsultan Kongres Amerika tentang dunia Islam.
"Ini perkembangan positif. Sekarang orang-orang malu dengan perbuatan mereka di masa lalu," ujar politikus Partai Kebajikan, Nazli Ilicak, yang duduk di samping Kavakci pada insiden 1999.
Sejak terpilih menjadi perdana menteri pada 2002, Erdogan memang berjanji mencabut semua aturan yang melarang pemakaian jilbab. Dalam perjalanannya, ia juga mengeluarkan sejumlah kebijakan yang oleh kelompok sekuler dianggap sebagai islamisasi Turki, seperti meluluskan undang-undang pendidikan yang memungkinkan siswa sekolah menengah mengikuti pelajaran keagamaan serta mengesahkan undang-undang anti-alkohol.
Fatma Aykul, mahasiswi Jurusan Arsitektur Akdeniz University—universitas negeri di Antalya, Turki barat daya—mengatakan pencabutan aturan itu merupakan kemenangan para perempuan muslim di Turki. Erdogan telah membuat keputusan yang benar. "Berhijab atau tidak, itu keputusan pribadi. Tak ada yang dapat melarang kami mengenakannya di mana pun kami ingin memakainya," ucapnya kepada Tempo di Antalya, Sabtu dua pekan lalu.
Aykul telah mengenakan hijab sejak delapan tahun lalu. Tapi, ketika masih SMA, ia melepas hijab di lingkungan sekolah karena dilarang. Kini ia bebas memakainya karena pemerintah telah mencabut larangan pemakaian jilbab di perguruan tinggi negeri pada 2011.
Menurut Panca Surya, mahasiswa jurusan hubungan internasional di kampus yang sama, peristiwa konyol kerap terjadi. Suatu kali, kata dia, ada seorang pelajar yang menang lomba menulis se-Kota Adana, Turki selatan. Namun sang pelajar perempuan tak diizinkan naik podium gara-gara ia berhijab.
Sule Demircioglu, guru bahasa Inggris di sebuah sekolah dasar negeri di Kocaeli, Turki utara, punya pengalaman betapa aturan itu menyulitkan perempuan berhijab seperti dia. Selepas SMA, ia akhirnya kuliah ke Amerika karena universitas negeri di Turki melarang mahasiswanya berhijab. Namun, ketika melanjutkan kuliah di dalam negeri, ia harus mengalami peristiwa yang tak mengenakkan. "Ketika wisuda, saya harus memakai topi untuk menutupi hijab saya. Itu tampak mengerikan," ujarnya.
Lantaran sekolah negeri menerapkan larangan pemakaian hijab, sebelum masuk lingkungan sekolah, Demircioglu terpaksa melepas jilbab di dalam mobil dan menggantinya dengan wig.
Kontroversi pemakaian hijab ini sudah berlangsung 90 tahun. Kaum sekuler memandangnya sebagai lambang politik Islam. Mereka menganggap pemakaian hijab di ruang publik menghina asas sekularisme Turki. Ketika reformasi berpakaian diperkenalkan di Turki yang baru terbentuk, hijab tak pernah disebut. Kala itu, pakaian perempuan belum menjadi isu penting.
Menurut politikus perempuan AKP, Zeynep Kandur, masalah hijab baru muncul setelah kudeta militer 1980, yang dipimpin Jenderal Kenan Evren. Setelah menggulingkan pemerintah sipil, Jenderal Evren, yang kemudian menjadi presiden pada 1980-1989, menyerukan penegakan asas sekularisme setelah Turki diguncang kekerasan antarkelompok politik. Kandur mengatakan ihwal pemakaian hijab di tempat publik mencapai puncaknya pada Februari 1997, ketika pemerintah melarang perempuan mengenakan hijab di sekolah menengah dan perguruan tinggi.
Namun pada 2007, ketika AKP sudah berkuasa lima tahun dan memiliki basis pendukung kuat, parlemen menyetujui aturan yang mengizinkan pemakaian hijab di sekolah menengah.
"Zaman gelap sudah berlalu. Perempuan berhijab adalah warga republik, sama seperti mereka yang tidak berhijab," ujar Erdogan.
Sapto Yunus (Al-jazeera, Telegraph), Maryam Az Zahra (Antalya)
Dalih Menuju Demokrasi
Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan mengeluarkan kebijakan reformasi yang dikenal dengan "Paket Demokratisasi" pada akhir September lalu. Kebijakan itu dikecam kelompok sekuler dengan alasan melanggar konstitusi. Tapi Erdogan menyebutkan ini langkah bersejarah menuju demokrasi. Inilah beberapa poin penting kebijakan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo