Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pendakian Jalur Suci

Panorama Gunung Rinjani melalui Torean lebih beragam. sepanjang jalur ini, pendaki melewati hutan lebat, tebing, lembah, sungai berkelok, air terjun, serta sejumlah titik sumber air panas alami, yang sebagian mengalir di dalam gua. Lebih indah dibanding dua rute yang umum ditempuh para pendaki: Senaru dan Sembalun.

18 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gonggongan anjing memecah pekat pagi yang dingin dan berembun di Torean. Langkah kaki kami di jalan tanah berbatu di dusun kaki Gunung Rinjani ini memancing mereka mendekat dan menyalak lebih kencang. "Anjing-anjing itu membantu kami menjaga ladang jagung, kebun kakao, dan sapi," kata Amak Herni, 56 tahun, porter senior dari dusun itu.

Kami—saya, fotografer Tony Hartawan, serta dua pendaki berpengalaman dari Lombok, Safriyudi dan Ruslan—memulai pendakian menuju puncak Rinjani dari Torean pada pertengahan Oktober lalu. Merupakan wilayah Desa Loloan, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, dusun yang dihuni 180 keluarga itu bertengger di ketinggian sekitar 600 meter dari atas permukaan laut. Penduduknya suku Sasak, masyarakat asli Pulau Lombok, yang sebagian besar membuka ladang jagung, berkebun kakao, serta menggembalakan ternak, terutama sapi.

Jalur pendakian Torean belum sepopuler Senaru dan Sembalun, dua rute yang selama ini biasa ditempuh pendaki menuju puncak Rinjani. Masyarakat lokal menggunakan jalur ini sebagai pintu masuk Taman Nasional Gunung Rinjani. Biasanya mereka menempuh jalur Torean untuk pengobatan dengan berendam di sumber air panas alami yang terdapat di sejumlah titik sepanjang rute ini. Mereka yang hendak memancing di Danau Segara Anak juga mele­wati Torean.

Jalur Torean menawarkan panorama alam yang beragam. Sepanjang jalur, yang diapit dinding punggungan Gunung Rinjani dan Sangkareang, terlihat hutan lebat, tebing, lembah, sungai, air terjun, dan sumber air panas alami, termasuk yang mengalir di dalam gua.

Ketika matahari pagi semakin tinggi, kami kian jauh meninggalkan Dusun Torean. Bunyi tonggeret bersahutan. Angin mendesir meniup dedaunan. Selepas melintasi ladang jagung dan kebun kakao milik masyarakat setempat, jalur setapak yang kami lalui terus menanjak. Napas mulai terasa berat.

Tiga porter yang mengantar kami terus berjalan. Bersandal jepit, Musdiana tampak santai melangkah. Dua keranjang berisi bahan makanan dan perlengkapan seberat seperempat kuintal seperti tak membebani pundaknya. Lelaki ramping 24 tahun dari Dusun Bawah Enau, Sembalun, Lombok Timur, ini terus memberi semangat kepada saya, yang jalannya mulai melambat.

Jamaludin, 28 tahun, rekan sedusun Musdiana, terlihat lebih santai. Sambil berjalan beralas sandal jepit, pria beristri dua ini asyik bercakap melalui telepon dengan istrinya—di kawasan ini sinyal telepon seluler masih bisa tertangkap. Padahal ransel 80 liter yang dipenuhi bahan makanan dan logistik pendakian membebani punggung pria berambut gaya Mohawk itu.

Begitu pula Amak Herni, porter senior sekaligus pemandu asal Torean. Bersandal jepit dan memikul dua keranjang berisi bahan makanan, peralatan masak, serta logistik lain, kakek dua cucu itu berjalan melenggang. Langkahnya lincah bagai kijang.

Kami mengajak Amak Herni, yang juga tetua adat di Dusun Torean, karena dia mengetahui seluk-beluk jalur pendakian. Dua porter lain hampir tak pernah mengantar pendaki melalui rute Torean. Meski telah menjadi porter sejak berusia belasan tahun, Jamaludin baru empat-lima kali melalui jalur ini. "Biasanya saya mengantar tamu lewat jalur Sembalun atau Senaru," ujar lelaki berbadan cukup kekar itu.

Menurut Safriyudi, ada beberapa faktor yang membuat para pendaki, terutama dari luar Lombok, enggan melalui Torean. Salah satunya, akses menuju Torean belum memadai. Dari pertigaan Desa Loloan, jalan menuju Torean baru separuhnya yang diaspal. Itu pun sudah mulai rusak dan berlubang di sana-sini. Selebihnya jalan tanah berbatu dan menanjak cukup terjal. Tak ada angkutan umum. Hanya ojek dan truk yang melintas di sana.

Ketika kami lewat, proyek pengaspalan jalan tampak berhenti. "Mudah-mudahan, kalau jalannya sudah diaspal, banyak pendaki yang mau lewat Torean," kata Amak Herni ketika kami beristirahat di sebuah tanah cukup lapang, yang merupakan batas antara perkebunan masyarakat Torean dan hutan Taman Nasional Gunung Rinjani.

Torean juga belum memiliki fasilitas penginapan sesederhana apa pun. Pendaki biasanya bermalam di rumah Amak Herni, yang menyediakan tempat untuk istirahat di beruga—sejenis gazebo bertiang enam yang terbuat dari kayu dan bambu serta beratap rumbia. Di rumah itu terdapat tiga beruga. Biayanya Rp 250-300 ribu per malam untuk satu rombongan (lima orang), termasuk makan malam dan sarapan.

Setelah rihat sekitar 15 menit di batas kawasan Taman Nasional, kami melanjutkan perjalanan menembus hutan. Pepohonan membentuk kanopi yang cukup rapat, menahan panas matahari. Dedaunan melindungi kami, yang menempuh punggungan terjal dan lembah 45 derajat, dari sang surya.

Hutan ditumbuhi pinus, suren, rotan, belimbing hutan, dan paku-pakuan. Burung srigunting terbang dan hinggap di pucuk pepohonan. Gemericik terdengar dari sungai kecil, tak jauh dari jalur pendakian. Suara monyet menggema dari kejauhan.

Empat jam dari Torean, kami tiba di Plawangan. Di seberang Plawangan terdapat Air Terjun Penim­bungan, setinggi sekitar 100 meter. Berada di sebuah cerukan di ketinggian 1.200 meter, Plawangan dipenuhi batu besar dan kecil. Di sebuah batu yang datar di dekat bibir jurang, tampak sesajen dengan sisa dupa yang masih berasap.

Masyarakat setempat percaya, Plawangan—yang berarti pintu—merupakan gerbang masuk yang sesungguhnya menuju alam Gunung Rinjani. Maka mereka biasanya memanjatkan doa dengan membakar dupa sebelum melanjutkan perjalanan. "Untuk memohon restu agar perjalanan mendaki Rinjani bisa selamat," ujar Amak Herni.

Panorama alam yang berbeda dengan rute Senaru dan Sembalun terhampar setelah kami meniti jembatan kayu vertikal yang menempel ke tebing Plawangan. Kami menyusuri jalur di lembah yang diapit punggungan Gunung Rinjani dan Sangkareang. Dinding punggungan hijau berselimut rumput dan ilalang. Di beberapa punggungan terdapat deretan pohon pinus yang rimbun.

Kami menempuh zona lembah itu dengan menelusuri jalan setapak yang sempit. Kadang harus mendaki punggungan bukit yang terjal dengan kecuraman 45-60 derajat. Di beberapa bagian, kami melewati jalan yang di kiri-kanannya jurang dengan kedalaman 50-100 meter. "Pendakian jalur Torean tak disarankan ditempuh pada malam hari. Sangat berbahaya," kata Safriyudi.

Karena waktu makan siang telah datang, plus tenaga terkuras saat menempuh zona lembah, kami rihat lama di Propok. Jamaludin sigap menyiapkan alat masak. Musdiana pergi mengambil air. Amak Herni mengumpulkan ranting kering. Meski kami membawa kompor gas dan Trangia (alat memasak di alam), para porter itu lebih suka memasak dengan menggunakan kayu. "Lebih mantap," ujar Jamaludin.

Propok merupakan dataran cukup lapang pada ketinggian 1.511 meter yang dirimbuni pohon pinus, rumput, serta ilalang. Daerah ini pertemuan dua sungai cukup besar. Satu sungai berair jernih dan bisa diminum. Sungai lainnya mengandung belerang, yakni Kokok Putih, yang berhulu di Danau Segara Anak. Di salah satu sisi Kokok Putih terdapat sumber air panas alami. Saya berendam di air panas untuk mengusir penat.

Perjalanan setelah istirahat menuju Gua Susu terasa lebih ringan. Rute terjal mendaki punggungan bukit dengan kemiringan hingga 60 derajat, bahkan di beberapa bagian lebih terjal, bisa kami lalui hampir tanpa hambatan. Dalam waktu sekitar satu setengah jam, sesuai dengan estimasi, kami tiba di persimpangan jalan menuju Gua Susu.

Sebelum ke Gua Susu, kami menyempatkan diri mampir ke Gua Taman, yang hanya berjarak sekitar 10 meter dari persimpangan itu. Di muka gua keramat ini, banyak bergantungan kain putih. Menurut Amak Herni, kain putih itu boleh dikenakan siapa saja yang akan memasuki Gua Taman.

Dengan hanya berkain putih itu, saya masuk gua melalui mulutnya yang cuma berdiameter sekitar setengah meter. Ruangan di dalam gua ternyata cukup luas, sekitar 3 x 3 meter, dengan ketinggian kira-kira dua meter. Di dalamnya ada kolam kecil berair jernih, yang oleh masyarakat setempat dianggap seperti air zamzam di Mekah.

Dari Gua Taman, kami berjalan ke Gua Susu, yang berjarak sekitar 500 meter. Memasuki Gua Susu, gua sumber air panas alami, saya seperti berada di ruang sauna. Air panas menetes dari stalaktit. Saking asyiknya mandi sauna, tanpa terasa hampir satu jam saya berada di dalamnya.

Di Gua Susu itu pula saya bersua dengan puluhan penduduk lokal yang berendam di sumber air panas, yang mereka percaya bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Mereka rela menginap tiga-lima hari dengan mendirikan tenda. Beratnya pendakian menuju ke sana justru dianggap sebagai ujian. "Bagi saya, ini merupakan ritual. Kalau tidak direstui Yang Mahakuasa, saya tidak bisa sampai ke sini," kata Ahmad, 25 tahun, asal Desa Jurit, Masbagik, Lombok Timur.

Ahmad, yang datang bersama tujuh orang sedesanya, didera berbagai penyakit, seperti encok atau rematik. Atas anjuran para tetua adat di desanya, dia berendam di sumber air panas Gunung Rinjani. "Alhamdulillah, setelah dua kali, encok saya sembuh," ujarnya.

Tukiyang, warga Lombok Tengah, juga percaya terhadap khasiat sumber air panas. Dulu, pria 59 tahun itu pernah terkena malaria. Dia datang berobat ke dokter, tapi penyakitnya kerap kambuh. "Setelah saya menjalani pengobatan dengan berendam di sejumlah sumber air panas Rinjani, malarianya hilang," kata Tukiyang, yang kali ini datang untuk mengobati rematiknya.

Pendakian via jalur Torean berujung di Danau Segara Anak di ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut. Danau seluas sekitar 11 juta meter persegi dengan kedalaman 230 meter ini tempat pertemuan jalur Torean dengan dua rute pendakian Rinjani lainnya: Sembalun dan Senaru.

Kami tiba di danau yang merupakan kaldera purba yang terbentuk akibat letusan dahsyat Gunung Samalas pada 1257 ini ketika matahari telah condong ke barat. Cahaya keemasannya memantul di danau berair tenang, memancar ke dinding tebing.

Setelah bermalam di tepi Danau Segara Anak, esoknya kami melanjutkan perjalanan menggapai puncak Rinjani, 3.726 meter di atas permukaan laut, melalui Plawangan Sembalun. Matahari memerah di timur ketika kami menjejakkan kaki di puncak gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia itu. l


Cara ke Sana

Dari Bandar Udara Internasional Praya, Lombok Tengah, Anda bisa naik taksi atau bus Damri ke Mataram. Tarif untuk taksi sekitar Rp 120 ribu, bus Damri sekitar Rp 25 ribu.

Selanjutnya dari Mataram naik angkutan umum minibus ke Senaru, Lombok Utara, dengan tarif Rp 25-30 ribu. Sebelum ke Torean, Anda bisa melapor dan mengurus perizinan di Pos Pendakian Gunung Rinjani di Senaru.

Dari Senaru, Dusun Torean, Desa Loloan, Lombok Utara, bisa dijangkau dengan mencarter angkutan umum pedesaan dengan tarif sekitar Rp 200 ribu jika Anda datang berombongan. Bisa juga naik ojek dengan tarif Rp 50 ribu.

Penginapan

Di Dusun Torean, tak ada penginapan sekelas losmen, apalagi hotel. Para pendaki bisa menginap di rumah Amak Herni—tetua adat setempat sekaligus porter dan pemandu senior. Di rumah itu terdapat tiga beruga—sejenis gazebo—yang biasa dipakai untuk tidur pendaki. Amak Herni juga membuka warung yang menjual makanan kecil, minuman, dan logistik lain untuk keperluan pendakian.

Dia tak menetapkan tarif resmi. Untuk menginap di rumahnya, plus sekali makan malam dan sarapan, rombongan kami (lima orang) dikenai biaya Rp 250-300 ribu.

Jalur Ritual

SELAMA ini jalur pendakian Gunung Rinjani yang umum dipakai adalah rute Senaru dan Sembalun. Rute Torean hampir tak pernah dilalui pendaki. Jalur ini lebih banyak digunakan penduduk lokal yang hendak menjalani ritual pengobatan dengan berendam di sejumlah sumber air panas di kawasan tersebut.

Bagi umat Hindu, jalur Torean dilalui dalam prosesi mulang pekelem di Danau Segara Anak. Ritual adat itu biasanya digelar pas purnama pada bulan kesepuluh, kira-kira pertengahan Oktober. Adapun di kalangan pencinta alam dan pendaki, rute Torean dikenal sebagai jalur evakuasi.

Padahal jalur Torean, yang diapit punggungan Gunung Rinjani dan Sangkareang, memiliki panorama alam lebih menarik dan beragam.Sepanjang jalur, kita disuguhi pemandangan hutan lebat, lembah, sungai berkelok, air terjun, dan sejumlah sumber air panas.

Kapan ke Sana

Pendakian Gunung Rinjani secara resmi ditutup sepanjang Januari-Maret. Waktu yang pas mendaki lewat jalur Torean antara Mei dan Oktober. Pada bulan-bulan itu, cuaca bagus dan angin tak terlalu kencang. Debit air Sungai (Kokok) Putih yang harus dilewati di jalur itu juga tak terlalu deras.

Pendakian sebaiknya dilakukan sejak pagi hingga sore. Tak disarankan mendaki lewat rute itu pada malam hari karena jalurnya banyak melalui pinggir jurang yang dalam, bisa mencapai 50-100 meter.

Jasa Porter dan Pemandu

Di Dusun Torean, Anda bisa menyewa jasa porter yang sekaligus menjadi pemandu untuk pendakian. Tarifnya Rp 150-200 ribu per hari.

Jalur Pendakian Rinjani via Torean

Dusun Torean (600 meter di atas permukaan laut)

  • Ini dusun terakhir sebelum mendaki Gunung Rinjani. Dari sinilah pendakian ke Rinjani dimulai.

    Pos Pancor Greneng (900 meter)

  • Pos istirahat ini berada di hutan Taman Nasional Gunung Rinjani. Di pos itu terdapat sungai dan sumber air yang sangat jernih.

    Plawangan Torean (1.200 meter)

  • Masyarakat setempat menyebut lokasi ini pintu masuk ke Rinjani dari Torean. Dalam bahasa Sasak, plawangan berarti pintu.

    Pos Propok (1.511 meter)

  • Pos ini merupakan pertemuan dua sungai. Satu sungai berair jernih yang bisa diminum. Satu lagi, Kokok Putih, airnya mengandung belerang. Kokok Putih berhulu di Danau Segara Anak. Di sana juga terdapat sumber air panas.

    Gua Taman (1.647 meter) dan Gua Susu (1.756 meter).

  • Di dalam Gua Taman terdapat kolam kecil sumber air. Masyarakat setempat menganggap sumber air di gua itu seperti air zamzam. Gua Susu merupakan gua sumber air panas. Di kedua tempat itulah biasanya masyarakat setempat menjalani ritual pengobatan.

    Danau Segara Anak (2.000 meter)

  • Jalur Torean akan berujung di Danau Segara Anak. Ini menjadi tempat pertemuan jalur Torean dengan dua rute pendakian Rinjani lainnya: Senaru dan Sembalun.
    GUNUNG

    Inerie, Nusa Tenggara Timur
    Dalam Lindungan Dewa-dewa

    Gunung yang rendah hati, begitu para pendaki menjuluki Inerie, gunung tertinggi di Pulau Flores. Rendah hati karena gunung ini sangat indah tapi tidak banyak dikenal orang. Puncak gunungnya, 2.245 meter di atas permukaan laut, bertipe strato volcano yang tampak gagah, lancip menjulang.

    Sedikit yang berminat mendaki atau lari di sini, padahal tersedia jalur pendakian moderat yang bisa dilalui siapa pun. "Paling bagus naik dari Bampung Bena selepas tengah malam. Sampai puncak pagi, lihat matahari terbit, kemudian turun langsung menuju Pantai Aimere di selatan, total sekitar 28 kilometer," ujar Philipus, pemandu pendakian.

    Di puncak Inerie, dalam mitos masyarakat setempat, berdiamlah dewa-dewa penjaga harmoni Flores. Salah satunya dewa kesatria Jaramasi, yang dipercaya tinggal di sebuah batu besar di sisi selatan gunung. Hutan utuh ada di puncak dengan aneka tumbuhan endemik dan burung. Treking Inerie dapat dimulai dari kampung adat Bena di Desa Tiworiwu, Kecamatan Aimere, sekitar 30 menit ditempuh dengan mobil dari Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.

    Tambora, Sumbawa
    Sihir Kawah Terbesar

    Menjejakkan kaki di Gunung Tambora niscaya membawa ingatan mundur beratus tahun. Pada April 1815, gunung berapi yang menjulang di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, ini mengguncang dunia dengan letusan dahsyatnya.

    Banyak catatan menyebutkan dentuman Tambora ketika itu terdengar sampai Sumatera. Tak hanya itu, pasca-letusan, gunung ini kehilangan hampir separuh puncaknya. Tingginya kini 2.851 meter. Akibat ledakan itu, Tambora punya kawah raksasa berdiameter 7 kilometer, dengan keliling kawah sepanjang 16 kilometer.

    Tapi justru itulah kini pesona utama Tambora. Di sekeliling kawah, ada padang pasir yang rimbun dengan edelweis. Jika berdiri di tubir kawah itu, kita bisa mereguk panorama lautan Sumbawa luas nan biru membentang.

    Bukit Raya, Kalimantan
    Bukit Tertinggi

    RUTE pendakian menuju puncak Bukit Raya, gunung tertinggi di Kalimantan, sangat berat. Hutannya lebat dan jarang dilewati. Pacet, hewan pengisap darah, jamak dijumpai di sepanjang jalur pendakian.

    "Banyak pacet, bikin orang frustrasi," kata Dody Johanjaya. Pendaki Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia itu telah dua kali menginjakkan kaki di puncak Bukit Raya—yang terakhir awal tahun ini. Gunung ini terletak di perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.

    Gunung setinggi 2.278 meter di atas permukaan laut dan masuk The Seven Summits of Indonesia ini memiliki rute pendakian panjang. Total rute naik dan turun sekitar 90 kilometer. Selain pacet dan jalur yang samar, gangguan dari berbagai serangga menambah seru petualangan.

    Perlu tujuh hari untuk mendaki Bukit Raya—empat hari mencapai puncak dan sisanya turun gunung. Namun akses menuju titik awal pendakian terbilang ribet, butuh empat-lima hari. Dari Pontianak menuju Kabupaten Sintang menumpang bus selama 12 jam. Perjalanan berlanjut ke Serawai dengan speedboat sekitar 5 jam, lalu disambung ke Tongta, yang merupakan kawasan hutan industri. Dari situ, pendaki menumpang kendaraan perusahaan pengelola hutan ke Kampung Rantau Malam. Batas hutan, titik awal pendakian, bisa dijangkau dengan ojek atau 3 jam jalan kaki. Dari sini, petualangan dimulai.

    Binaiya, Maluku
    Pendakian dari Titik Nol

    KAKI Gunung Binaiya di Pulau Seram, Maluku, menjurai ke tepi laut. Pendakian gunung setinggi 3.027 meter ini diawali dari pantai alias nol meter di atas permukaan laut.

    Binaiya merupakan gunung tertinggi di Kepulauan Maluku, dan satu dari tujuh puncak tertinggi Indonesia. Gunung ini memiliki jalur pendakian yang panjang, terjal, dan licin. Hutan lebat dengan pepohonan rapat menambah tantangan pendakian. Menuju puncak, jalur pendakian berupa bukit berbatu yang tajam dan terjal.

    Puncak gunung itu berupa tanah lapang seluas sekitar setengah lapangan bola. Anginnya sangat kencang dan dingin.

    Binaiya bisa dicapai dari Seram, yang ditempuh menggunakan feri dari Ambon. Dari Seram, perjalanan disambung dengan sampan ke pantai Piliana, titik awal pendakian. Piliana adalah rute baru dan lebih singkat. Dari titik ini hanya perlu waktu empat-lima hari ke puncak, lalu dua-tiga hari untuk turun. Sedangkan rute lama, melalui Kanikeh, menghabiskan total 14 hari.

    Pendaki pemula tidak dianjurkan ke Binaiya, karena berbahaya. Pendakian pun kudu didampingi pemandu lokal dan porter.

    Jayawijaya via Sugapa, Papua
    Jalur Menuju Salju

    Puncak Carstensz di Pegunungan Jayawijaya, Papua, pada ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut, selalu berselimut salju. Memiliki puncak tertinggi di Tanah Air, gunung karang bagian dari Pegunungan Maoke atau Barisan Sudirman ini termasuk tujuh puncak dunia—selain Everest di Pegunungan Himalaya dan Aconcagua di Pegunungan Andes.

    Ada tiga rute menuju Puncak Carstensz, melalui Ilaga di Kabupaten Nabire, Freeport di Timika, dan Sugapa di Kabupaten Intan Jaya. Ilaga dan Freeport merupakan rute pendakian yang umum digunakan. Jalur Sugapa sangat menantang, sekaligus lebih indah.

    Pendaki harus berjalan kaki tujuh hari menuju base camp induk Lembah Kuning. Pendakian dilanjutkan dengan memanjat tebing batuan granit setinggi 800 meter ke Puncak Carstensz. Pemanjatan memakan waktu 12-15 jam.

    Leuser, Aceh
    Firdaus Flora-Fauna

    Sudah lama para ahli konservasi menyebut Gunung Leuser sebagai keajaiban alam mahalangka. Di sini, hidup berdampingan 4.000 spesies flora dan fauna yang sebagian tergolong amat langka.

    Dari bunga raksasa Rafflesia arnoldii sampai bunga bangkai Amorphophallus titanum bisa ditemukan di Leuser. Hutan di sini juga habitat lima mamalia besar: gajah, harimau, badak, beruang madu, dan orang utan. Tak ada ekosistem alami lain di muka bumi ini yang jadi tempat hidup sekian banyak mamalia sekaligus.

    Tak aneh jika Leuser sering disandingkan dengan ekosistem Manu di Amazon, Brasil, atau Kongo di Zaire, Afrika, yang sama-sama kaya keanekaragaman hayati. Untuk mengalami firdaus seindah Leuser, Anda bisa mengarungi Sungai Alas, yang membelah kawasan Leuser, atau naik ke puncak gunungnya yang memukau.

    Latimojong, Sulawesi Selatan
    Sepotong Kayangan

    Pegunungan Latimojong membentang di tiga kabupaten di Sulawesi Selatan: Enrekang, Palopo, dan Tana Toraja. Puncak tertingginya Puncak Rantemario (3.478 meter di atas permukaan laut). Latimojong adalah satu di antara tujuh puncak tertinggi di Indonesia.

    Tapi bukan ketinggian puncaknya yang jadi daya tarik utama Latimojong. Cobalah naik gunung ini dan Anda akan terpesona oleh kecantikan alam sepanjang pendakian. Sekitar setengah jam menjelang puncak, di titik yang biasa disebut Pos 7, panorama alam terhampar begitu menawan. Sejauh mata memandang, ada rimbun hijau rimba yang, bila sore datang, diliputi kabut jingga matahari menjelang sirna.

    Baturraden Adventure Forest,Jawa Tengah
    Petualangan Rimba

    Baturraden layaknya kawasan puncak bagi orang Jakarta. Kawasan ini terbentang di sebelah selatan kaki Gunung Slamet, yang merupakan gunung berapi tertinggi kedua di Jawa, 3.432 meter. Namun bukan lokasi wisata Baturraden yang akan saya bahas. Sepuluh menit dari situ, ada tempat yang namanya Baturraden Adventure Forest (BAF). Tempat dengan konsep back to nature ini terletak di lembah Sungai Pelus—antara obyek wisata Taurus dan Telaga Sunyi.

    Pengunjung bisa melakukan kegiatan petualangan alam: water adventure, canyon adventure, forest track adventure, dan bike track adventure. Di sana tersedia penginapan rumah bambu ala suku Badui. Semalam harga sewanya Rp 250 ribu dengan kapasitas 100 orang.

    Di area BAF, Anda akan disambut pemandangan hutan damar dan pinus serta aneka vegetasi hutan yang membentang di kaki Gunung Slamet seluas 50 hektare. Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) bekerja sama dengan Perusahaan Hutan Negara Indonesia (Perhutani) membangun tempat ini empat tahun lalu.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus