Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUKAN hanya angin yang lesi, di pantai Kadidiri ombak pun berjingkat dalam sunyi. Riak susul-menyusul itu hanya meresik dinding bukit karang atau menyentuh pasirnya yang putih. Senja merah pertengahan Oktober lalu mengukuhkan pantai pada keheningan paripurna ketika cahayanya membentuk siluet jembatan kayu berujung gazebo di tengah laut.
Di kejauhan, sepasang turis Denmark berpegangan mengapung di air sebening mata kucing. Ombak sore yang mulai pasang itu membantun-bantun tubuh mereka yang ramping. "Karang dan ikannya menakjubkan," kata Sidsel Filipsen, mahasiswa University of Copenhagen, setelah setengah jam berenang dan kembali ke saung beratap rumbia itu. Adam Veng, pacar Sidsel, mengibas-ngibaskan rambutnya yang panjang-ikal di sebelahnya.
Seperti umumnya turis Eropa yang datang ke Kadidiri, Sidsel dan Adam tahu tentang Kepulauan Togean hanya dari informasi satu halaman yang dimuat buku saku Lonely Planet-panduan jalan-jalan ke tempat-tempat terpencil di penjuru dunia. Internet tak terlalu banyak menyimpan informasi dalam bahasa Inggris tentang gugusan pulau kecil di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah, ini berikut cara mencapainya.
Ada 66 pulau kecil di perairan Togean. Dari beberapa yang menyediakan penginapan, Kadidiri paling terkenal. Di sini ada tiga cottage: Black Marlin, Pondok Lestari, dan Kadidiri Paradise. Jarak paling dekat dari Wakai, pelabuhan di tengah teluk tempat singgah kapal rute Gorontalo-Ampana. Pulau ini juga paling mudah untuk mencapai titik-titik menyelam atau sekadar snorkeling. Pulau kecil yang tersebar di sekitarnya menahan laju angin dari laut lepas sehingga pantainya aman direnangi.
Meski Kadidiri sudah dikembangkan sebagai daerah wisata sejak 1995, tak banyak orang Indonesia yang tahu tentang pulau ini. "Tamu saya kebanyakan dari Eropa," ujar Yani Tahir, pemilik Black Marlin. Pada pertengahan Oktober lalu yang bukan waktu liburan itu, 16 kamarnya penuh oleh pasangan pelancong dari Belanda, Prancis, Jerman, Hungaria, Denmark, dan Inggris.
Perempuan 60 tahun asal Gorontalo itu membuka kamar 18 tahun lalu dengan membeli kebun kelapa seluas seribu meter persegi. Yani membangun penginapan setelah para turis selalu bertanya kepada menantunya yang mengelola resor Blue Marlin di Lombok, Nusa Tenggara Barat, tentang laut lain yang bagus untuk diselami tapi masih sepi.
Pertanyaan serupa didengar Yani di hotelnya di Wakai. Jadilah ia dan suaminya melirik Kadidiri yang masih hutan lebat itu. Sejak itu, Togean-atau Togian dalam lafal orang lokal-mulai terkenal. Crispin Gibbs, menantu Yani asal Inggris, menyebarkan informasi tentang Togean yang masih perawan ke para turis yang berkunjung ke Lombok atau Bali.
Tapi cara mencapainya yang ribet membuat pelancong jiper berpelesir ke Togean. Dari Jakarta setidaknya butuh dua hari untuk sampai di Kadidiri. Bandar udara terdekat hanya di Poso. Itu pun tak ada penerbangan langsung dari Ibu Kota, tapi transit melalui Makassar. Dari Poso, satu-satunya cara menempuhnya adalah jalan darat yang meliuk-liuk dan rusak selama lima jam ke Ampana, ibu kota Kabupaten Tojo Una-Una. Baru pada 2015 kabupaten ini bakal punya bandar udara sendiri.
Dari Ampana, kita masih harus naik feri selama lima jam ke Pelabuhan Wakai, dengan kapal yang tak selalu ada setiap hari. Para pemilik cottage menyediakan kapal motor di Wakai untuk mengangkut turis ke penginapan dengan waktu tempuh 15 menit. Karena itu, bila berkunjung ke Kadidiri atau penginapan di pulau lain di Togean, pelancong mesti memesan kamar agar dijemput. Jika datang ujug-ujug, selain berisiko tak kebagian tempat tidur, turis bisa bengong di Wakai.
Tak ada sinyal telepon di pulau seluas Singapura yang tak berpenghuni ini, kecuali di satu tiang yang diberi penguat frekuensi. Itu pun kembang-kempis. Listrik di penginapan bersumber pada mesin diesel yang bahan bakarnya diangkut dari Wakai. Begitu pula air bersih. Yani menghabiskan Rp 20 juta sebulan untuk ongkos mengangkut air dan solar. Ini cara paling masuk akal karena menyedot air dengan mengebor bukit karang di belakang penginapan perlu teknologi mahal.
Maka lengkaplah Kadidiri: pantainya sunyi; lautnya jernih dan kaya biota; tak ada sinyal, juga setrum, dan anasir modern lain. Para turis asing menyebut pulau-pulau di lidah Sulawesi itu sebagai destinasi yang cocok untuk berbulan madu.
Selain pantai, banyak tempat untuk dikunjungi di sekitarnya. Kepulauan Togean berada di zona garis Wallace dan Weber-batas wilayah hewan Asia dan Australasia-yang membuat isi laut dan hutannya paling beragam di dunia. Lautnya adalah wilayah segitiga terumbu karang yang memanjang dari Australia, Laut Jawa, hingga perairan Filipina di Pasifik.
Pertemuan gunung-gunung bawah laut itu membuat Togean menyimpan empat jenis karang yang tak terdapat di laut mana pun di dunia: atol, karang benteng, karang tepi, dan karang tompok. Karang-karang beraneka bentuk dan warna itu menjadi rumah berbagai jenis ikan yang hidup di laut tropis dan subtropis. Di Batu Lemboto, ada gugusan karang yang terlihat seperti penyu raksasa sedang berenang di dasar laut.
Dua jam naik perahu motor dari Kadidiri, di Malenge ada atol warna-warni di kedalaman sepuluh meter yang masih bisa terlihat dari atas perahu. Karang-karang itu terlingkung oleh karang cincin yang pucuk-pucuknya menyembul di permukaan laut jika air surut. Nelayan suku Bajo yang hidup di pulau-pulau sekitarnya mendirikan saung-saung untuk singgah berteduh dari hujan dan badai.
Tak jauh dari Malenge, ada atol lain yang hanya terpisahkan oleh dinding karang setebal satu meter dari laut induknya. Di Danau Mariona yang asin ini, hidup ubur-ubur cokelat, putih, merah, dan biru. Kita bisa berenang bersama mereka tanpa takut tersengat. Seperti di Pulau Derawan, Kalimantan Timur, ubur-ubur di Malenge tak punya racun yang mematikan. Bedanya, di laut Derawan hanya hidup ubur-ubur merah. "Di dalam danau jumlahnya banyak sekali," kata Max Berger, turis Jerman berusia 34 tahun.
Dinding karang bawah laut Malenge memisahkan perairan dangkal dan dalam sehingga biru-hijau air lautnya terlihat kentara dari udara. Ombak di sini lumayan besar ketika hari beranjak malam. "Arus bawahnya deras sekali," ujar Zulkifli Labano, nelayan Wakai yang mengantar kami ke sana. Hanya nelayan Bajo yang terlatih melaut sejak lahir yang bisa mengarungi gelombangnya. Maka Max Berger beruntung karena ia bisa melihat hiu kepala martil sebesar paha di perbatasan atol itu.
Orang-orang suku Bajo tinggal di pulau-pulau kecil di laut Togean. Mereka membangun rumah kayu bertiang tinggi di atas air. Anak-anak menjadikan laut sebagai halaman rumah untuk bermain. Bocah dua tahun dengan ringan melompat dari teras rumah mereka ke laut sedalam tiga meter yang di dasarnya hidup pelbagai jenis anemon, ular, dan bulu babi.
Di beberapa pulau, orang-orang Bajo tinggal bercampur dengan suku lain: Bugis, Makassar, dan Wakai. Hanya di Pulau Kabalutan mereka tinggal sendiri. Orang Bajo berasal dari Kepulauan Sulu di Filipina Selatan yang hidup nomaden di laut. Pelayaran sejak ratusan tahun silam itu membawa mereka ke perairan Sulawesi hingga Lombok dengan mendirikan kampung besar bernama Labuan Bajo.
Hanya sedikit orang Bajo yang paham asal-usul mereka, bahkan penduduk paling tua sekalipun. Biasanya generasi sekarang hanya tahu ayah-ibu mereka berasal dari kampung Bajo lain di pulau lain sekitar Sulawesi dan Maluku. Tak satu pun menyebut Sulu. "Yang saya tahu, nenek moyang kami dari Pulau Banggai di dekat Luwuk," kata Tinur Munggong, laki-laki 60 tahun yang tinggal di Pulau Salaka.
Atraksi orang Bajo menjala ikan dengan menebarkan jaring lalu menepuk laut secara beramai-ramai adalah tontonan yang mengasyikkan. Juga pemancing gurita yang hanya bertelekan sampan, sementara separuh badan dan kepalanya menyelam di air. Pemanah ikan adalah cerita paling eksotis dari orang Bajo. Mereka bisa menyelam lima-sepuluh menit, bahkan berjalan di dasar laut hanya memakai kacamata, lalu membokong barakuda, ikan ganas dan trengginas, di kedalaman 30 meter.
Di Pulau Papan, yang dihuni 162 keluarga suku Bajo, ada jembatan kayu yang meliuk sepanjang satu kilometer menjadi penghubung ke Pulau Malenge, yang menjadi pusat kelurahan. Suku Bajo yang sudah kawin-mawin dengan orang lokal mulai hidup di darat dengan bersekolah dan berbelanja di pasar. Bahkan mereka sudah mengenal politik. Semua kampung Bajo kotor oleh poster calon anggota legislatif yang memajang foto narsisistik dan bujukan untuk dipilih di hari pemilihan pada 2014.
Setelah mengelilingi kampung Bajo, para turis berburu kemegahan laut dengan menyelam. Banyak spot yang keindahan lautnya masih perawan dibanding Bunaken atau Wakatobi. Salah satunya Pulau Una-Una. Juga bangkai kapal pengebom Amerika Serikat yang ditembak pasukan Jepang pada 1945 dan karam di kedalaman 40 meter. Bangkai pesawat itu masih utuh dan menjadi tempat bermukim aneka karang dan jutaan ikan.
Menurut Nick Cormack, instruktur menyelam Black Marlin asal Irlandia Utara, topografi Togean berbeda dengan Bunaken, Wakatobi, atau Lembeh. Sementara dasar laut Bunaken curam karena banyak lembah dan dinding gunung karang, Togean lebih landai sehingga para penyelam bisa menikmati tekstur laut dari dangkal ke dalam secara bertahap.
Keindahan bawah laut Togean yang menyimpan hewan langka kuda laut terancam oleh bom. Para nelayan sering curi-curi kesempatan meledakkan dinamit untuk menjaring ikan. Pemilik penginapan, seperti Yani Tahir, mesti membuat perjanjian dengan nelayan di kampung sekitar agar mereka tak mengebom laut. "Kalau dibom, karang jadi rusak. Penyelam mau mencari apa lagi?" ujar Yani.
Tapi kontrak itu tak cukup. Di musim pemilihan umum seperti sekarang, calon legislator yang berharap dipilih menyediakan diri menjadi bumper para nelayan yang meminta pengeboman tak dilarang. Menurut Nick, pengeboman akan terus terjadi di laut Togean sepanjang pemerintah daerah tak menyediakan patroli khusus rutin untuk menghalau nelayan yang membawa dinamit. "Sekarang jumlah petugas tak cukup mengawasi laut yang luas," katanya.
Masalahnya, pemerintah Tojo Una-Una menolak laut Togean dijadikan taman nasional, meski Presiden Megawati Soekarnoputri sudah meresmikannya pada 2004. "Bupati tak senang karena akan mematikan mata pencarian masyarakat," ujar Akbar Lahay, juru bicara pemerintah kabupaten. Menurut dia, patroli di laut sudah cukup oleh 21 anggota Satuan Polisi Pamong Praja yang setiap hari memantau sudut-sudut pulau. Tapi, selama sepekan di sana, tak sekali pun kami bertemu dengan petugas patroli.
Laut Togean terlalu indah untuk dirusak-bila tak dijaga secara serius atas nama mata pencarian rakyat. Selain berenang dan menyelam, menikmati laut Togean bahkan bisa hanya dengan mengayuh kayak ke tengahnya untuk merengkuh keheningan, di bawah senja merah yang menembus karang dan memantulkan warna-warni ikan. l
Penginapan
Black Marlin
Kadidiri Paradise
Tiga Jalur Mencapai Togean
SELAIN Pulau Kadidiri, di Kepulauan Togean terdapat sejumlah resor yang menjadi tempat snorkeling dan menyelam. Di antaranya di Pulau Taipi, Una-Una, Karina, Katupat, Kundurang, dan Malenge. Perlu dua hari mencapainya dari Jakarta dengan tiga moda transportasi: udara, darat, dan laut. Meski perjalanannya cukup panjang, biaya berlibur ke sana tak terlalu mahal. Dari Ibu Kota minimal Rp 5 juta untuk transportasi, penginapan, akomodasi, dan sewa alat snorkeling selama sepekan.
Lewat Gorontalo
Jakarta-Gorontalo 2 jam
Pelabuhan Waris Gorontalo-Wakai 12 jam
Lewat Palu
Jakarta-Palu 2 jam
Palu-Ampana 10 jam
Ampana-Wakai 5 jam
Wakai-Kadidiri 15 menit
Lewat Poso
Jakarta-Makassar 2 jam
Makassar-Poso 1 jam 20 menit
Poso-Ampana 5 jam
Ampana-Wakai 5 jam
Rekomendasi: Dari tiga jalur itu, semua berujung di Pelabuhan Wakai, pelabuhan terbesar di Pulau Batudaka. Paling gampang via Gorontalo. Meski kita mengarungi laut 12 jam, jalur ini lebih sedikit gonta-ganti transportasi.
PANTAI
Teluk Kiluan, Lampung
Orkestra Lumba-lumba
Di Teluk Kiluan, laut tak pernah membiarkan pagi murung sendiri. Di antara deburnya yang pelan, suatu hari Mei lalu, serombongan nelayan berputar-putar dengan perahu kayu. Yang satu memandang ke arah yang lain. Seketika satu kapal memberi tanda: menunjuk ke satu arah.
Yang ditunjuk adalah sejumlah lumba-lumba yang berlompatan di permukaan. Sebentar mereka muncul di satu titik, lalu yang lain jumpalitan di titik lain.
Maka pagi adalah orkestra lumba-lumba di teluk ini. Jika hari terik, jumlahnya bisa ratusan. Mei itu, hujan turun rintik-rintik. Hanya puluhan lumba-lumba yang muncul.
Teluk Kiluan berjarak empat jam perjalanan dengan mobil dari Ibu Kota Bandar Lampung ke barat daya. Terletak di Kabupaten Tanggamus, Lampung, jalan darat itu terasa menyiksa karena di beberapa tempat rusak berat: ada sungai kecil tanpa jembatan atau jalan terjal menanjak. Tak disarankan menumpang sedan ke tempat ini.
Untuk menikmati lumba-lumba, setidaknya butuh dua hari satu malam di Teluk Kiluan. Itu karena lumba-lumba hanya bisa dinikmati pagi hari. Hari kedua bisa dipakai untuk beristirahat. Teluk ini juga menyediakan spot snorkeling yang menawan, selain pantai putih yang pasirnya seperti tepung terigu. Ada pula laguna berukuran separuh kolam renang olimpik.
Sayang, belum banyak operator yang melayani wisatawan di situ. Satu di antaranya, Kiluan Dolphin, hanya menyediakan satu penginapan dengan dua kamar. Pengunjung yang tak kebagian bilik harus menginap di tenda.
Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan
Kakawin Sawaku
Pulau kecil di Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan, ini sudah tercatat sejak zaman Majapahit. Dalam Kakawin Negarakertagama, Mpu Prapanca menyebutnya "Sawaku". Pemandangan di pulau ini begitu asri: laut birunya yang teduh bersisian dengan bukit-bukit hijau menawan.
Perjalanan menuju pulau ini membutuhkan waktu sekitar 12 jam. Lewat darat, perjalanan dimulai dari Banjarmasin, ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan, hingga ke Pelabuhan Batulicin di Kabupaten Tanah Bumbu. Jaraknya sekitar 270 kilometer dan menghabiskan 4 jam.
Di Pelabuhan Batulicin, tersedia feri ke Pelabuhan Tanjung Serdang, Kotabaru. Kemudian perjalanan dilanjutkan menggunakan perahu bermotor menuju Sungai Bali, ibu kota Kecamatan Pulau Sebuku.
Setiba di Pulau Sebuku, dengan bantuan kepala desa, kita bisa menginap di rumah penduduk setempat.
Pantai Liang, Maluku Tengah
Tetirah di Tempat Terindah
Nama populer pantai ini sesuai dengan lokasinya: Desa Liang, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah. Nama lainnya Pantai Hunimua. Karena pemandangan bawah lautnya memikat, pada 1990, pantai ini didaulat Badan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) sebagai tempat terindah di Indonesia.
Pasir putih menghampar di pantai sepanjang sekitar 1 kilometer dengan lebar 300 meter ini. Ada bulan-bulan khusus saat pantai terasa teduh dan hanya ada sedikit angin, yaitu September-November dan April-Mei. Di bulan lain, Pantai Liang cenderung keruh akibat ombak besar.
Banyak angkutan menuju Hunimua, yang jaraknya sekitar 40 kilometer dari Bandar Udara Internasional Pattimura. Selain taksi, ada bus Trans Amboina bertarif Rp 10 ribu. Jalannya mulus sehingga waktu tempuh hanya 30 menit.
Rawa Buaya, Jawa Barat
Ranca yang Berkarang
Pantai Rawa Buaya atau yang dikenal sebagai Rancabuaya memiliki kontur berkarang. Pantai yang terletak di Desa Purbayani, Kecamatan Caringin, Garut, ini memiliki luas 10 hektare. Daerah yang telah dimanfaatkan untuk fasilitas wisata sekitar 2 hektare. Dari ketinggian, kita dapat melihat pantai dan laut lepas Samudra Hindia yang biru kehijauan dengan deburan ombak besar.
Jarak dari Bandung sekitar 167 kilometer dan dapat ditempuh sekitar enam jam dengan kendaraan roda empat. Perjalanan menuju Rancabuaya pun melewati panorama yang menakjubkan, antara lain pegunungan, persawahan, dan perkebunan teh yang asri.
Di sana terdapat puluhan vila dan penginapan dengan harga bervariasi. Selain itu, tempat makan dan fasilitas kesehatan mudah didapatkan.
Teluk Hijau, Jawa Timur
Zamrud di Timur Jawa
Masuk ke Teluk Hijau di Taman Nasional Meru Betiri, Banyuwangi, Jawa Timur, seperti terperangkap di taman firdaus. Pasir begitu putih dan halus, menjadi tempat mendarat yang nyaman untuk air sejernih kristal. Di belakang ombak yang berdebur ke pantai, laut seperti berada dalam kuali zamrud: memantulkan warna hijau terang. Ada satu karang yang duduk di pantai ini dengan pohonan kecil di atasnya. Karang-karang yang lebih tinggi memagari kiri-kanan pantai, menjadikannya teluk yang tersembunyi.
Untuk sampai ke sana, kita bisa naik perahu nelayan (jukung), berjalan kaki melintasi hutan, atau menumpang mobil berpenggerak empat roda. Teluk ini begitu tersembunyi, sehingga tak banyak wisatawan ke sini. Agustus lalu, misalnya, hanya ada delapan wisatawan asing yang sedang mandi di airnya yang hangat.
Meru Betiri merupakan taman nasional seluas 58 ribu hektare yang membentang di bagian selatan Kabupaten Jember dan Banyuwangi, Jawa Timur. Taman nasional ini memiliki kelengkapan alam dan keanekaragaman hayati yang mengagumkan. Ada pantai-pantai indah, gunung, dan hutan. Di dalamnya terdapat hewan liar, seperti macan, banteng Jawa, beberapa jenis elang, dan rusa. Di sejumlah pantainya, penyu-penyu bertelur di malam hari.
Kaimana, Papua Barat
Teluk-Teluk Sepia
Kaimana bukan hanya keindahan langit saat matahari terbenam di bulan Agustus seperti tertuang dalam lagu Senja di Kaimana ciptaan Alfian pada 1960-an. Menyelam di Teluk Triton seperti masuk ke surga bawah laut dengan terumbu karang yang berwarna-warni. Pada Oktober-Maret, kapal-kapal liveaboard membawa para penyelam asing datang ke Kaimana.
Teluk Triton juga suaka bagi ikan hiu di musim angin timur yang berombak besar. Mereka mencari ikan-ikan kecil yang bersembunyi di sekitar teluk yang sepia ketika senja. Lumba-lumba yang bermain dan sesekali meloncat ke atas air menjadi pemandangan saat perjalanan menuju atau keluar dari teluk ini.
Banyak lokasi wisata lain, seperti Selat Iris, Pulau Namatote, Pulau Dramai, Pulau Adi, Pulau Nusurumi, Pulau Mauwara, Pulau Semisarom, dan Pulau Venue. Memancing dan bermain jetski paling asyik di Pulau Aiduma. Setelah berjalan menyusuri hutan sejauh tujuh kilometer, kita akan tiba di Danau Kamaka, yang airnya jernih.
Tanjung Tinggi, Bangka Belitung
Bilik-bilik Laskar Pelangi
Kami datang ke Belitung-biasa disebut juga Belitong-bersama penulis Laskar Pelangi, Andrea Hirata. Novel yang kemudian diangkat menjadi film ini memang ber-setting tanah kelahiran Andrea. Di suatu sore yang tidak terlalu cerah, kami mengunjungi Tanjung Tinggi, pantai dengan batu-batu besar, pasir putih, dan ombak yang jinak.
Konon, asal batu-batu itu adalah meteor-karena memang tak ada gunung berapi di dekat sana yang bisa diduga memuntahkan bebatuan dari perutnya. Yang jelas, bebatuan itu membuat pantai panjang ini tersekat-sekat, seakan-akan ada bilik-bilik kecil yang tercipta sepanjang pantai. Jika duduk di sana, kita bisa terlindung dari pandangan orang lain.
Naik perahu sejenak, kita akan sampai di Pulau Lengkuas, tempat mercusuar tua berwarna putih berdiri. Dari pantai di depan mercusuar itu, kita bisa berenang pada saat pasang atau berjalan pada saat surut ke pulau kecil di depannya. Saat malam turun, banyak warung teh tarik di Belitung, yang masih tradisional.
Desa Sekaroh, Nusa Tenggara Barat
Tangsi di Selatan Rinjani
Dulu terkenal dengan nama Pantai Tangsi karena pernah dijadikan benteng tentara Jepang pada Perang Dunia II. Jejak pendudukan militer itu terlihat dari terowongan dan sisa meriam yang mengarah ke laut lepas.
Pantai ini belakangan berubah nama menjadi Pantai Pink, merujuk pada warna pasir yang membentang setengah kilometer. Warnanya kian mencolok, apalagi saat tersapu ombak dan matahari.
Warna pasir sebenarnya putih. Pink berasal dari pantulan terumbu karang. Pantai yang bersisian dengan Samudra Indonesia ini aman untuk berenang karena ombaknya tenang. Saat hari cerah, Gunung Rinjani terlihat di utara.
Pantai Pink terletak di Desa Sekaroh, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Ini merupakan bagian dari Pantai Tanjung Ringgit, yang bisa dijangkau dalam waktu dua jam dengan kendaraan bermotor dari Kota Mataram.
Tak jauh dari pantai ini, ada Pantai Temeak dan Pantai Colong. Keduanya dipisahkan bukit karang. Jika ingin mengunjungi kedua pantai itu, Anda cukup mendaki tebing-tebing batu di bukit tersebut.
Tarif penginapan sekitar Rp 1,7 juta per malam. Itu pun baru bisa ditemui dalam jarak empat kilometer dari pantai. Jadi sebaiknya bawa tenda dan perbekalan kemping.
Cubadak
ParadisoItaliano
SUDAH 21 tahun Gian Luigi Casalegno mengelola Cubadak Paradiso Village. Di pulau seluas 40 kilometer persegi yang berada di pesisir selatan Sumatera Barat ini, pria 68 tahun asal Italia itu mendirikan 15 bungalo. Tempat ini disediakan untuk tetirah menikmati pulau dan pantai yang sunyi. Agar pulau tak hiruk, Luigi membatasi turis maksimal 35 orang per hari.
Pulau di Samudra Hindia ini berada di teluk sehingga angin laut lepas tak langsung menerpa. Lautnya tenang dan jernih. Karang dan ikan bisa terlihat dari atas perahu. Jika bosan berenang atau menyelam di 16 spot yang tersebar di sekitar penginapan, pengunjung bisa mendaki gunung terjal berhutan tropis di belakang cottage. Dari puncak gunung, laut dan pulau adalah surga tak tepermanai.
Cubadak dicapai melalui Pelabuhan Corocok, 70 kilometer dari Bandar Udara Minangkabau di Padang Pariaman. Dari Corocok, kita naik kapal motor yang disediakan Luigi selama 15 menit. Menurut Luigi, atau dikenal dengan nama beken Nani, turis Indonesia mulai akrab dengan Cubadak setelah pelancong Eropa mendominasi kamar-kamarnya. Tarif per kamar Rp 1 juta per orang per malam. Harga itu sudah mencakup pemakaian alat snorkeling plus tiga kali makan menu khas Italia.
Pantai Koka, Nusa Tenggara Timur
Tasik di lingkung bukit
Sekitar 45 kilometer dari ibu kota Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur, ada Pantai Koka. Cara paling gampang mencapainya adalah dengan menyewa mobil dan menyetir dari Bandar Udara Frans Seda di Maumere.
Dulu melalui Jalan Wolowiro menuju Pantai Koka perlu jalan kaki dua kilometer karena tak cukup untuk kendaraan. Berkat Pater Theodorus Yoseph Visser, jalur setapak itu dilebarkan dan diaspal, sehingga kendaraan roda empat bisa sampai ke bibir pantai.
Dilindungi perbukitan, Pantai Koka betul-betul tersembunyi dari keramaian. Di pesisirnya tak ada pedagang cendera mata, tiada warung, apalagi restoran, juga penginapan. Datanglah pada tengah pekan. Hanya Anda, pasir putih, dan air tasik yang bening.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo