Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Terkenang Malari

22 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selamat tinggal, SBY,” kata Hariman Siregar dengan lantang sambil melambaikan tangan ke arah Istana Merdeka. Seruan itu menyulut sorak-sorai massa peserta aksi Pawai Rakyat Cabut Mandat. Mereka berkumpul di seberang Istana di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin pekan lalu. Terik matahari menembus ubun-ubun tapi massa tetap giat melambaikan bendera, spanduk, dan poster seraya berpekik: ”Hidup rakyat!”

Di atas sebuah truk berpengeras suara, duduklah Hariman. Wajahnya bungah. Aktivis kawakan itu duduk berimpitan dengan sederet tokoh. Penyair W.S. Rendra, aktivis Julius Usman, Eggy Sudjana, dan Moeslim Abdurrahman, sampai Ketua Partai Rakyat Demokratik, Dita Indah Sari.

Setelah yel-yel mereda, Hariman berkata pendek, ”Ayo, kita jalan.” Dan iring-iringan 200 mobil yang membawa massa aksi beringsut menuju Bundaran Hotel Indonesia.

Setelah lebih dari tiga dekade, kemampuan Hariman mengorganisasi unjuk rasa ternyata masih mumpuni. Mantan Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia ini pertama kali membetot perhatian publik saat memimpin unjuk rasa menggoyang Presiden Soeharto pada 15 Januari 1974. Aksi yang dikenal sebagai peristiwa Malapetaka 15 Januari alias Malari itu berakhir rusuh. Jakarta terbakar. Hariman dan sejumlah mahasiswa lain dituntut bertanggung jawab dan dipenjara.

Aksi Malari jilid dua pekan lalu itu membuat pihak Istana kelabakan. Terlebih karena, seperti pengakuan Hariman, pawai yang dirancangnya direstui sejumlah purnawirawan jenderal. Kepada Tempo pekan lalu, dia tak menampik ada unsur nostalgia dalam sepak terjangnya 15 Januari lalu. ”Saya jadi merasa muda lagi,” kata pendiri Indonesian Democracy Monitor (Indemo) ini sembari terbahak.

Embrio aksi ini berawal dari diskusi rutin di kantor Indemo, Jalan Lautze, Pasar Baru, Jakarta Pusat, sekitar dua bulan lalu. ”Kesimpulannya selalu sama: ada masalah dalam kepemimpinan nasional,” kata Hariman.

Ide itu menggelinding dan melibatkan semakin banyak orang. Puncaknya, sebuah diskusi publik yang diadakan Hariman dan mantan wakil presiden Try Sutrisno di Gedung Cawang Kencana, akhir November 2005. Semua yang hadir ketika itu—lagi-lagi menurut Hariman—mendukung gagasan pencabutan mandat pasangan SBY-JK. Try ketika itu hadir sebagai bagian dari Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya (GKIR).

”Baru setelah isu mengerucut, rapat-rapat persiapan aksi dimulai,” kata koordinator aksi Pawai Rakyat, Yoseph Rizal, yang juga pengurus In-demo. Sejak awal, kata dia, aksi didesain bagai karnaval. Ada marching band sampai barongsai. Supaya makin berwarna, kelompok punk dan waria pun diundang. ”Kami tidak ingin ada kesan sangar,” kata Yoseph. Karena itu, jauh-jauh hari, mereka melapor ke polisi.

Seminggu sebelum hari H, menurut Yoseph, sudah ada 50 elemen yang siap bergabung. ”Masing-masing sanggup membawa 100-200 orang,” katanya. Rata-rata mereka berasal dari organisasi yang biasa turun ke jalan, seperti Forum Kota (Forkot), Partai Rakyat Demokratik (PRD), Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem), dan Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred). Tapi ada juga elemen macam Partai Syarikat Islam pimpinan Mohamad Edwin Irmansyah. ”Dari kiri sampai kanan, lengkap,” kata Yoseph.

Ketua Umum PRD, Dita Indah Sari, mengakui adanya keragaman kelompok di belakang aksi itu. Menurut Dita, selama mereka sepakat dengan isu besarnya, yakni pencabutan mandat, siapa saja boleh bergabung. Alhasil, banyak penumpang gelap yang sekadar titip nama atau mencoba mencuri start dengan gagasan serupa. Isu Dewan Revolusi, misalnya. ”Saya tidak tahu dari mana asalnya,” ujar Dita dengan nada heran. Jenderal (Purn.) Tyasno Sudarto, yang disebut-sebut sebagai ketua dewan itu, juga tak pernah ikut dalam rapat persiapan.

Hariman sendiri tak ambil pusing. ”Yang penting, warning kami sampai,” katanya.

Wahyu Dhyatmika

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus