Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TENANG-TENANG, kapal tidak apa-apa....” Kalimat ini berkali-kali diteriakkan sejumlah awal Kapal KM Senopati Nusantara. Tapi peringatan itu tak bisa menenteramkan hati lebih dari 600 penumpang yang berada di perut Senopati. Kapal yang terlihat gagah saat berangkat dari Pelabuhan Kumai, Kalimantan Tengah, itu perlahan-lahan doyong ke kiri. Setelah berkali-kali dihajar gelombang setinggi lima meter, Senopati karam di perairan Mandalika, Jepara.
Saat itu Jumat tengah malam, tiga pekan lalu. Sekitar 200-an penumpang terjebak di dalamnya. “Tenggelamnya cepat. Ketika saya berenang dan naik ke sekoci penyelamat, lalu menengok ke belakang, kapalnya sudah tak terlihat,” ujar Jemma, 65 tahun, salah seorang penumpang Senopati yang selamat, kepada Tempo.
Inilah kecelakaan kapal dengan korban terbesar kedua setelah tragedi Tampomas II pada 1981 yang menyebabkan sekitar 150 penumpang tewas dan 350 orang hilang. Sampai pekan lalu, empat kapal TNI Angkatan Laut masih mencari Senopati. PT Prima Vista, pemilik Senopati Nusantara, menyatakan Senopati tenggelam karena faktor alam.
Tapi, kepada Tempo, sejumlah penumpang Senopati yang selamat menegaskan bahwa mereka tidak percaya dengan alasan faktor alam. “Kapalnya sudah bobrok,” kata Pujiyono, seorang penumpang yang selamat. Menurut pemuda asal Pangkalanbun, Kalimantan Tengah, ini, setiap dihantam gelombang, Senopati mengeluarkan bunyi “krek..., krek”. Sedangkan Jemma menduga kapal ini tenggelam karena kelebihan muatan. “Penumpangnya sekitar 800 orang. Di dek dua dan tiga penumpang tidak bisa berjalan karena penuh orang,” ujarnya.
Selain mengangkut penumpang, Senopati membawa 17 truk dan satu alat berat saat angkat sauh dari Kumai. Sumiyati, seorang penumpang yang juga selamat, menuturkan kepada wartawan mingguan ini bahwa belasan truk dan alat berat bergeser ke dinding kapal saat ombak menghajar Senopati. “Awak kapal sempat meminta penumpang memindahkan kendaraannya supaya kapal kembali stabil,” katanya.
Seburuk itukah kondisi Senopati? Mari kita dengar cerita mantan kepala teknisi PT Prima Vista yang turut merenovasi kendaraan laut ini. “Senopati jauh dari ideal sebagai kapal Ro-Ro (kapal barang sekaligus kapal penumpang) untuk rute jauh,” ujarnya.
Alasan dia, Senopati sejatinya kapal feri dengan nama KM Citra Mandala Bahari yang melayari rute pendek, umpamanya Ketapang-Gilimanuk dan Merak-Bakauheni. “Kapal buatan Jepang itu memang dirancang untuk rute-rute pendek,” dia menjelaskan.
Pada 2001, Citra Mandala dipermak menjadi kapal untuk rute jarak jauh. “Saya ikut dalam renovasi itu,” ujar si kepala teknisi kepada Tempo. Sejumlah perubahan dilakukan. Ruang voit yang biasa berisi air untuk stabilisasi kapal “disulap” menjadi kamar penumpang.
Agar bisa menampung lebih banyak orang, ditambahkanlah dua lantai baru. “Penambahan ruang dan lantai dengan pelat baja yang beratnya berton-ton otomatis menambah beban kapal,” ujarnya. “Setelah selesai, tidak dites apakah kapal sudah memenuhi standar keseimbangan atau belum,” si teknisi melanjutkan.
Tempo kemudian mengontak Saut Gurning, dosen Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, untuk meminta pendapatnya. Saut menduga Senopati tenggelam karena mengabaikan faktor keseimbangan. Kendaraan-kendaraan yang tidak diikat secara benar, menurut Saut, kian membuat Senopati tak stabil. “Dan jelas-jelas mengabaikan keselamatan penumpang,” katanya.
Tapi, tudingan ini ditampik pihak Prima Vista. Kuasa hukum Prima Vista, Candra Motik Yusuf, membantah keras jika Senopati disebut sebagai hasil modifikasi kapal feri. Candra berkukuh bahwa kliennya tidak bisa disalahkan. “Kami juga masih menantikan hasil penyelidikan Komite Nasional Keselamatan Transportasi, “ papar Candra ketika dimintai konfimasi oleh Tempo.
Sampai kini Komite Nasional Keselamatan Transportasi masih menyelidiki penyebab tenggelamnya Senopati. Menurut Ketua Komite, Setio Rahardjo, pihaknya sedang menunggu keterangan Wiratno, nakhoda Senopati. Tapi, “Dia belum bisa diwawancarai karena masih shocked.” Dari mulut Wiratno kelak diharapkan perihal tenggelamnya Senopati bisa terungkap lebih jelas.
Zed Abidin (Surabaya), Wahyu Dhyatmika (Jakarta), Rofiudin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo