Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajah-wajah keriput itu memilih diam saat keluar dari Balai Sudirman di Tebet, Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu. Tanpa tegur sapa atau saling lempar canda, purnawirawan TNI dan Polri langsung menuju ke mobil masing-masing yang telah menunggu di halaman. Beberapa wartawan mencoba mendekati wajah-wajah yang mereka kenal sebagai pejabat beberapa dekade silam itu.
”Apa isi pertemuannya, Pak?” Pertanyaan ini meluncur karena selama tiga jam pertemuan wartawan tidak ada yang boleh mendekati pagar Balai Sudirman. Mantan Gubernur DKI Jakarta periode 1992-1997, Letjen (Purn.) Soerjadi Soedirdja, menjawab: ”Saya tidak berwenang berbicara.” Mantan Ketua MPR/DPR masa bakti 1987-1992, Letjen (Purn.) Kharis Suhud, berkilah: ”Saya sudah pikun kok ditanya-tanya.”
Beberapa menit kemudian, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Laksamana TNI (Purn.) Widodo Adi Sucipto muncul. Menurut dia, pertemuan siang itu untuk membangun komunikasi antara pemerintah dan purnawirawan. Sambil lalu saja Widodo menjawab dan terus melangkah masuk ke mobilnya.
Hanya Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Mayjen (Purn.) Syamsir Siregar yang menyempatkan diri berhenti menjelaskan isi pertemuan. Pertemuan itu, menurut dia, membicarakan isu rencana makar dari Dewan Revolusi yang dibuat para purnawirawan. Dewan Revolusi ini dipimpin Jenderal (Purn.) Tyasno Sudarto, mantan Kepala Staf Angkatan Darat.
Intelijen memperoleh informasi itu sehari sebelumnya dari selebaran yang dibagikan kepada para peserta aksi di Bundaran Hotel Indonesia saat memperingati 32 tahun Malari. Menurut Syamsir, setelah menerima kabar dia langsung menelepon Tyasno untuk mengklarifikasi. ”Kalau memang benar kamu mau makar, saya perintahkan polisi untuk menangkap kamu!” kata Syamsir mengulang percakapannya dengan Tyasno. Namun Tyasno berkilah, bahwa namanya hanya dimanfaatkan orang lain.
Pernyataan Syamsir segera muncul di berbagai media. Para purnawirawan kaget. Seorang mantan perwira tinggi TNI yang hadir dalam pertemuan kepada Tempo menyebut Syamsir terlalu berlebihan. ”Syamsir memang lebih senior, tetapi Tyasno punya empat bintang, sementara Syamsir hanya Mayjen (dua bintang),” kata satu sumber. Maka, tidak wajar Syamsir mengancam, bahkan menyebut Tyasno dengan ”kamu”.
Syamsir sosok yang kerap dibicarakan, terutama saat isu reshuffle Maret nanti muncul. Sejak Juli 2006, presiden memang telah berniat mengganti Kepala BIN—rencana yang belum terwujud. Nama Makarim Wibisono muncul, tapi kabarnya kalangan militer tak setuju dengan latar belakang sipilnya.
Kini, Syamsir—bersama Widodo AS—tiba-tiba muncul dalam acara silaturahmi itu. Hadirin pun mencoba membaca sinyal di balik kehadiran dua pejabat pemerintah itu. Sebuah move politik? ”Mereka memang purnawirawan juga, tetapi tidak pernah datang dalam acara beginian, kok siang itu tiba-tiba muncul,” kata sumber ini.
Suasana mulai tidak nyaman ketika Letjen (Purn.) Saiful Sulun sebagai pengundang menyampaikan sambutan. Dia menyinggung soal yang akan dibahas, di antaranya isu makar Dewan Revolusi yang digalang Jenderal (Purn.) Tyasno Sudarto, deklarasi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang didirikan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn.) Wiranto, dan langkah Try Sutrisno yang getol mengkritik kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Para tamu undangan yang datang langsung paham, pemerintah sedang berupaya mengorek keterangan dari para purnawirawan yang kritis. Tyasno memastikan dirinya tidak terlibat dalam Dewan Revolusi. Wiranto yang tidak hadir diwakili Letjen (Purn.) Fachrul Razy dan Letjen (Purn.) Suaedy Marasabesy. Menurut Fachrul, Hanura didirikan sebagai kendaraan politik bagi Wiranto. ”Namun, jika Presiden declining (mundur), tidak tertutup kemungkinan kita sudah siap dengan tokoh alternatifnya,” kata Fachrul.
Nah, soal seringnya kritik kepada pemerintah, Try Sutrisno mengaku hanya menyampaikan saran ke DPR melalui ketuanya, Agung Laksono. Dia mengingatkan tentang kehidupan berbangsa yang sangat memprihatinkan, di antaranya tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, serta mahalnya harga kebutuhan bahan pokok. Tidak ada maksud untuk menggulingkan duet Yudhoyono-Kalla. Saran itu disampaikan Try Sutrisno secara terbuka, Desember lalu. Saat itu Try datang bersama sejumlah tokoh yang bergabung dalam Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya (GKIR).
GKIR yang dimaklumatkan awal tahun lalu sering berkumpul bersama mantan presiden Megawati Soekarnoputri dan Abdurrahman Wahid. Selain itu hadir pula politisi Akbar Tandjung dan para aktivis seperti Hariman Siregar, Muslim Abdurahman, dan Adnan Buyung Nasution. Kedekatan Try dengan Hariman membuat aksi peringatan Malari yang digalang Hariman ikut menyeret nama mantan wakil presiden ini. Sayang, Try menolak memberi keterangan tentang isi pertemuan di Balai Sudirman itu. ”Kamu tanya saja ke panitianya,” katanya ketika ditemui Eduardus Dewanto dari Tempo.
Sementara itu, Hariman melihat sikap pemerintah terlalu berlebihan dalam menanggapi aksi unjuk rasa yang digalangnya. ”Pemerintah terkesan paranoid. Kita kan rakyat. Masak, ngomong gini saja nggak boleh,” katanya. Unjuk rasa hanyalah salah satu dari cara menyalurkan aspirasi dalam sistem demokrasi. Hariman mengaku heran dengan informasi yang menyebut ada selebaran Dewan Revolusi yang dibagikan kepada para peserta aksi. ”Nggak ada selebaran Dewan Revolusi atau apalah namanya yang dibagikan,” kata Hariman.
Tempo sendiri saat meliput aksi tersebut memang tidak menemukan selebaran yang dimaksud Kepala BIN. Kata Dewan Revolusi, menurut Tyasno, muncul ketika dia hadir dalam Kongres Rakyat Indonesia di Gedung Joeang, Ahad dua pekan lalu. Saat itu mereka membahas krisis yang melanda bangsa akibat lemahnya kepemimpinan saat ini. Kemudian muncul perdebatan sengit soal perlu-tidaknya membentuk Dewan Revolusi. ”Karena debat panas nyaris adu fisik antara yang menolak dan yang mendukung, saya memutuskan pulang saja,” kata Tyasno.
Malam harinya ada pesan pendek yang mengabarkan Tyasno sudah terpilih menjadi Ketua Dewan Revolusi. ”Saya menolak! Dewan Revolusi itu tidak jelas apa maunya dan masih sebatas ide saja,” katanya. Selain itu dia sudah menjadi Ketua Umum Gerakan Revolusi Nurani sejak Juli tahun lalu. Gerakan ini mendorong munculnya gerakan moral masyarakat untuk mengingatkan presiden mengenai salah kaprahnya proses amendemen UUD 1945.
Soal ancaman Syamsir yang akan menangkapnya, Tyasno mengaku heran. Sehari sebelum pertemuan di Balai Sudirman, Syamsir mengundangnya ke kantor BIN. Dia sudah menjelaskan semuanya dan masalah dianggap selesai. Waktu itu Tyasno sempat menanyakan selebaran yang dimaksud Syamsir, tetapi Syamsir tak bisa menunjukkan. ”Lho, kok intel begitu. Kan ditelusuri selebarannya, baru bertanya,” kata Tyasno.
Menyangka masalah sudah selesai, Tyasno terkejut ketika Syamsir seusai pertemuan di Balai Sudirman menyebut akan menangkapnya jika terbukti makar. ”Saya heran, ini siapa yang bermain?” katanya. Dia melihat situasi saat ini persis ketika masa menjelang Presiden Wahid jatuh. Saat itu banyak isu beredar, di antaranya menyebut pertemuan para jenderal di Jalan Lautze, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Sejumlah purnawirawan kemudian meminta Tyasno menjelaskan permasalahan itu, Jumat pekan lalu.
Seorang purnawirawan TNI yang ikut mendengar penjelasan Tyasno melihat ini upaya pemerintah membungkam suara para sesepuh dan menjadikan mereka sebagai kambing hitam. Padahal, menurut dia, kekesalan para purnawirawan memuncak karena Presiden tidak lagi mau mendengar masukan mereka tentang kondisi bangsa yang mereka sebut sedang mengalami krisis. Hal ini karena Presiden tidak lagi menyisihkan waktu untuk bertemu para seniornya. Padahal, sebelumnya, presiden berjanji akan bertemu dengan mereka secara berkala.
Ketua Umum Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat Letjen (Purn.) Soeryadi berencana membahas masalah ini bersama anggotanya, Senin pekan ini. ”Kami ini orang-orang tua, apanya yang mau diredam?” katanya. Dia menilai sikap pemerintah terlalu berlebihan dalam melihat gerakan moral para purnawirawan.
Juru bicara presiden, Andi Alfian Mallarangeng, mengakui Kepala Negara menitipkan beberapa pertanyaan menjelang pertemuan di Balai Sudirman. Salah satunya soal isu Dewan Revolusi. ”Beliau ingin bertanya, kok ada yang namanya begini. Ada apa sebenarnya?” katanya. Situasi saat ini membuat Presiden Yudhoyono prihatin, sebab yang terlibat adalah tokoh-tokoh yang mestinya memberi contoh untuk generasi muda cara menghormati pilihan rakyat dalam pemilu dan menaati aturan hukum dan konstitusi. ”Kalau gerakan ini terus menempuh jalur-jalur yang tidak konstitusional untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah, tentu saja namanya makar,” katanya.
Agung Rulianto, Wahyu Dhyatmika, Raden Rahmadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo