Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Garis nasib di panggung putih

Secara gemilang rendra mementaskan oidipus karya sophocles di balai sidang senayan. pementasan yang ke-3 sejak th 1964, tapi bukan pengulangan. kisah yang mengingatkan batas upaya manusia dan takdir.

1 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OIDIPUS Sang Raja tampil dengan rumbai-rumbai hitam, dengan topeng perkasa. Sejumlah penduduk Kota Thebes hadir dengan gundah gulana. Pendeta Zeus mewartakan negeri dalam malapetaka. Wabah merajalela. Lalu pelan-pelan tragedi Sophocles semakin menjelas di Balai Sidang Senayan, Jakarta, akhir pekan lalu. Thebes, begitu Dewa Apolo mengatakan kepada Creon utusan Oidipus, telah ternoda. Adapun sebabnya, pembunuh Laius, raja sebelum Oidipus datang, sampai kini belum dihukum. Dan siapa pun sudah tahu, siapa sebenarnya pembunuh sang raja itu. Toh, begitu mencekam gerak dan suara Rendra sebagai Oidipus ketika mencoba menyelidik siapa pembunuh itu. Tatkala ia diberi tahu bahwa si durjana berada di Thebes, Oidipus murka bukan main. Seolah topeng bikinan senirupawan Danarto itu hidup, menggetarkan kemurkaan. Oidipus menuduh Creon berkomplot untuk melakukan kudeta. Tiga setengah jam penonton yang hampir memenuhi Balai Sidang larut dengan pergulatan nasib, terombang-ambing di antara kemustahilan dan yang mungkin. Adalah Rendra, kini 52 tahun, tetap boleh bangga sebagai pengatur lakon nan piawai. Tapi itulah, sebagai aktor, si "Burung Merak" memang sangat dominan dibandingkan para pelaku yang lain. Gerak kakinya, tangan, leher, dan dandanannya yang mengingatkan pada gerak-gerak rangda -- topeng religius dalam teater tradisional Bali -- menjadi fokus perhatian. Nasib dan kutukan yang diterima Oidipus memang menggugah Rendra, sudah lama, sejak tahun 1960-an, ketika ia masih berusia 20-an tahun. Pada 1964, ketika "politik menjadi panglima", pertama kali sutradara Bengkel Teater ini meniupkan tragedi Yunani itu di panggung teater, di Yogyakarta. Tentu saja, bak si Oidipus, Rendra pun dikutuk oleh para budayawan dan seniman yang pro-komunis. Tapi justru karena itu, menurut Rendra sendiri, peristiwa itu "meneguhkan rohani". Nasib dan kemerdekaan diri seperti dihubungkan benang merah. Antara Oidipus, yang murka ingin membalas dendam atas kematian Laius, dan kenyataan bahwa si pembunuh itu ternyata dirinya sendiri adalah semacam gugatan kepada Yang Menciptakan Hidup. Tampaknya, pengalaman beroidipus itu memang sangat mengesan bagi Rendra. Maka, lima tahun kemudian, pada 1969, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, ia kembali mementaskan naskah itu, dengan topeng. Jika kini, selama lima hari (24 sampai dengan 28 Juli) dengan sembilan kali pertunjukan, Oidipus juga bertopeng, kata Rendra, bukanlah pengulangan yang lama. Topengnya sekarang, katanya, lebih jauh masuk ke dalam batin. Entah apa maksudnya, di panggung Balai Sidang yang terasa adalah ini: topeng itu dari awal sampai akhir tak berubah, seolah mewakili garis nasib sementara jalannya cerita adalah cermin kemerdekaan para tokohnya. Sementara itu, secara audio-visual yang berlangsung di panggung memang sangat menyenangkan. Dialog-dialog puitis (tepatnya berpantun) menjadikan Oidipus kali ini sangat kaya dengan idiom kedaerahan. Ada topeng yang didandani dan digerakkan dengan idiom teater tradisional Bali, ada kecapi dan seruling yang mengesankan diambil dari budaya Sunda. Ada pula mandau dari Kalimantan. Walhasil, meski ini kisah Yunani Purba terasa kita-kita inilah yang bermain di panggung itu. Dari istrinya, Ratu Iocasta, akhirnya Oidipus tahu bagaimana Laius tewas: di simpang tiga Desa Phocis, dibunuh oleh sekawanan penyamun. Suatu kebimbangan merasuk dalam tubuhnya. Di simpang itulah ia pernah berkelahi dan membunuh. Kebimbangan itu tak jauh berkembang. Suatu hari datang utusan dari Corintha mengabarkan bahwa rajanya, Polybus, meninggal dunia. Oidipus bertanya, kenapa ayahnya, ya Raja Polybus itu, tewas. Begitu dijawab lantaran sakit, Oidipus melonjak girang. Ia seperti terbebas dari tekanan batin. Dulu, sebelum ia mengembara dan membunuh para jagoan di simpang tiga Phocis, ia sempat bertanya kapada Orakel di Delphi, siapa dirinya. Dan jawaban yang ia peroleh waktu itu sungguh mengerikan: "Kau adalah orang yang akan membunuh bapakmu dan mengawini ibumu." Raja Polybus mati karena sakit, itu berarti Orakel Delphi cuma omong kosong. Ia terbebas dari nasib, dari takdir yang mengerikan. Dan itu sebabnya ia menolak berziarah ke Corintha. Bukannya ia tak mencintai Polybus, tapi ia mencoba menghindari nasib kedua, yakni mengawini ibunya sendiri. Bukankah Ratu Meropee, istri Polybus, ibu Oidipus, kini menjanda? Tapi bukan cuma garis nasib kedua, juga garis nasib pertama, tak bisa digeser. Orang Corintha itu tertawa, dan menjelaskan bahwa Oidipus bukan putra kandung Raja Polybus dan Ratu Meropee. Maka, remang-remang tragedi, yang sejak awal telah tercium, pelan-pelan menguat, saat itu jadi jelas. Oidipus sampai ke Corintha ketika bayi, diserahkan oleh seorang gembala dari Thebes. Dan semuanya jadi jelas. Oidipus adalah putra Laius dan Iocasta. Panggung dengan warna putih, dan topeng-topeng warna-warni dengan berbagai watak yang bergerak-gerak itu, tiba-tiba bagaikan dunia dan makhluk-makhluk celaka. Hening sejenak. Dan lalu, meletuslah kepahitan yang adipahit: "Celaka, orang celaka. Begitulah kusebut namamu, takkan lagi kusebut namamu yang lain, sejak sekarang dan untuk selamanya," seru Iacosta dan ia pun berlari ke balik panggung. Ibu siapakah yang tak mencintai anaknya? Tapi bagaimana perasaannya bila kemudian tahu bahwa suami yang telah memberinya empat anak ternyata adalah anak sulungnya yang hilang? Oidipus memang contoh skenario nasib yang paling hitam. Lihatlah, Raja, yang pada awal pertunjukan itu hadir dengan gayanya, dengan perkasa, kini ia loyo, dibanting takdir. Keheningan, yang sejenak dipecahkan oleh ratapan Iocasta, kemudian justru sangat terasa dingin, ketika Oidipus menusuk kedua matanya sendiri. Adalah Rendra, aktor dari ujung kaki sampai rambut, dengan suara menggores memberitakan kematian Iocasta kepada kedua putrinya, Antigone dan Ismene. "Kau anakku, kau juga saudara kandungku, ibumu telah tiada, ibuku juga...." Suara serak, rentangan tangan tak berdaya, dalam konteks cerita yang gelap, apa pun, seumpama bukan kata-kata itu yang keluar, akan tetap terasa pahit. Musik, apalagi, memang telah dirancang mengepung panggung dengan getaran nan getir. Bila ada yang harus dikritik, adalah panggung yang putih polos, yang bila para aktor tak menyuguhkan santapan yang enak buat mata, ternyata melelahkan. Ditambah lagi sinar lampu yang selalu menyala terang, pentas seperti itu memang menuntut kepiawaian para aktor. Dan tak semua pemain dalam lakon tragedi ini sejago Rendra sendiri, atau Iwan Burnani Toni sebagai Penujum Teiresias, atau Adi Kurdi sebagai Bayangkara Raja -- yang menyuguhkan seni akting yang kini sudah jarang bisa ditonton. Adapun kehadiran bintang Zoraya Perucha sebagai Iocasta sebenarnya tak terlalu buruk seumpama tak harus berdialog. Suara bintang yang biasa main dalam film ini terasa datar, kurang memberikan makna pada kata-kata. Tapi apa pun yang terjadi, pementasan dengan biaya, konon, lebih dari Rp 200 juta ini, memang berharga: ia mengingatkan, sekali lagi, antara batas upaya manusia dan garis nasib yang tetap misteri. Putu Setia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus