Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Halaman rumah milik Heddi M. Hilmi berubah menjadi bengkel dadakan. Tang, obeng, kabel, pipa paralon, dan peralatan lainnya berserakan di lantai. Dua remaja berseragam sekolah, Selasa pekan lalu, sibuk merangkai benda itu menjadi antena. ”Ini inovasi kami yang terbaru,” kata Heddi sambil menyambungkan antena ke komputer dengan kabel koaksial.
Antena itu memang bakal menggantikan kabel yang sejak lima tahun lalu berseliweran di atap permukiman RT 05/RW 13, Desa Jatiendah, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung. Antena dari pipa paralon ini diarahkan ke dua antena parabola yang nangkring di rumah Ikar, salah seorang warga. Rupanya, inovasi yang dimaksud Heddi adalah jaringan Internet nirkabel untuk 30 rumah di wilayah tersebut.
Kreativitas warga semacam itulah yang menambat hati pejabat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Dua pekan lalu, lembaga ini mempercayai warga Jatiendah mengelola alat pengukur curah hujan yang bisa dipantau seketika atau real time. ”Karena warga di sini sudah tak asing lagi dengan jaringan Internet,” kata Edi Tanoe, peneliti Balai Pengembangan Instrumentasi LIPI.
Dengan alat tersebut, warga dan peneliti bisa mengetahui curah hujan yang terjadi di Cilengkrang dan wilayah dalam radius 15 kilometer saat itu juga melalui situs www.rt-net-kapelima.com. Kapelima merupakan singkatan dari Karang Pasundan V, nama jalan di RT 05, RW 13. Warga yang sudah mengenal Internet lima tahun lalu memang membuat situs web. Dengan bantuan Politeknik Pos Bandung, di situs tersebut terdapat grafik data curah hujan dalam interval hitungan jam, hari, hingga bulan.
Peralatan pengukur curah hujan buatan Jatiendah memang terbilang sederhana. Cuma ada tiga bagian besar, yakni sensor curah hujan, modul interface, dan sistem pemantauan data hujan berbasis IGOS (Indonesia Go Open Sources). Sensornya berbentuk tabung setinggi 60 sentimeter dengan diameter 12 inci. Bagian atasnya dibiarkan menghadap langit dan berbentuk cekung untuk menampung air hujan. Di bagian dasarnya dipasang saringan dengan diametar 4 inci.
Air hujan bakal memenuhi cawan berjungkit di bagian dasar tabung. Jika penuh, berat air akan membuat cawan menjungkit ke bawah dan memicu penghitungan. Satu kali jungkitan setara dengan hitungan 1 milimeter curah hujan. Data jungkitan ini kemudian diolah dengan peralatan mikrokontroler serta peranti lunak yang dikembangkan LIPI.
Perangkat sensor tersebut dipasang di halaman belakang kantor Kecamatan Cilengkrang, yang jaraknya satu kilometer dari antena parabola di atas rumah Ikar. Antena ini menjadi access point/wireless router untuk koneksi Internet warga yang memanfaatkan layanan Speedy milik Telkom. Mereka sengaja memasang alat tersebut di kantor kecamatan agar aman. ”Ada yang jaga 24 jam,” kata Heddi. Kantor kecamatan memang ikut menikmati akses Internet yang dikembangkan komunitas warga.
Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan Instrumentasi LIPI yang merancang sensor penghitung curah hujan. Adapun peneliti dari Pusat Penelitian Informatika LIPI mengembangkan peralatan interface yang menghubungkan sensor dengan komputer sekaligus merampungkan peranti lunak aplikasi berbasis open source seperti Java dan sistem operasi IGOS. Komputer menyimpan data hasil penghitungan sekaligus mengunggah (upload) data tersebut agar bisa diakses lewat situs yang dikelola masyarakat.
Setiap menit sekali data hasil pencatatan curah hujan yang disimpan komputer yang ada di kantor kecamatan dikirim via jaringan Internet menuju komputer milik Heddi. Warga mempercayakan Heddi sebagai penjaga gawang (admin) jaringan akses Internet. Secara otomatis, dengan peranti lunak yang dikembangkan LIPI, pencatatan curah hujan itu bisa langsung dapat dilihat di situs warga.
Sensor ini mewakili data curah hujan yang melingkupi luas areal hingga radius 15 kilometer. Menurut Edi, ongkos membuat sensor berikut peralatan interface relatif murah. ”Sekitar Rp 10 juta,” ujarnya. Pemeliharaannya juga gampang. Warga tinggal membersihkan bagian atasnya dari kotoran seperti daun jatuh atau membersihkan cawan penjungkit dari debu pada musim kemarau.
Edi mengakui, peralatan itu belum bisa menghitung curah hujan untuk satu wilayah yang luas. Idealnya, katanya, setiap kecamatan atau jarak 15 kilometer di Kota Bandung terpasang alat serupa. Misalnya sekian milimiter di satu titik, kemudian sekian milimeter di titik lain. ”Sehingga bisa diakumulasi berapa total curah hujan,” katanya. Maklum, pola curah hujan suatu wilayah tak merata.
Dari segi teknologi, tak ada yang baru dari alat pendeteksi curah hujan itu. ”Kelebihannya, alat ini bisa diakses publik secara real time dan membangun sistem peringatan dini banjir,” ucap Edi. Memang, jika sensor dipasang di daerah hulu sungai, warga di hilir langsung mengetahui curah hujan yang terjadi dan bahaya yang bakal mengancam. Tak hanya itu, kata Edi, alat ini dapat dimanfaatkan Dinas Pertanian untuk memutuskan apakah wilayahnya mulai masuk masa bercocok tanam atau belum.
Sesungguhnya, perangkat pengukur curah hujan sudah digunakan beberapa balai di jajaran Departemen Pekerjaan Umum. Misalnya Otorita PLTA Cirata, Balai Besar Wilayah Sungai Brantas, Ciliwung, dan Cisadane. Alat itu tersambung ke jaringan komputer di kantor pusat balai. ”Data curah hujan dikirim melalui frekuensi radio,” kata Teguh Triono, staf Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane.
Di alur Sungai Ciliwung, balai ini meletakkan alat pengukur curah hujan berbentuk tabung di Cilember (Bogor), Cibinong, dan Pintu Air Manggarai (Jakarta Selatan). Di sepanjang Sungai Cisadane, alat tersebut dipasang di kawasan Batu Belah (Bogor) dan Bendung Pasar Baru (Tangerang). Data curah hujan yang terjadi di wilayah tersebut langsung terpantau di komputer di kantor balai di kawasan Cawang, Jakarta Timur, dan di Posko Banjir milik Pemerintah Provinsi Jakarta.
Balai ini juga memasang peralatan yang mengukur ketinggian muka air sungai yang datanya bisa dilihat saat itu juga di komputer kantor pusat balai. Alat ini dipasang di Bendung Katulampa (Bogor), Depok, Cawang, pintu air Manggarai, Batu Belah, Serpong, dan pintu air Pasar Baru Tangerang. ”Kami bisa memprediksi kedatangan banjir di Jakarta dan Tangerang,” ujar Teguh. Untuk sampai ke Depok, air membutuhkan waktu 3 sampai 4 jam dari Katulampa. Lalu dari Depok ke pintu air Manggarai 8-10 jam.
Jika ketinggian air di Katulampa 140 sentimeter, di Depok mencapai 350 sentimeter dan di Manggarai 830 sentimeter. ”Biasanya permukiman sepanjang Sungai Ciliwung sejak Kalibata sampai Kampung Melayu terendam air,” kata Teguh. Selama ini warga di wilayah itu selalu menelepon kantor balai untuk mengetahui ketinggian air di Katulampa. Pemerintah Jakarta, ujarnya, juga punya waktu sekitar sepuluh jam untuk memberi tahu warga agar bersiap-siap menghadapi banjir kiriman.
Untung Widyanto, Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo