Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kraaa…k!”. Bunyi keras dari besi yang patah menggantung lama di udara. Api memercik seperti nyala kembang api. Dalam hitungan detik, gerbong keempat dari rangkaian 12 gerbong kereta itu terlepas. Di bawahnya, air Kali Puger mengalir tenang.
Sekitar tiga menit penumpang di gerbong itu seperti dikocok, ditingkahi bunyi besi beradu. Lalu gerbong terjun ke sungai, tujuh meter di bawah jembatan. ”Awalnya semua penumpang terdiam. Baru setelah jatuh, terdengar tangisan dan teriakan minta tolong,” kata Daliman, 55 tahun, warga Kondosari, Sukoharjo, yang berada di gerbong keempat.
Lepas tengah malam itu, Selasa pekan lalu, kereta api ekonomi Senja Bengawan jurusan Solo-Jakarta tercebur ke Kali Puger di Desa Rancamaya, Banyumas, Jawa Tengah. Lima penumpang tewas, 210 penumpang cedera berat dan ringan.
Petaka di Puger terjadi setelah kereta lepas dari stasiun Purwokerto dalam perjalanan menuju Jakarta. Lokomotif waktu itu tengah menarik 12 gerbong. Dua gerbong paling belakang ditambahkan di stasiun Kroya. Kereta dijejali sekitar 1.800 penumpang, dari kapasitas maksimal 1.300.
Sebelum Purwokerto pun sebenarnya kereta sudah tidak beres. Jumanto, 22 tahun, penumpang di gerbong empat, bahkan sudah mendengar bunyi krak sebelum kereta mampir di stasiun Purwokerto. Sekitar 300-400 meter sebelum jembatan Puger, kereta berhenti, lalu maju-mundur seperti tak kuat berjalan. Ternyata kereta kembali maju. ”Tetapi saya (di gerbong empat) merasakan gerbong bergoyang-goyang tidak wajar. Lalu terdengar bunyi sambungan kereta lepas dan terlihat percikan api,” katanya.
Kepala Humas PT Kereta Api Purwokerto, Supriyadi, menolak jika dikatakan Bengawan sudah terlihat tak beres sejak sebelum stasiun Purwokerto. Bahkan berhentinya Bengawan sebelum Puger itu normal saja. ”Itu biasanya ancang-ancang ketika kereta memasuki jalur menanjak. Saya kira kereta ini juga melakukan hal itu,” ujarnya.
Direktur Jenderal Perkeretaapian Departemen Perhubungan, Soemino Eko Saputro, bahkan terheran-heran kecelakaan bisa terjadi di ruas ini. Jalan kereta di lokasi itu dalam kondisi bagus. Semua bantalannya sudah diganti dengan beton, drainase sip, dan landasannya sudah dari batu. Rel yang digunakan juga berukuran besar, yakni R42 alias seberat 42 kilogram per meternya. Kereta Bengawan juga laik jalan, ”Karena, kalau tidak laik, dilarang beroperasi,” kata mantan Direktur Utama PT Kereta Api ini.
Namun, hasil penyelidikan Komite Nasional Keselamatan Transportasi berkata lain. Komite menemukan kecelakaan bersumber pada sarana dan prasarana. ”Pada gerbong dan trek kereta,” kata Setio Rahardjo, Ketua Komite, Rabu pekan lalu. Namun ia menolak memerinci lebih jauh penyebab kecelakaan itu. ”Hasilnya belum final. Lagi pula itu sangat teknis,” kata mantan perwira Angkatan Laut ini.
Namun, ahli kereta api Arsyad Siregar melihat kecelakaan tidak diakibatkan oleh sebab tunggal. ”Lumpur naik ke permukaan. Ini mengurangi kekuatan landasan.” Naiknya lumpur alias mud pumping terjadi perlahan-lahan karena berat kereta. Arsyad juga melihat besi pengikat sambungan rel juga patah, padahal kereta harus mendaki sambil menikung. ”Ini membuat gerbong yang berat miring. Tapi ini dugaan saja,” ujarnya.
Arsyad juga membuka kemungkinan lain: roda yang buruk. ”Kemungkinan ini bisa terjadi untuk satu di antara seribu kali kereta melintas,” tutur mantan pejabat teknik di PT Kereta Api itu.
Dan pada pangkal itu semua, terdapat pemeliharaan jalan dan kereta yang lemah. Dana untuk itu tak pernah cukup. ”Kita hanya menunggu waktu kecelakaan terjadi,” kata Achmad Kuntjoro, Direktur Keuangan PT KA, kepada Tempo (lihat: Celaka Sudah Biasa). Duit perusahaan habis untuk, antara lain, kewajiban menyelenggarakan pengangkutan massal atau kelas ekonomi, yang harga tiketnya ditetapkan pemerintah dan nilainya berada di bawah ongkos operasional.
Pemerintah sebenarnya menyanggupi penggantian selisih biaya itu dalam bentuk subsidi yang dikenal dengan sebutan PSO (passengers service obligation). ”Namun, jumlahnya tak pernah dibayar sesuai dengan kewajiban,” kata Achmad. Mengacu pada rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan, kekurangannya dijadikan utang pemerintah pada perusahaan. Utang PSO pemerintah itu sampai tahun 2005, ujar Achmad, sudah mencapai Rp 1,6 triliun.
Perusahaan juga harus mengeluarkan biaya perawatan jalan serta perangkatnya alias IMO (infrastructure maintenance and operation). Kewajiban pemerintah itu akhirnya dibebankan kepada perusahaan. Namun, biaya IMO bukan utang pemerintah, karena nilainya sama dengan kewajiban perusahaan sepur itu membayar sewa pemakaian sarana dan prasarana tersebut kepada pemerintah.
Dana yang ada semakin terbatas akibat kewajiban untuk membayar pensiun pegawai kereta api sebelum perubahan statusnya menjadi persero. Jumlahnya mencapai Rp 79,5 miliar per tahun. Total jenderal, nilai ketiga kewajiban itu mencapai Rp 11,8 triliun per tahun.
Jelas saja, perusahaan sepur ini defisit karena pendapatan per tahun hanya Rp 2 triliun. Efek domino pun terjadi, biaya perawatan dan peningkatan kemampuan alat-alat angkutan milik PT Kereta Api tertunda. Dan karena roda harus tetap menggelinding, segala cara akhirnya ditempuh, termasuk dengan teknik kanibal.
Tapi, Menteri Perhubungan Hatta Rajasa menolak jika pemerintah dikatakan menjadi biang keladi buruknya kinerja keuangan PT Kereta Api. Kewajiban PSO, misalnya, dibayarkan dengan persetujuan DPR. ”Kita mengajukan penuh. Kalau hanya disetujui sebagian, mestinya sisanya bukanlah utang pemerintah,” kata Hatta.
Menurut Hatta, perusahaan sepur ini sebenarnya bisa untung jika bersedia memisahkan unit-unit bisnis yang menghasilkan laba, misalnya kereta Jabotabek dan angkutan barang,” kata Hatta. ”Kalau itu dilakukan, mereka bisa lebih profesional.”
Komisi Perhubungan Dewan Perwakilan Rakyat punya resep lain untuk memperbaiki kinerja perkeretaapian. Caranya: hapus ”monopoli” PT Kereta Api. Menurut Abdul Hadi Djamal, anggota Komisi Perhubungan DPR, soal ini akan diatur dalam Undang-Undang Kereta Api yang baru, yang akan menggantikan Undang-Undang Kereta Api tahun 1992. Rencananya, undang-undang ini kelar pada Maret nanti.
Arif A. Kuswardono, Harun Mahbud, Rinny Srihartin
Sepanjang Jalan Mematikan
2001
2 SEPTEMBER Kereta Empu Jaya bertabrakan dengan lokomotif Cirebon Ekspres di Cirebon, Jawa Barat. 39 orang tewas, 62 terluka.
25 OKTOBER Kereta Rangkasbitung-Jakarta menabrak kereta batu bara di Banten akibat rem blong. Tiga orang tewas, 13 luka berat.
26 DESEMBER Kereta Empu Jaya menabrak Gaya Baru Selatan Malam di Brebes, Jawa Tengah, akibat salah sinyal. 23 orang tewas, 45 terluka.
2002
13 JULI Kereta Mutiara Timur anjlok di Pasuruan, Jawa Timur. 36 penumpang terluka, 8 dari 9 gerbong masuk sawah.
9 DESEMBER Kereta Dwipangga anjlok di Kebumen, Jawa Tengah. Tiga orang tewas, beberapa puluh luka-luka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo