Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI ruangan seluas lapangan sepak bola itu tercogok aneka mesin yang tak berhenti berdengung. Di salah satu pojoknya, sebuah pipa berdiameter sebesar paha orang dewasa yang ujung lubangnya menghadap ke bawah menyedot gundukan kapas di sekitarnya. Setelah masuk pipa yang merupakan mulut mesin pemintalan, kapas keluar dalam keadaan terpilin. Melewati mesin berikutnya, pilinan kapas makin kecil hingga akhirnya menjadi benang.
Tak terlihat satu pun orang terlibat dalam proses pemintalan benang tersebut. Di dalam pabrik Divisi Pemintalan PT Sri Rejeki Isman (Sritex) yang terletak di Sukoharjo, Jawa Tengah, itu, Selasa tiga pekan lalu, yang tampak lalu-lalang hanya operator mesin, teknisi, petugas kebersihan, dan petugas pemindah barang. ”Dari proses spinning sampai garmen 15-20 persennya kami memakai teknologi revolusi industri 4.0,” ujar Sekretaris Perusahaan PT Sritex Welly Salam.
Perusahaan tekstil dan garmen yang berdiri pada 1966 ini menjalankan proses produksi, dari pemintalan, penenun-an, hingga pembuatan pakaian jadi atau garmen. Sejak 2015, menurut Welly, Sritex melakukan otomatisasi dalam proses pemintalan benang. Dulu proses tersebut dikerjakan secara manual menggunakan tenaga manusia.
Welly mengatakan mesin-mesin Sritex memiliki kemampuan robotik. Teknologi robotik merupakan salah satu penopang revolusi industri 4.0 selain ”Internet untuk segala” (IoT), kecerdasan buatan (AI), dan cetak digital. Dalam peta jalan yang dibuat Kementerian Perindustrian, industri tekstil dan produk tekstil merupakan satu dari lima sektor utama manufaktur dalam revolusi industri generasi keempat.
Tahun lalu, sektor ini menyumbangkan Rp 150,43 triliun terhadap produk domestik bruto. Pada periode yang sama, ekspor industri tekstil mencapai US$ 12,58 miliar atau sekitar Rp 169,9 triliun dalam kurs akhir 2017. Angka ini naik 6 persen dari tahun sebelumnya. Salah satu produknya adalah seragam militer pesanan dari 30 negara.
Teknologi 4.0 teranyar yang diadopsi Sritex adalah cetak digital. Dengan mesin ini, proses mencetak desain tak lebih dari lima menit. Presiden Direktur Sritex Iwan Setiawan Lukminto mengatakan, sebelum ada mesin tersebut, proses mencetak dikerjakan secara manual hingga enam jam. ”Jadi seperti mesin printer di rumah yang bisa langsung ngeprint cepat halaman satu, dua, dan seterusnya,” ucap Iwan.
Walhasil, kinerja perusahaan pun terdongkrak. Hasil penjualan kotor selama sembilan bulan pertama tahun ini mencapai US$ 763,9 juta atau sekitar Rp 11,12 triliun dalam kurs sekarang. Ini berarti ada peningkatan sebesar 33,41 persen ketimbang periode yang sama pada tahun lalu.
Teknologi 4.0 juga sudah diadopsi PT Pan Brothers. Dalam tiga tahun terakhir, proses pemasangan bulu bebek pada jaket musim dingin yang diproduksi oleh PT Panca Prima Ekabrothers, anak perusahaan PT Pan Brothers, jauh lebih sangkil. Rondang Nauli, Manajer Pabrik PT Pan Brothers dan PT Panca Prima Ekabrothers di Tangerang, Banten, mengatakan pemasangan bulu bebek pada sebuah jaket kini hanya butuh tiga menit. Padahal dulu prosesnya bisa sampai 15 menit. Itu pun dikerjakan oleh lima pekerja.
Tak cuma irit waktu, kualitasnya pun lebih baik. Sebelum ada teknologi itu, kata Rondang, pekerja perlu menimbang dulu bulu bebek yang akan dipasang pada jaket supaya ketebalannya sama. Dengan mesin baru, ketebalan bulu bisa akurat tanpa perlu ditimbang. ”Dulu kita kayak menimbang cabai. Satu-satu kita timbang. Jangan sampai yang satu kempis, yang satu lebih tebal,” ujarnya.
Dalam proses pemotongan bahan, Pan Brothers juga menggunakan teknologi robotik melalui mesin potong otomatis. Dulu proses itu dikerjakan dengan tangan oleh para pekerja. Kini hanya perlu seorang operator untuk mengoperasikan beberapa mesin.
Perusahaan yang menghasilkan produk dari merek Nike, Uniqlo, dan Adidas ini juga mengandalkan teknologi 4.0 yang lain: kecerdasan buatan. General Manager Marketing Pan Brothers Ade Ahmad Yani mengatakan sejak tahun lalu perusahaannya mengaplikasikan kecerdasan buatan melalui program V-Stitcher atau Virtual Stitcher.
Dengan aplikasi tersebut, kata Ade, perancangan desain hingga pembuatan produk jadi tak perlu memakan waktu satu-dua bulan. ”Prosesnya bisa dilakukan secara virtual dengan cepat,” ucap Ade. Membuat desain, mengukur bahan, membuat pola, hingga menjahit dikerjakan secara virtual. ”Hemat, tidak perlu buang-buang bahan.”
Ini membuat klien yang berada di seberang benua tak perlu repot-repot datang ke Indonesia hanya untuk menyerahkan desain. Menurut Ade, kehadiran Virtual Stitcher bisa menghemat setidaknya US$ 300 untuk sebuah desain.
Di balik kesuksesannya, teknologi 4.0 mengikis tenaga kerja. Ade mengatakan ada pengurangan tenaga manusia dalam proses produksi. Tapi dia menyangkal ada pemecatan. Buruh yang pekerjaannya tergantikan oleh mesin dialihkan ke bidang lain yang masih membutuhkan tangan manusia. ”Kami reskilling mereka,” tutur Ade.
Bos Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, juga menampik adanya pemecatan. Sritex, kata Iwan, memberikan pelatihan untuk menambah kemampuan sejumlah pegawainya sehingga mereka bisa dialihkan ke bagian lain, seperti menjahit. ”Kalau sudah di-training ulang, misalnya, dia enggak bisa juga, kami angkat tangan,” ucapnya.
Menurut Iwan, meski penggunaan mesin-mesin canggih tak terhindarkan, sentuhan tangan manusia tak bisa dihilangkan begitu saja dalam industri tekstil dan garmen. ”Ada bagian seperti meraba dan mencium bahan yang tidak bisa dilakukan robot,” ujar Iwan. ”Karena juga ada art di situ.”
Di balik kesuksesannya, teknologi 4.0 mengikis tenaga kerja. Ade mengatakan ada pengurangan tenaga manusia dalam proses produksi. Tapi dia menyangkal ada pemecatan. Buruh yang pekerjaannya tergantikan oleh mesin dialihkan ke bidang lain yang masih membutuhkan tangan manusia. ”Kami reskilling mereka,” tutur Ade.
Walau teknologi 4.0 terbukti mendongkrak kinerja, nyatanya perusahaan-perusahaan tekstil tak serta-merta mengadopsinya. ”Menuju 4.0 memang tak mudah dan tak murah,” kata Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat. Kadang, menurut dia, perusahaan mengeluarkan biaya tambahan untuk melatih pekerja. Tak jarang yang diajarkan di sekolah kejuruan berbeda dengan praktik langsung di pabrik.
Asosiasi mencatat, dari sekitar 600 anggotanya, hanya 10 perusahaan yang menerapkan teknologi 4.0. Mahalnya investasi menjadi penyebabnya. Tahun lalu Pan Brothers merogoh US$ 7-8 juta atau Rp 100-110 miliar untuk menuju era industri 4.0. Wakil Presiden Direktur Pan Brothers Anne Patricia Sutanto mengatakan anggaran itu perlu ditambah. ”Mulai tahun ini dan tiga tahun ke depan untuk capex (capital expenditure) kami ingin menambah menjadi US$ 10-12 juta,” ujar Anne.
Sritex malah berencana menggelontorkan investasi untuk belanja modal hingga US$ 30-40 juta pada tahun depan. Dana jumbo itu diperlukan karena tiap tahun perusahaan harus terus berinovasi dan meningkatkan kapasitas mesin.
Dengan investasi segunung itu, dua perusahaan tersebut berharap kinerja perusahaan makin menggeliat. Pada tahun lalu, Pan Brothers membukukan penjualan US$ 549,4 juta. Anne menargetkan tahun ini tumbuh 12-15 persen. ”Tahun depan proyeksi tumbuh 25-30 persen,” kata Anne.
Sekretaris Perusahaan Sritex Welly Salam menargetkan penjualan ekspor berkontribusi 58-60 persen pada tahun depan. Ekspor perseroan pada 2017 mencapai US$ 404,86 juta. Welly berharap pemerintah dapat memberikan insentif supaya industri tekstil makin berdaya saing. Maka target ekspor tekstil sebesar US$ 30 miliar pada 2025 bisa tercapai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo