Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tujuh lelaki berwujud cantik tengah menari di bawah terik matahari Malioboro, Yogyakarta.Tubuh mereka gemulai, mengikuti gamelan dan gending ura-ura yang mengalun kenes. Dandanan mereka luwes berbalut kebaya dan kain sebatas betis—kaki mereka bersepatu kets. Perpaduan nekat ini berhasil mengundang perhatian. Kesibukan perdagangan dan cuci mata yang biasa terjadi di Malioboro terhenti. Mereka menikmati atraksi tujuh lelaki berdandan kembar itu.
Kemunculan tujuh lelaki kembar itu merupakan ide salah satu dari mereka. Dialah yang paling banyak dikerubuti massa pada awal pekan lalu itu. Ada yang mencubit, memeluk, hingga meminta tanda tangannya. ”Habis, gemes. Badannya kok bisa lemes begitu,” ujar Sarni, salah satu ibu-ibu yang mengerumuni rombongan itu. Ibu Sarni patut gemas. Pasalnya, lelaki yang dicubitnya memang terkenal sebagai koreografer dan penari bertubuh luwes. Ia Didik Hadi Prayitno, nama sejati Didik Nini Thowok—koreografer tari yang kerap tampil dalam kostum dan tarian perempuan. Siang itu, ia mengawali perayaan ulang tahunnya yang akan diadakan selama seminggu.
Tahun ini Didik berusia 50 tahun pada 13 November lalu. Namun perayaan tertunda karena ia manggung di Jerman dan Austria. Awal perayaan ditandai dengan pertunjukan Didik Kembar Pitu di Malioboro. Bersama enam lelaki yang diseleksinya dari Klaten, Solo, dan Yogya, Didik ngamen selama hampir lima jam dan berhasil mengumpulkan uang Rp 513.400. ”Rencananya akan disumbangkan ke panti asuhan,” ujar Hendrid, asisten pribadi Didik.
Tujuh bagi Didik bermakna keramat. Jumlah hari dalam seminggu ada tujuh. Juga makna personal lainnya. Tujuh merujuk pada jumlah pendiri sanggar tari Natya Lakshita pada 2 Februari 1980. Sanggar yang masih berdiri hingga sekarang ini didirikan Didik bersama enam temannya, Bekti Budi Hastuti, Bambang Leksono Setyo Aji, Ni Nyoman Sudewi, Sumiyati, Feeling Herlianti, dan Edi Pursubaryanto.
Selain ngamen, Didik mengadakan peluncuran buku otobiografi, workshop tari, pameran foto dan benda seni koleksi pribadi. Puncaknya pentas Tranceformation, menampilkan penari-penari transgender dari Jepang, Cina, India, dan Cirebon. Dalam acara ini ia akan menari golek lambang sari dari Keraton Surakarta. ”Karena tarian ini dulunya ditarikan lelaki pada zaman Hamengku Buwono VII. Salah satu penari terkenalnya Gusti Brongtodiningrat,” ujar Didik.
Dengan tarian ini, Didik ingin memperlihatkan bahwa konsep transgender dalam dunia tari sudah ada sejak dulu. Karena itu, ia mengumpulkan para penari yang terbiasa menarikan tarian lawan jenisnya. Perlintasan ini tak hanya menyangkut gender. Didik juga menampilkan barong landung dari Bali. Tarian ini mengisahkan Kang Cing We, seorang Cina yang datang ke Bali dan menikah dengan penduduk setempat. Ia kemudian dikutuk menjadi barong. Didik sendiri tampil sebagai Kang Cing We yang muncul di panggung dan mempertanyakan asal-usulnya.
Pertanyaan tersebut seolah merefleksikan pengalaman hidupnya sendiri. Lahir di Temanggung, Jawa Tengah, Didik lahir dari pasangan Suminah dan Kwee Yoe Tiang. Saat lahir, Didik diberi nama Kwee Tjoen Lian. Namun, karena sakit-sakitan, namanya diganti Kwee Tjoen An. An artinya selamat.
Tarian Jawa dipelajarinya pertama kali di usia 12 tahun pada 1966. Sejak itu ia mendalaminya secara serius. Ia memutuskan masuk ke Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Yogyakarta dan berguru pada beberapa seniman tradisi dan kontemporer. Dari I Gusti Gde Raka, Sawitri—empu tari topeng Cirebon—Bagong Kussudiardjo, Ni Ketut Reneng, hingga Sangeeta dari India, Sadamu Omura dari Jepang, dan Jetty Roels dari Belgia.
Nama Nini Thowok mulai disandangnya pada 1970-an. Ketika itu ia membantu karya tari seniornya di ASTI, Bekti Budi Astuti. Mengangkat judul Nini Thowok, tarian ini berangkat dari permainan tradisional Nini Thowong yang hidup di sebagian daerah Jawa Tengah. Menyerupai jelangkung, permainan ini memperlihatkan sebuah boneka yang bergerak sendirinya di bawah kekuatan seorang pawang. Postur tinggi dan gemulai Didik berhasil menghidupkan karakter boneka ini.
Ketika itu ia menarikannya bersama Bekti dan Sunaryo yang menjadi pawangnya. Sukses tari ini mendorong mereka bertiga untuk menggarapnya lebih matang. Namun Sunaryo mengundurkan diri setelah menjadi dosen di ASTI. Akhirnya bersama penggantinya, Bambang Leksono Setyo Aji, mereka bertiga berhak menggunakan nama Nini Thowok di belakang nama masing-masing, sekaligus mendirikan sanggar tari bernama serupa.
Keluwesan Didik tak berhenti di situ. Ia mengolahnya lebih dalam dan banyak menciptakan karya yang mengolah gerakan lembut khas perempuan. Ia menyadari masyarakat senang dengan penampilan tersebut. ”Saya justru menangkap atau menyiasati kemauan pasar. Ini yang kemudian saya geluti secara maksimal,” ujarnya. Salah satu karyanya yang terkenal berjudul Dwi Muka, yang menampilkan gerakan seolah Didik memiliki dua sisi dengan topeng di belakang kepalanya. Kelenturan tubuhnya mendukung bagian belakang tubuhnya bergerak seolah tampak depan.
Keunikan dirinya bukannya tanpa tantangan. Karya-karyanya kerap dinilai tak memiliki muatan serius. Maklum, ia sering memasukkan unsur komedi yang kebanyakan tampil slapstick. Akhirnya ia lebih banyak dikenal sebagai penghibur ketimbang koreografer tari. Ia sendiri tak ambil soal. ”Karena bagi saya, comedy is healing,” ujarnya.
Sikap ini justru dipuji Sardono W. Kusumo. Ia menilai Didik memang tidak berpretensi mengangkat gagasan-gagasan besar tentang tari ataupun kontemporer. ”Ia bertolak dari keberadaan dirinya sendiri. Inilah yang membuat ia unik dan seharusnya sikap inilah yang harus dimiliki seorang penari,” ujar Sardono.
Didik memang sangat memahami keberadaan dirinya. ”Karena kemampuan tari-putri saya memang lebih, saya mendalaminya secara maksimal,” ujar Didik. Ketekunannya ini dimantapkannya pada tahun 2000, saat ia selesai mempelajari Kabuki di Jepang. Sejak itu ia memperkenalkan konsep cross gender yang menurut dia merupakan identifikasi terhadap sebuah kemampuan yang melintasi batas-batas seksualitas. Berbekal konsep ini, Didik terlibat pertunjukan Impersonators, The Female Role Players in Asian Dance and Theater di Tokyo pada Maret 2003. Di pementasan itu ia berkolaborasi dengan penari cross gender dari Jepang, India, dan Cina.
Konsep ini juga tampil di perayaan ulang tahunnya yang menghabiskan dana sekitar Rp 300 juta. Ia melibatkan para penari waria yang menari berbagai tari tradisi Jawa dari gambyong, lengger, hingga adaninggar kelaswara. Kemunculan mereka bukannya tanpa risiko. Telah lama Didik menghadapi pertanyaan seputar tingkah lakunya yang halus. Dalam peluncuran buku biografinya Rabu lalu, sejumlah pengunjung mempertanyakannya. ”Silakan riset sendiri,” ujar ayah satu anak bernama Aditya ini sambil tertawa.
Didik memang bukan pribadi yang merasa terganggu dengan semua komentar tentang dirinya. Ia memilih terus berkarya meski hal itu tidak mendatangkan pengakuan serius dari teman-teman sejawatnya. Justru dengan keseriusan konsep transgendernya itu, Didik kerap diundang ke luar negeri sebagai pakar tari Indonesia. Hubungan internasional ini cukup memudahkannya menggalang dana. Contohnya untuk perayaan ini. Sepertiga pengeluaran didanai Hivos Foundation dari Belanda, Japan Foundation, dan beberapa kedutaan Indonesia yang berada di Jepang, India, dan Kanada. Pembuktian memang bukan lewat kata-kata.
F. Dewi Ria Utari, Heru C.N., L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo