Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tiga Dekade Cuma Gusuran

Proyek Banjir Kanal Timur beringsut bak siput. Kantong cekak, koordinasi minim, dan ulah calo jadi pengganjal.

12 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENCANA besar itu lahir pada 1973. Kata sahibul hikayat, Gubernur Ali Sadikin berencana membangun saluran kolektor di Jakarta Timur. Namanya Banjir­ Kanal Timur. Saat itu, di musim hujan, sejumlah sungai memang kerap meluap. Rumah warga di sekitar sungai ba­nyak yang kelelep, dan kanal itu adalah solusinya.

Empat sungai besar (Kali Cipinang, Sunter, Buaran, dan Cakung) akan dipotong kanal itu. Air tumpahan sungaisungai ini ditampung di kolam raksasa itu lalu dibuang ke laut lewat Marunda, Jakarta Utara.

Beres? Ternyata tak mudah. Proyek besar itu nyatanya memerlukan dana raksasa juga. Repotnya, ketika itu saku pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sedang kerontang. Ali Sadikin menyerah. Empat petinggi Ibu Kota berikutnya (Tjokropranolo,­ ­Soeprapto, Wiyogo Atmodarminto, dan Soerjadi Soedirja) tak berdaya juga. Rencana besar itu pun cuma beres di atas kertas.

Sampai banjir besar menggulung Jakarta pada akhir Januari 2002.

Empat sungai besar di timur itu me­luap, membenamkan ribuan rumah warga. Sutiyoso, Gubernur Jakarta, la­lu menghidupkan lagi rencana pemba­ngunan kanal raksasa itu, 22 Juni 2002. Rencananya proyek itu bakal selesai pada 2010.

Kanal ini panjangnya 23,7 kilometer. Lebar seratus meter. Tanah yang dibebaskan: 316 hektare. Tanah itu tersebar di 11 kelurahan di Jakarta Timur dan dua kelurahan di Jakarta Utara.

Proyek ini menelan dana raksasa. Pembebasan lahan Rp 2,4 triliun, sedang bangunan fisik kanal menghabiskan Rp 2,5 triliun. Total dana yang dibenamkan Rp 4,9 triliun. Biaya segunung itu dipikul berdua: pemerintah Jakarta memikul biaya pembebasan tanah, sedang bangunan fisik ditanggung pemerintah pusat. Tapi sejak dicanangkan lima tahun lalu itu, proyek ini cuma beringsut bak siput.

Dua pekan lalu, ketika banjir merendam hampir 60 persen wilayah di Jakarta Timur, kanal raksasa itu kembali jadi omongan.

Menurut Sutiyoso, pelaksanaan pro­yek ini terhambat persoalan teknis di lapangan. Mau membebaskan lahan saja, sulitnya minta ampun. ”Kami harus menghadapi calo,” begitu Sutiyoso berkeluh kesah.

Lazimnya pedagang rente, para calo itu mematok harga berlipatlipat. Harga­ Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) setiap satu meter tanah di kawasan itu sejati­nya hanya Rp 500 ribu. Tapi para calo itu ngotot minta Rp 1,5 juta. Karena harga tak kunjung disepakati, lahan itu tak kunjung pula dibebaskan. Jadi, Sutiyoso melanjutkan, ”Pembebasan itu tidak mudah meskipun ada uangnya.”

Rencana pembangunan kanal superjumbo ini memang bak gula bagi calo tanah. Sejumlah warga di Malaka, Jakarta Timur, menuturkan, para calo sudah memborong tanah beberapa bulan sebelum pemerintah datang membebaskan lahan. Sumber Tempo yang paham likaliku pembelian tanah di kawasan itu menuturkan, ”Para calo umumnya bekerja sama dengan oknum di kantor Wali Kota Jakarta Timur.” Bahkan persentase terbesar dari permainan calo ini, menurut sumber itu, diberikan kepada pejabat wali kota.

Sutiyoso sendiri bertekad segera membereskan pembebasan lahan, termasu­k yang dikuasai para calo itu. ”Kalau kita konsekuen dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, kita lakukan saja,” katanya.

Keputusan Presiden yang disebut Sutiyoso itu mengatur pengadaan tanah bagi pembangunan kepentingan umum. Di situ ditetapkan bahwa harga tanah sesuai NJOP. Jika para spekulan tetap ngotot, ”Bawa ke pengadilan,” kata Sutiyoso.

Wali Kota Jakarta Timur, Koesnan ­Abdul Halim, membantah soal peran calo. ”Mereka itu tidak bisa berbuat apaapa dalam pembebasan lahan, karena harga sesuai NJOP,” katanya.

Para calo itu, katanya, hanya bisa bermain kalau harga tanah tidak tentu. Soal tuduhan bersekutu dengan calo, Koesnan juga tegas membantah. ”Dana Rp 2,4 triliun itu memang membuat wali kota gampang dituduh,” keluhnya.

Di luar soal calo, pembebasan itu juga terhambat masalah kepemilikan lahan­. Sebidang tanah di sana kerap kali di­klaim banyak orang. Uniknya, mereka samasama mengaku punya sertifikat asli.

Pemerintah menunggu keputusan pengadilan agar bisa membebaskan tanah. Repotnya, orang yang kalah di ­pengadilan tak mudah melempar handuk. Mereka naik banding ke Pengadil­an Tinggi.

Koesnan berjanji akan mengambil langkah tegas pada 2007 ini. Kalau ada yang bersengketa, ”Kami titipkan saja uangnya di pengadilan supaya proyek bisa jalan,” katanya.

Tekad memang harus dipancangkan. Jika tidak, proyek raksasa ini cuma bisa merangkak. Saat ini dari 23,7 kilometer yang direncanakan, baru 7,7 kilometer yang sudah digusur.

Wenseslaus Manggut, Untung Widiyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus