IBARAT juara tinju yang harus mempertaruhkan gelar, Akbar Tandjung kini harus ”menghadapi” tiga penantang kuat. Kata ”menghadapi” memang sengaja ditulis dalam tanda petik karena belum ada penantang yang terang-terangan menyatakan siap ”naik ring”.
Katakanlah ”sang pemegang sabuk” harus diganti, segebung syarat berat menghadang calon ketua umum (bekas) golongan politik kreasi pemerintah Soeharto itu. Yang terberat, calon pemimpin organisasi berusia 38 tahun itu harus merebut dukungan 20 dewan pemimpin daerah untuk menggeser Akbar. Dengan 20 suara daerah itu—dari 30 daerah yang ada atau dua pertiganya—dia bisa memaksa pengurus pusat membuat musyawarah nasional luar biasa. Di ajang itulah jabatan ketua umum bisa diperebutkan.
Tapi Akbar bukan anak taman kanak-kanak yang baru setahun-dua belajar politik. Jauh sebelum vonis tiga tahun penjara diterimanya dalam kasus Bulog ini, dia sudah merapikan benteng tempatnya berlindung. Dia sudah bersafari ke mana-mana dan menyatakan semua daerah masih berbaris manis di belakang dia.
Inilah yang menyulitkan penantang seperti Agung Laksono. Namun Agung punya jalan pintas yang sesuai dengan aturan main partai itu. Jika Akbar non-aktif atau berhalangan, partai harus menunjuk pelaksana harian. Aturan menyatakan yang menjabat pelaksana harian adalah ketua bidang organisasi, keanggotaan, dan kaderisasi partai itu. Orangnya tak lain adalah Agung Laksono.
Agung adalah orang dalam, kader Golkar tulen sejak zaman Soeharto dulu. Pada 1977 dia sudah menjadi simpatisan, dan resmi bergabung dua tahun sesudahnya. Dia pernah menjabat Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) dan Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI)—dua organisasi yang dulu mendukung Golkar.
Setahun lalu, Agung kalah bersaing dengan Hayono Isman, menteri di zaman Soeharto, untuk berebut jabatan Ketua Umum Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro)—salah satu organisasi pendiri Golongan Karya pada masa awalnya. Belakangan, Sekretaris Jenderal Kosgoro ini terdengar malah membuat Kosgoro tandingan karena tidak puas dengan hasil pemilihan itu.
Adakah dia dianggap si anak ”durhaka”? Tidak. Malah Agung banyak mendapat dukungan dari Sekretariat Bersama 64, yang disingkat Sekber 64. Di sana ada tokoh Orde Baru seperti Harmoko, Suhardiman, dan Sulasikin Murpratomo. Mereka diyakini masih punya ”kaki” di sejumlah daerah.
Dari segi usia, bos Anteve ini lebih muda dibandingkan dengan dua penantang Akbar yang lain: Fahmi Idris dan Jusuf Kalla. Agung kini 53 tahun, lebih muda empat tahun daripada Akbar Tandjung, lebih muda enam tahun daripada Fahmi, dan lebih muda tujuh tahun dibandingkan dengan Jusuf Kalla.
Jusuf Kalla berasal dari kalangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sama dengan Akbar. Dia bahkan tercatat sebagai Ketua HMI Cabang Makassar periode 1964-1967. Hal ini membuat Jusuf cukup diterima di kalangan pendukung Akbar, yang sebagian besar juga aktivis HMI.
Namun Jusuf adalah orang luar Golkar. Karir politik orang Sulawesi Selatan ini tak menonjol, tertelan kesibukan bisnisnya. Jabatan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat mungkin diraihnya lebih karena ia wakil Golkar dan Indonesia timur ketimbang karena kepiawaian politiknya. Pendiri grup usaha Bukaka, yang dirintis keluarganya, itu hanya berpolitik di MPR sebagai anggota selama dua periode sejak 1997. Di masa Presiden Abdurrahman Wahid, dia Menteri Perindustrian dan Perdagangan, juga masuk menjadi anggota Dewan Penasihat Golkar Pusat pada 2001.
Sebagai orang kabinet yang dekat dengan Presiden Megawati, Jusuf punya kans bagus untuk merapatkan hubungan Golkar dan PDI Perjuangan. Bahkan pengamat politik yang dekat dengan Mega, Rizal Mallarangeng, telah menyebut Jusuf sebagai pasangan ideal Megawati dalam perebutan kursi presiden dan wakil dalam Pemilu 2004. Sebagai orang Makassar, jelas Jusuf akan didukung oleh kelompok Indonesia timur di Golkar—yang suka disebut kelompok Iramasuka.
Fahmi Idris, Ketua Fraksi Golkar di MPR, juga punya banyak pendukung. Sejauh ini, dia membela Akbar, tapi entah ketika nanti panggung perebutan kuasa digelar di partai pemenang nomor dua pemilihan umum lalu itu (lihat rubrik Wawancara).
Para pendukung Akbar tetap menganggap idolanya itu tak tergantikan walaupun sudah divonis tiga tahun penjara. Adakah itu pertanda partai ini memang belum mampu mereformasi dirinya sendiri?
Tjandra Dewi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini