Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Fahmi Idris: "Konflik Internal Tak Bisa Dihindari Lagi"

8 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Vonis sudah jatuh. Tapi pertarungan Akbar di Golkar, partai besar itu, boleh jadi baru akan dimulai. Bila adegan itu dapat dipindahkan ke panggung lakon, Ketua Umum Akbar Tandjung seolah terkapar di tengah padang seusai pertempuran besar di pengadilan. Sembari terseok kelelahan, ia harus pula awas terhadap "burung-burung nasar" yang bukan saja ingin mencaplok kursi Ketua Umum Golkar yang ia duduki selama ini. Lawan-lawannya itu juga siap menghumbalangkan Akbar dari posisi penting di partai tersebut di masa depan. Dan putusan hakim yang menghukum Akbar tiga tahun penjara adalah epilog yang suka tidak suka ikut mencacatkan citra Golkar, yang pernah begitu digdaya di masa yang belum lama lewat. Akbar bersalah karena dianggap menyalahgunakan Rp 40 miliar dana milik Badan Urusan Logistik. Kesalahan itu membuatnya harus menghadapi risiko lain di luar hukuman kurungan: kemungkinan dicopot dari kursi Ketua Umum Golkar. Pendukungnya berkukuh bahwa Akbar tak perlu diganti karena, dengan proses banding, vonis Akbar belumlah berlaku tetap. Tapi kalangan yang lain menilai Akbar harus mundur lantaran ia akan sulit berkonsentrasi di partai karena sedang punya masalah. Maka, bursa calon pengganti tiba-tiba menjadi soal penting. Dua yang sudah dibicarakan banyak orang adalah Agung Laksono (ketua bidang organisasi, keanggotaan, dan kaderisasi) dan Jusuf Kalla (Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat). Nama lain yang samar-samar terdengar adalah Fahmi Idris, pengusaha dari Kodel Grup dan salah satu ketua partai. Tapi Fahmi membantah bahwa ia punya ambisi. "Saya tak tertarik mencalonkan diri," ujarnya. Aktivis mahasiswa 1966 itu mengaku mengakomodasi semua kelompok yang berseteru. Setiap hari ia menerima telepon dari berbagai kelompok. "Pagi ini saja sudah ada 12 missed call yang masuk ke telepon genggam saya," katanya. Tak aneh kalau Fahmi banyak dilirik. Ia bukan orang baru di Golkar. Ia masuk partai itu pada 3 Maret 1984 bersama sejumlah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam, lembaga tempat ia pernah menjadi ketua (1967-1968). Ketika itu Golkar dipimpin oleh Sudharmono. Dari sana karirnya melejit. Ia pernah menjadi Kepala Departemen Koperasi, bahkan menjadi salah satu ketua partai itu. Anehnya, ia tak pernah menjadi anggota DPR. Fahmi menganggap bermain di luar parlemen lebih bebas. Saat ini, fokus perhatiannya adalah membersihkan partai itu dari tokoh lama yang kental dengan citra Orde Lama. Itulah sebabnya ia rajin bergerilya agar "orang lama" pelan-pelan tersingkir dari partai. Seorang teman Fahmi pernah bercerita. Ketika Akbar Tandjung terpilih menjadi Ketua Golkar menjelang Pemilu 1999 lalu, Fahmi berjuang keras agar Abdul Gafur, bekas Menteri Olahraga di era Soeharto, tidak masuk dalam susunan pengurus. Di Hotel Aston, Jakarta, Fahmi menemui Akbar. Di sana ternyata sudah hadir Abdul Gafur. Mereka bertiga bicara. "Sudahlah, Bar. Biar saya dan Gafur masuk dewan penasihat saja. Kami tak usah masuk pengurus pusat," kata Fahmi seperti ditirukan sumber itu. Ketika ditanyai, Fahmi tertawa. "Ha-ha-ha, itu cerita off the record-lah," tuturnya. Hanya sehari setelah Ketua Umum Golkar divonis, Fahmi menerima wartawan TEMPO Adi Prasetya, Wenseslaus Manggut, dan Arif Zulkifli untuk sebuah wawancara khusus. Dalam perbincangan itu, ia menjelaskan peta kekuatan internal Golkar terakhir. Ditemani kue-kue jajan pasar dan kopi krim, Fahmi menjawab semua pertanyaan—yang disertai sejumlah keterangan off the record. Berikut petikannya. -------------------------------------------------------------------------------- Apa dampak langsung vonis Akbar Tandjung terhadap Partai Golkar? Situasi konflik sudah tak bisa dihindari lagi. Banyak teman yang datang ke saya, telepon sana-sini, minta agar kita mengambil sikap. Saya ingin merangkum tiga pendapat besar yang berkembang di Golkar. Pertama, mereka yang menginginkan Akbar Tandjung bertahan sebagai ketua umum. Sikap kedua menginginkan Akbar menyatakan dirinya non-aktif agar ia bisa berkonsentrasi pada langkah-langkah hukum selanjutnya. Aternatif ini memberi kesempatan kepada ketua umum untuk menunjuk pejabat pelaksana harian. Dan apa pendapat kelompok ketiga? Mereka menginginkan musyawarah nasional luar biasa untuk memilih ketua umum baru. Mereka menilai ketua umum yang sudah kena vonis citranya akan buruk bagi partai. Apakah ketiga opsi ini sudah dibicarakan secara terbuka? Ketiganya sudah menjadi materi pergolakan di dalam, baik dalam pembicaraan langsung, telepon-teleponan, maupun diskusi. Itu terjadi di pusat ataupun daerah. Bagaimana perimbangan kekuatan ketiganya? Saya belum menghitung secara serius. Sebelum vonis, alternatif pertama lebih dominan. Saya termasuk pendukung opsi itu. Yang setuju alternatif kedua juga cukup besar. Mereka yang setuju alternatif ketiga kecil sekali. Menurut saya, alternatif kedua adalah jalan tengah antara opsi pertama dan ketiga. Bagaimana dengan suara dewan pimpinan daerah? Untuk ketiga alternatif tadi, suara dewan pimpinan daerah berperan sekali. Misalnya untuk alternatif ketiga. Berdasarkan AD/ART partai, musyawarah nasional luar biasa harus disepakati oleh dua pertiga jumlah dewan pimpinan daerah. Apakah mereka memilih alternatif pertama sebelum vonis? Ya, sebelum vonis. Setelah vonis, apa sikap mereka? Mereka bertanya kepada saya, sikap apa yang harus diambil. Oktober nanti, Golkar akan mengadakan rapat pimpinan. Mereka usul agar dilakukan pertemuan sebelum Oktober. Saya setuju. Kami punya forum yang namanya rapat konsultasi, yang dihadiri pengurus pusat ditambah ketua dan sekretaris dewan pimpinan daerah. Di sana mungkin sikap yang lebih jelas bisa diambil. Alternatif mana yang paling baik dalam pandangan Anda? Yang paling realistis adalah alternatif kedua. Perpecahan partai sudah amat lazim, biasanya dipicu oleh penyelesaian masalah yang tidak demokratis. Saya tidak mau hal itu terjadi di Golkar. Opsi mana yang Anda anggap tidak demokratis dari ketiga pilihan di atas? Opsi yang tidak didasarkan pada AD/ART. Saat ini ada pandangan yang menginginkan agar Golkar membentuk presidium untuk mengganti fungsi ketua umum. Ini sudah keluar jalur karena, jika diterapkan, mesti mengubah AD/ART. Seberapa besar keinginan mengganti Akbar melalui pembentukan presidium? Saya tidak bisa mengukur. Tapi pemikiran itu berkembang di pusat dan daerah. Anda setuju pada opsi kedua. Bagaimana implementasinya? Alternatif itu bisa meredam kemungkinan konflik. Caranya, Akbar cukup menyatakan non-aktif dan menunjuk pelaksana tugas harian. Nah, yang cocok untuk itu adalah ketua organisasi, keanggotaan, dan kaderisasi: Agung Laksono. Saya setuju dia menjadi ketua umum. Apa dasarnya? Bidangnya adalah organisasi. Jadi, ia paling cocok. Ini semacam konvensi di Golkar: jika ketua umum non-aktif, ketua organisasi, keanggotaan, dan kaderisasi yang menggantikan. Bukankah pasca-vonis Agung Laksono menyatakan kepada wartawan bahwa Akbar akan tetap menjadi ketua umum? Pernyataan Agung konteksnya adalah menjawab permintaan musyawarah luar biasa. Kemarin beberapa rombongan dewan pimpinan daerah bertanya kepada saya, bagaimana menyikapi usul Baramuli yang mengatasnamakan Iramasuka (kaukus Golkar asal Indonesia Timur—Red) yang menghendaki musyawarah itu. Saya jawab, biarpun Pak Baramuli membawa Iramasuka, tidak ada artinya. Musyawarah itu hanya bisa diputuskan oleh dua pertiga dewan pimpinan daerah. Anda yakin opsi kedua bisa meminimalisasi konflik? Ini memang jadi perdebatan. Ada yang curiga, setelah menjadi pejabat ketua umum, Agung nanti kepingin jadi ketua umum sungguhan. Tapi, apa salahnya? Teman yang lain bilang Agung enggak pantas. Buat saya, sebaiknya kita kembali ke AD/ART saja. Anda sudah menyampaikan aspirasi Anda itu ke Akbar Tandjung? Belum. Ini semua sifatnya masih bisik-bisik. Masa, orang lagi susah kok ditambah susah. Kalau ide ini buru-buru disampaikan ke Pak Akbar, tambah susah dia. Kalau Akbar Tandjung memilih bertahan atau menunjuk orang di luar Agung? Saya yang akan ngomong (dengan Akbar). Saya pernah mengalami konflik internal Golkar yang lebih berat, dan saya bisa mengatasinya. Kalau dia ngotot? Ya, Akbar pintar. Ada beberapa pertimbangan dia yang bisa saya ikuti. Pertama, sebagai ketua umum, Akbar pasti merasa akan tetap dilindungi partai. Kedua, sebagai Ketua Golkar, Akbar juga harus dipertahankan di DPR. Ketiga, Akbar punya banyak pendukung. Tapi, bukankah tetap harus ada keputusan politik yang jelas? Yang terbaik menurut saya adalah Akbar non-aktif dan menunjuk pejabat pelaksana harian. Jadi, Akbar tetap ketua umum definitif, tapi tidak aktif sehari-hari. Sebagai ketua non-aktif, posisinya sebagai Ketua DPR masih aman? Kalau non-aktif, keadaannya masih bisa diatur. Dia masih bisa tetap di posisi Ketua DPR. Di luar nama Agung Laksono ada kandidat lain, yakni Jusuf Kalla, yang bisa memakai Iramasuka sebagai pendukung. Seberapa besar kansnya menggantikan Akbar? Sejak awal, Jusuf Kalla bukan Iramasuka. Kekuatan Iramasuka ada ketika mereka menjagokan Habibie. Tapi, sejak Habibie mengatakan tidak mau lagi main politik, Iramasuka tidak signifikan lagi. Begitu? Saya sering bertanya kepada wartawan, siapa yang Anda maksud dengan Iramasuka. Mereka bilang Baramuli. Saya ketawa saja. Baramuli orang yang tidak berambisi menjadi ketua umum, tapi masih berambisi menjadikan seseorang menjadi ketua umum. Caranya? Pakai sentimen Indonesia Timur. Untung, di Iramasuka masih ada Andi Matalata. Dia kan orang yang bebas dan berpikir merdeka. Kalau saya boleh mencalonkan tokoh dari sana sebagai ketua umum, Andi orangnya. Bagaimana perimbangan kekuatan Jusuf Kalla dan Agung Laksono? Berimbang. Dua-duanya punya kelebihan. Agung itu orang dalam, punya pengalaman dan bekerja di Golkar mulai dari bawah serta kenal seluk-beluk partai. Jusuf dikenal sebagai manajer yang ulung. Jadi, siapa yang bakal menang? Kalau bicara soal citra, Agung lebih dikenal. Di luar Golkar, barangkali Jusuf Kalla punya citra lebih bagus. Tapi orang luar kan tidak menentukan. Mereka tidak memilih. Masalahnya, Golkar tidak bisa berdiri sendiri. Menghadapi Pemilu 2004, Golkar mesti memperhitungkan interaksi dengan partai lain? Tentu. Tapi yang memiliki hak suara adalah dewan pimpinan daerah. Namun, mereka kadang kala tidak berpikir ke sana. Bagaimana dengan faktor PDIP? Menurut Anda, apakah Megawati ingin mempertahankan Akbar sebagai Ketua Golkar supaya Akbar mendukung pemerintahannya dan dengan demikian politik jadi lebih stabil? Sekarang ini kestabilan sudah tercapai. Pemilu tinggal sebentar lagi. Jadi, siapa sih yang berselera mengganti (presiden)? Siapa pun yang ingin mengganti Mega, ia akan mengalami hal yang dialami Mega. Tapi, saya percaya, Mega akan menyubordinatkan kekuatan-kekuatan politik lain di bawahnya, paling kurang untuk menekan tingkat persaingan menjelang 2004. Dalam konteks ini, Akbar Tandjung sudah lebih subordinat (dibanding Mega). Mari kita berandai-andai. Kalau Jusuf Kalla yang naik, ia mungkin akan mengusung kekuatan lama. Apakah orang seperti Baramuli bisa masuk lagi? Kalau sentimen yang dibawa adalah Iramasuka, suka enggak suka Baramuli masuk lagi. Dalam konteks mengeliminasi kekuatan lama, Agung lebih baik? Dia orang yang pasti tidak bisa mengatakan sampai di sini saja (kepada kekuatan-kekuatan lama tersebut). Dia juga banyak didukung orang lama. Siapa? Saya tidak bisa mengatakannya (Fahmi menyampaikan informasi off the record). Bagaimana suara para sesepuh Golkar? Mereka rata-rata memilih opsi kedua dan ketiga. Di luar dua kandidat itu, seberapa jauh nama Anda diperhitungkan? Saya tidak berminat. Ini confirm. Mekanisme apa yang bisa dipakai untuk membersihkan orang-orang lama di Golkar? Ketua umum punya hak memilih orang dalam kepengurusan Golkar. Orang-orang lama kan bisa tidak disertakan. Bagaimana Anda melihat vonis Akbar? Keputusan tiga tahun itu terlalu berat. Saya melihat bukti-bukti hukum menunjukkan bahwa sesungguhnya Akbar tidak bersalah. Fakta hukum menunjukkan bahwa Akbar tidak menerima uang itu. Tapi di pengadilan dia mengaku melihat cek itu. Dia melihat, tapi dia tidak menerima. Ia bisa dituduh melakukan korupsi jika ia menerima cek itu. Mari kita bicara jujur. Menurut Anda, apakah betul uang itu mengalir ke Golkar? Berdasarkan fakta yang dikemukakan di pengadilan, uang itu didesain untuk diberikan kepada Yayasan Raudatul Jannah. Penelusuran kami menunjukkan Yayasan Raudatul Jannah baru diciptakan belakangan untuk melindungi Akbar. Itu kan menurut versi TEMPO. Menurut versi pengadilan tidak begitu. Tugas pengadilan adalah mencari fakta hukumnya. Karena itu, pembuktian menjadi penting sekali. Misalnya ada orang membunuh dengan pisau. Tapi, kalau pisaunya enggak ada, ya enggak bisa dinyatakan bersalah. Dalam kasus Akbar, Anda yakin sebenarnya "pisau" itu ada? Enggak ada, karenanya tidak utuh fakta hukumnya. Itu sebabnya saya katakan vonis itu lemah. Anda merasa Golkar selamat dalam kasus ini—karena kesalahan bisa dilokalisasi pada Akbar saja? Ketua umum partai enggak bisa dipisahkan dari partai secara keseluruhan. Apa yang terjadi pada ketua umum akan terkena pada partai juga. Tampaknya, dalam kasus Bulog, Anda begitu membela Akbar Tandjung? Akbar Tandjung banyak tidak mengikuti omongan saya, juga dalam kasus uang Rp 40 miliar itu. Maksudnya? Sudahlah, saya tidak mau bicara. Semua akan disampaikan nanti, 15 tahun lagi. Saya tidak mau mencelakakan orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus