Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perlukah sanksi bagi pejabat dan anggota DPR yang tidak menyerahkan daftar kekayaannya ke Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara? (30 Agustus - 06 September 2002) | ||
Ya | ||
96% | 579 | |
No | ||
3,3% | 20 | |
Tidak tahu | ||
0,7% | 4 | |
Total | 100% | 603 |
BEGINILAH sikap para pejabat di Indonesia. Tak malu memamerkan kekayaannya, tapi ogah bila dimintai daftar resmi harta bendanya. Karena sikap seperti itu, Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, Yusuf Syakir, pusing bukan kepalang. Hingga saat ini lembaga yang dipimpinnya masih disibukkan dengan urusan pejabat yang belum mengembalikan formulir daftar kekayaannya. Bahkan Syakir sempat menyebut angka 27 ribu pejabat—termasuk di dalamnya 155 anggota DPR-MPR—yang masih ogah-ogahan. Wajar jika ia gemas dan sibuk mencari alternatif untuk ”memberi pelajaran” bagi para pejabat yang bertingkah itu.
Salah satu jalan yang sudah ditempuh KPKPN adalah menjatuhkan sanksi moral. Sanksi ini sudah dikenakan pada anggota DPR-MPR. Caranya, nama mereka yang belum mengembalikan formulir KPKPN diumumkan di media massa. Di luar itu, komisi tersebut bisa meminta agar atasan para pejabat yang bersangkutan menjatuhkan sanksi berupa penurunan pangkat, gaji, golongan, sampai pemecatan. Semangat ini sempat diungkap Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Feisal Tamin.
Dalam praktek, jika sanksi moral dan administratif masih belum cukup, Pasal 216 KUHP yang berisi ketentuan pidana empat bulan bagi mereka yang tak menaati lembaga yang dibentuk oleh undang-undang (KPKPN dibentuk berdasar Undang-Undang No. 28/1999) bisa dikenakan. Meski upaya ini bisa sangat merepotkan polisi karena banyaknya pejabat yang mesti ditangani.
Adanya sanksi tegas bagi pejabat dan anggota DPR yang mbalelo dari wajib lapor kekayaan itu seiring-sejalan dengan hasil jajak pendapat yang dilakukan www.tempo-interaktif.com. Sebagian besar responden, yakni 96 persen dari total 603, menyatakan sanksi perlu dijatuhkan.
Jajak Pendapat Pekan Depan:Jiwa Akbar Tandjung terguncang. Maklum, sejak awal, Ketua DPR RI itu tak pernah menduga dirinya bakal menjadi terpidana dalam kasus dana nonbujeter Bulog Rp 40 miliar. Tapi majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu, menentukan lain: Akbar dinyatakan bersalah dan divonis tiga tahun penjara.
Vonis itu memunculkan perdebatan, khususnya berkait dengan kedudukan Akbar selaku Ketua DPR. Sejumlah politisi dan pengamat, seperti Roy B.B. Janis dari Fraksi PDIP, Muhammad Farhan Hamid dari Fraksi Reformasi, dan pakar sosiologi hukum Undip, Satjipto Rahardjo, menyerukan perlunya Akbar mundur. Alasannya, status Akbar bisa merusak wibawa lembaga wakil rakyat. Berbarengan dengan itu, wacana Dewan Kehormatan DPR juga mengemuka. Sementara itu, Akbar—didukung pasukan politisi Beringin—menyatakan vonis itu tak mempengaruhi posisinya di DPR. Alasannya, vonis itu belum berkekuatan hukum tetap. Jika dirunut, sumber perdebatan kedua pihak bisa dirumuskan secara sederhana: ”Setelah menjadi terpidana, perlukah Akbar Tandjung mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua DPR RI?” Nah, jika Anda juga ingin berpartisipasi, apa pun jawabannya, suarakan lewat www.tempointeraktif.com. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo