Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tiga Relasi Suap Reklamasi

Komisi antikorupsi membongkar jaringan suap di balik pembahasan aturan reklamasi. Orang dekat Basuki Tjahaja Purnama dan Sugianto Kusuma alias Aguan ikut terseret. Keterlibatan pimpinan DPRD terus diusut.

11 April 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUNNY Tanuwidjaja tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Rabu sore pekan lalu, anggota staf Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama itu mendapat informasi bahwa ia dicegah bepergian ke luar negeri oleh Kantor Imigrasi atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sunny mengetahui kabar itu setelah membaca pesan pendek yang baru masuk ke telepon selulernya.

Mantan peneliti Centre for Strategic and Internasional Studies itu mengempaskan tubuhnya ke kursi di Restoran Sate Senayan, Cideng, Jakarta Pusat. Tangannya beberapa kali mengetuk meja. "Gue lemes, nih, kalau dicekal. Enggak bisa tidur," katanya ketika ditemui Tempo, Rabu pekan lalu. Keesokan harinya, KPK resmi mengumumkan cegah-tangkal (cekal) untuk Sunny.

Berlaku enam bulan, pencekalan Sunny berkaitan dengan kasus dugaan suap di balik pembahasan rancangan peraturan daerah (raperda) di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta. Dua rancangan yang dibahas Dewan bersama pemerintah DKI adalah Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dan Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Jakarta. Kedua rancangan peraturan itu akan menjadi payung hukum reklamasi 17 pulau di pesisir utara Jakarta.

Sepekan sebelum mencekal Sunny, penyidik KPK meringkus anggota Badan Legislasi DPRD Jakarta, Mohamad Sanusi. Politikus Partai Gerindra ini dicokok bersama anggota stafnya, Gery, di Mal FX Sudirman, Jakarta, setelah menerima Rp 1 miliar dari Trinanda Prihantoro, Personal Assistant PT Agung Podomoro Land. Duit diserahkan Trinanda kepada Gery melalui Berlian, karyawan Podomoro Land. Tak lama berselang, penyidik menangkap Trinanda dan Berlian di tempat terpisah.

Dalam penangkapan itu, penyidik juga menyita uang Rp 140 juta dan US$ 8.000 yang dibawa Sanusi. Duit Rp 140 juta sisa pemberian sebelumnya, pada 28 Maret. Kala itu Sanusi menerima duit dari Trinanda sebesar Rp 1 miliar. Adapun uang US$ 8.000 milik pribadi Sanusi. Dari hasil pemeriksaan Sanusi dan Trinanda, penyidik mendapat informasi duit digelontorkan atas perintah Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja. Keesokan harinya, KPK mengumumkan Ariesman, Sanusi, dan Trinanda sebagai tersangka. Beberapa jam kemudian, Ariesman menyerahkan diri ke KPK. Adapun Gery dan Berlian akhirnya dilepas karena hanya perantara. Tapi keduanya masih dicegah ke luar negeri.

Jumat itu, komisi antikorupsi juga mengirimkan permohonan pencegahan ke luar negeri untuk Sugianto Kusuma alias Aguan dan Ariesman. Aguan tak lain bos perusahaan properti Agung Sedayu Group. Dua perusahaan ini mengantongi izin reklamasi pulau di pesisir Jakarta. Rabu pekan lalu, KPK juga meminta Imigrasi mencegah Richard Halim Kusuma, Direktur Agung Sedayu Group, yang juga anak Aguan. "Ada beberapa hal yang hendak diklarifikasi kepada mereka," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengenai alasan pencekalan.

Nama Sunny masuk radar KPK sejak awal Februari lalu. Menurut seorang penegak hukum, Sunny ketika itu menghubungi Aguan. Mereka membicarakan kewajiban pengembang membayar kontribusi tambahan 15 persen dalam Raperda Tata Ruang. Aguan menanyakan peluang menurunkan kontribusi tambahan jadi 5 persen. "Ada indikasi Sunny menjanjikan sesuatu kepada Aguan," kata seorang penegak hukum di KPK.

Ketika diperiksa penyidik, Jumat dua pekan lalu, Sanusi membeberkan peran Sunny. Dicecar 17 pertanyaan, Ketua Fraksi Gerindra DPRD Jakarta itu mengaku beberapa kali berkomunikasi dengan Sunny membahas nasib Raperda Tata Ruang Pantura Jakarta. Termasuk yang mereka bahas adalah permintaan Aguan agar kontribusi tambahan bisa diturunkan menjadi 5 persen.

Pada Februari lalu, setelah rapat paripurna pengesahan dua raperda batal untuk kedua kalinya, Sanusi mengaku ditelepon Sunny. Sanusi kembali bertanya apakah Basuki sudah menyetujui permintaan Dewan agar kontribusi tambahan itu menjadi 5 persen. Menurut Sanusi kepada penyidik, Sunny menjawab ia sudah bertemu dengan Basuki. "Kata Sunny, Gubernur sudah oke," ujar Sanusi, yang mengaku tahu detail pertemuan keduanya.

Pengacara Sanusi, Krisna Murti, membenarkan pengakuan kliennya kepada penyidik KPK. Menurut Krisna, Sanusi memang pernah ditelepon Sunny ihwal penurunan kontribusi menjadi 5 persen. "Klien saya ketika itu bertanya, 'Koko lu (Gubernur) gimana soal 5 persen, apa sudah setuju?'," kata Krisna. "Dijawab Sunny sudah oke."

Sunny mengakui pernah berbicara dengan Aguan, yang meminta tuntutan pengembang soal kontribusi 5 persen disampaikan ke Basuki. Agar pembahasan raperda tak berlarut-larut, Aguan juga meminta kontribusi itu dicantumkan dalam peraturan gubernur saja. "Saya bilang nanti saya atur," kata Sunny. Kemudian Sunny menyampaikan pesan Aguan kepada Basuki. "Pak Gubernur bilang terserah, asalkan 15 persen tetap masuk," ujarnya. Sejak awal, Sunny mengaku tak setuju kontribusi 15 persen itu. "Itu memberatkan pengusaha," katanya.

Sunny juga membenarkan pernah berkomunikasi dengan Sanusi. Namun ia mengaku hanya bertanya kenapa dua raperda tak kunjung disahkan DPRD.

Basuki, sementara itu, mengatakan tak tahu bahwa Sunny pernah menelepon Aguan mengenai kontribusi tambahan. Memang Basuki sempat menyetujui kontribusi tambahan masuk ke peraturan gubernur. Tapi itu langkah taktis saja. Soalnya, DPRD sempat mengancam tak akan membahas raperda lagi jika usul mereka ditolak. Adapun soal nilai kontribusi tambahan, sepanjang pembahasan, pemerintah DKI berkukuh tak boleh kurang dari 15 persen.

Aguan belum bisa dimintai komentar. Dicari di kantornya, seorang anggota staf Agung Sedayu meminta Tempo membuat janji lebih dulu. Surat permohonan wawancara juga belum dibalas. Pekan lalu Tempo dua kali mencari Aguan ke kantor Yayasan Buddha Tzu Chi di kawasan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Barat. Di yayasan tersebut, Aguan menjabat ketua. Pada Kamis pekan lalu, sejumlah pegawai Yayasan mengatakan Aguan ada di kantor. Tapi Kepala Pengelola Gedung Buddha Tzu Chi Winarso mengatakan Aguan tak mau ditemui.

* * * *

Pembahasan Raperda Tata Ruang dan Raperda Zonasi jadi pantauan KPK sejak awal Februari lalu. Ketika itu pembahasan memasuki pasal tentang kontribusi tambahan yang wajib dibayar pengembang reklamasi. Kontribusi tambahan usul eksekutif sebesar 15 persen dari nilai jual obyek pajak (NJOP) atas lahan hasil reklamasi.

Sebelumnya, dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta, hanya diatur kewajiban fasilitas sosial dan umum serta kontribusi pengembang seluas 5 persen lahan. Begitu menjadi Gubernur DKI, Basuki menambahkan kontribusi 15 persen. Dengan kontribusi tambahan itu, pemerintah DKI menghitung akan memperoleh duit Rp 48,8 triliun. "Itu untuk membangun infrastruktur," kata Basuki.

Sejauh ini ada tujuh perusahaan pengembang yang akan membangun dan mengelola 13 pulau reklamasi. Karena Raperda Tata Ruang dan Raperda Zonasi belum disahkan, semua pengembang belum mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB). Faktanya, PT Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu Group, sudah membangun rumah toko di sana, yakni di Pulau D. Basuki mengklaim pembangunan sudah dihentikan dan kawasan itu sudah disegel. Tapi dari pantauan Tempo, sampai Rabu pekan lalu, aktivitas pembangunan di pulau tersebut masih berdenyut.

Sembari meneruskan pengurukan pulau, para pengembang terus melobi untuk menurunkan besaran kontribusi 15 persen menjadi 5 persen. Aguan, melalui anaknya Richard Halim, misalnya, mendekati pimpinan DPRD. Komisi antikorupsi mendeteksi sedikitnya tiga kali penyerahan uang untuk anggota Dewan. "Jalurnya lewat pimpinan Dewan dan Badan Legislasi Daerah," ujar seorang petinggi KPK.

Komisi antikorupsi, misalnya, pernah mendeteksi rencana penyerahan "suplemen" untuk Dewan pada 22 Februari lalu. Transaksi akan dilakukan di jembatan penyeberangan yang menghubungkan pusat belanja ITC Mangga Dua dengan kantor Samsat Jakarta Utara. Namun tim KPK yang tengah memantau penyerahan uang malah disergap sekelompok polisi di gerai Indomaret, kawasan Harco Mangga Dua, Jakarta Utara. Tiga penyidik KPK yang mengintai dari balik mobil Kijang Innova digelandang ke kantor Kepolisian Resor Jakarta Utara. Berdalih salah paham, polisi akhirnya melepaskan mereka.

Pengembang tak hanya bergerilya di Kebon Sirih—sebutan untuk kantor DPRD. Aguan juga mencoba melobi eksekutif. Selain melalui Sunny, Aguan beberapa kali bertemu dengan Basuki. Sambil menyantap pempek di rumahnya, Aguan meminta Basuki menurunkan kontribusi tambahan menjadi 5 persen. Basuki membenarkan pernah beberapa kali bertemu dengan Aguan. Namun, menurut Gubernur, dia tak pernah berjanji menurunkan angka kontribusi dari 15 persen.

Karena lobi menurunkan kontribusi tambahan menemui jalan terjal, Aguan meminta bantuan bos Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja. Ia meminta Ariesman memastikan kontribusi tambahan dikunci di angka 5 persen dalam Perda Tata Ruang Pantura. Ariesman pun menawarkan "jasa" Mohamad Sanusi, Ketua Komisi D dan anggota Badan Legislasi DPRD.

Ariesman dan Sanusi sudah dekat sejak 2000-an. Sanusi pernah menjadi Direktur Marketing PT Citicon Mitra Tanahabang. Perusahaan ini digandeng PT Jakarta Realty—perusahaan patungan Jakarta Propertindo dan Agung Podomoro—yang membangun Thamrin City. Lewat Ariesman, Aguan meminta Sanusi membantu meloloskan dulu dua rancangan perda itu. Tujuannya agar pembangunan ruko di Pulau D yang dikelola anak usahanya segera mendapat izin mendirikan bangunan.

Ketika diperiksa KPK pada Jumat dua pekan lalu, Sanusi mengatakan ia pernah dipanggil Aguan ke kantornya. "Pak Aguan komplain, kok pekerjaan anak-anak di DPRD enggak beres-beres," ujar Sanusi kepada penyidik.

Sanusi menggandeng Mohamad Taufik, Wakil Ketua DPRD dari Fraksi Gerindra. Taufik, yang juga kakak Sanusi, adalah Ketua Badan Legislasi DPRD. Semula pentolan Badan Legislasi DPRD merancang skenario agar kontribusi 15 persen diatur dalam peraturan gubernur saja. Ternyata Basuki menyambut baik pengalihan ketentuan kontribusi tambahan ke peraturan gubernur. Ia malah menganggap hal itu sebagai kesempatan untuk menetapkan kontribusi 15 persen tanpa campur tangan DPRD.

Merespons Basuki, politikus Kebon Sirih merancang ulang skenario. Mereka mencoba menyusupkan ketentuan kontribusi 5 persen pada bagian penjelasan Raperda Tata Ruang. Rumusannya sempat berubah dari "lima persen" menjadi "sekurang-kurangnya lima persen". Membaca kehendak baru DPRD itu, Basuki berkukuh menolak dan meminta kembali ke usul semula: 15 persen diatur perda.

Semua skenario yang dititipkan ke sejumlah anggota DPRD dan orang dekat Basuki buyar setelah Sanusi dicokok penyidik KPK. Seharusnya Rabu pekan lalu adalah agenda rapat paripurna pengesahan dua perda ini. Namun rapat itu pun kembali dibatalkan.

Pengacara Ariesman, Ibnu Achyat, mengaku belum tahu manuver kliennya dalam melobi DPRD. "Klien saya belum diperiksa sebagai tersangka. Jadi saya belum banyak tahu," katanya.

Adapun Mohamad Taufik membantah pernah menerima "suplemen" untuk meloloskan pasal kontribusi 5 persen. Menurut Taufik, pembahasan kedua raperda berlangsung sangat terbuka. "Tak ada yang ditutup-tutupi," kata Taufik. Karena itu, Taufik mengatakan siap bila dia dipanggil KPK. Wakil Ketua DPRD lainnya, Triwisaksana, juga menyangkal tudingan bagi-bagi uang di balik pembahasan raperda reklamasi. "Saya tak menerima apa pun. Saya serahkan semuanya ke KPK," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.

Melalui Kepala Pengelola Buddha Tzu Chi Winarso, Jumat pekan lalu, Aguan mengatakan akan mengutus direksi Agung Sedayu Group untuk menjelaskan kasusnya kepada Tempo. Ditemui di Hotel Mulia, Jakarta, Presiden Direktur PT Kapuk Naga Indah, Nono Sampono, menjelaskan panjang-lebar soal proyek reklamasi, termasuk tuduhan kepada anak perusahaan Agung Sedayu tersebut. Tapi Nono meminta semua penjelasannya tak dikutip.

Komisi antikorupsi masih memburu jejaring suap Ariesman-Sanusi. Pekan ini, KPK akan memanggil sejumlah anggota DPRD. "Indikasi keterlibatan mereka ada, tapi sinyalnya masih lemah," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.

Anton Aprianto, Syailendra Persada, Mawardah, Nur Haryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus