Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sisi Lain Kehidupan Pelukis Ahmad Sadali

Sisi lain kehidupan pelukis Ahmad Sadali. Aktif dalam organisasi dan kehidupan religius di Bandung.

6 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENYAIR Taufiq Ismail bangkit dari kursi rodanya menuju meja mimbar. Dia mengajak hadirin membaca Surat Al-Fatihah untuk mendiang Ahmad Sadali, sosok yang dikenalnya sejak 1963 sebagai aktivis, dosen, guru besar, dan pelukis terkenal. Taufiq yang didapuk membuka acara pameran “Seabad Sadali: Menjejak Bumi Menembus Langit” di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, menyiapkan sebuah puisi khusus yang dibuatnya pada 1991 di Iowa, Amerika Serikat. “Kang Dali, bumi sejati dan lempeng emas, garis laut dan kalam langit, mineral menyanyi dan kau lihatlah torehan nasib jagat,” katanya, Kamis sore, 19 September 2024. Di tanggal dan bulan yang sama pada 1987, Sadali wafat pada usia 63 tahun di rumahnya, Jalan Bukit Dago Utara I Nomor 9, Bandung, lalu dimakamkan di Panyingkiran, Garut, Jawa Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepergian Sadali terasa menyentak. Ravi Ahmad Salim, putra semata wayangnya, mengungkapkan, pada saat subuh, Sadali ditemukan berbaring menghadap kiblat tanpa bergerak. Dokter yang dihubungi dan datang ke rumah memastikan Sadali telah berpulang. Malam sebelum meninggal, Sadali sempat menemui dokter langganannya selama puluhan tahun di Jalan Dago-Ganesha. “Beliau tidak menemukan gejala apa-apa selain flu dan kelelahan karena baru dari luar negeri dan ada pameran di Erasmus Huis, Jakarta,” ujar Ravi, Selasa, 24 September 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lahir sebagai anak ketujuh dari 14 bersaudara, Sadali besar di lingkungan keluarga muslim yang mengutamakan nilai agama dan pendidikan. H M. Djamhari, ayahnya, adalah pengusaha, pemilik perkebunan, dan tokoh penting Muhammadiyah di Garut yang juga menyukai musik Barat. Sadali disekolahkan di Hollandsch-Inlandsche School Boedi Prijaji dan madrasah pada 1931, lalu masuk Meer Uitgebreid Lager Onderwijs Pasundan di Tasikmalaya pada 1938. Studinya berlanjut ke Algemeene Middelbare School/Sekolah Menengah Tinggi A di Yogyakarta pada 1941-1944. Setelah lulus di masa perang kemerdekaan, Sadali bersama Agus dan Otto Djaya serta Henk Ngantung ikut membuat mural untuk mengobarkan semangat pejuang.

Pelukis, Prof. Ahmad Sadali, bersama istrinya, Atika, di Bandung, Jawa Barat, 1984. Dok.Tempo/Syafiq Basri

Pulang ke Garut, Sadali menjadi Kepala Penyiaran Radio Republik Indonesia Darurat pada 1946. Di tahun itu juga, pada 16 Februari, dia menikahi Atika. Ketika hijrah ke Bandung untuk bersekolah di Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar pada 1948, yang kemudian menjadi Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB), Sadali memboyong istrinya. Mereka indekos di Jalan Surya Kencana, tak jauh dari ITB. Atika melahirkan sepuluh anak, tapi hanya anak kesembilan yang berumur panjang, yaitu Ravi Ahmad Salim, yang lahir pada 1963. Semua kakak dan adiknya meninggal ketika masih berusia 1-2 hari.

Ravi mengungkapkan, Sadali pernah kuliah kedokteran di Jakarta demi menuruti keinginan ayahnya pada 1947. Meskipun nilai pelajarannya bagus, dia malah memutuskan keluar. “Ayah saya menyerah karena selalu pusing-pusing kalau melihat darah,” ucapnya, Sabtu, 21 September 2024. Keputusan itu mengecewakan Djamhari. Ketika sakit sebelum meninggal, sang ayah pun menolak Sadali ikut mendoakannya. “Ganti sama yang lain, saya tidak mau dibacakan ayat oleh anak yang sekolahnya tidak tuntas," kata Ravi menirukan ucapan kakeknya kepada ayahnya. Sadali terpukul.

Sepeninggal ayahnya, pendidikan Sadali turut disokong beasiswa. Sambil kuliah, dia mengajar gambar di sekolah yang kini menjadi Sekolah Menengah Atas Negeri 3 dan SMAN 5 Bandung. Di kampus, ia pun menjadi asisten pengajar mata kuliah anatomi, ilmu ukur lukis, menggambar di papan, dan tinjauan seni. Di luar itu, Sadali menjadi ketua sekaligus pendiri Himpunan Mahasiswa Islam Bandung serta merancang logonya yang masih dipakai sampai sekarang. Pernah ikut dalam pameran mahasiswa seni rupa di Amerika Serikat pada 1951, Sadali meraih Hadiah Seni Lukis Indonesia Baru 1952 dari pemerintah lewat lukisannya yang berjudul Bunga Matahari. Adapun lukisan Dua Gadis karyanya menjadi koleksi Presiden Sukarno. 

Sadali melanjutkan studi ke State University of Iowa dan Columbia University of New York, Amerika Serikat, pada 1956-1957 dengan beasiswa Rockefeller Foundation Division of Humanities. Sekembali ke Bandung, pada 1958, ia mendirikan jurusan studi desain interior di ITB. Sadali pun ikut mendirikan Perguruan Tinggi Islam yang kini bernama Universitas Islam Bandung di Jalan Taman Sari bersama Sjafe’i Soemardja, dokter Chasan Boesoirie, Oja Somantri, R Kosasih, R Sabri Gandanegara, dan Dadang Hermawan.   

Ada kabar di masa itu, sepulang dari Amerika Serikat, Sadali disebut sebagai agen Badan Intelijen Pusat Amerika (CIA). Yustiono, mantan asisten dosen Sadali, membantah tudingan itu. Adapun Ravi menganggap isu CIA itu sesuatu yang wajar seiring dengan kontroversi aliran seni Sadali dengan pihak lain serta kondisi politik global dan nasional yang berkembang. “Kalau (Sadali) dituding agen CIA sih kami belum pernah dengar,” ujarnya. Kiprah Sadali di bidang keagamaan bersama koleganya pada 1960-an kemudian tertuju ke pembangunan masjid dekat kampus ITB.

Menurut dosen ITB, Syarif Hidayat, ide pendirian masjid itu dilatari kesulitan sebagian warga kampus yang muslim ketika hendak menunaikan salat bersama, terutama tiap Jumat. Mereka harus pergi jauh ke masjid di Jalan Cihampelas atau Cipaganti. Sekretaris Pembina Yayasan Pembina Masjid Salman ITB itu mengatakan beberapa pihak, termasuk rektor, menolak keberadaan masjid dengan beragam dalih. “Kebetulan dapat koneksi ke Bung Karno yang setuju menjadi pelindung,” katanya, Sabtu, 21 September 2024. Saat pendiri masjid bertemu pada 1963, Sukarno menamakannya Salman. Bangunannya yang tanpa pilar di ruang utama dan tanpa kubah dirancang oleh arsitek Achmad Noe’man, adik Ahmad Sadali.

Karya perupa Ahmad Sadali tahun 1984 tanpa judul dari kutipan surat Al Isra ayat 82-83 di pameran Seabad Sadali:Menjejak Bumi Menembus Langit di Selasar Sunaryo, Bandung, Jawa Barat, 27 September 2024. Tempo/Prima mulia

Seraya aktif membangun Masjid Salman, Sadali yang masih lekat dengan dunia seni berpameran bersama seniman lain di Jakarta hingga Bangkok pada 1966-1967. Posisinya di kampus pun meningkat dari dekan pada 1968-1969 menjadi pembantu rektor urusan kemasyarakatan. Setelah ia menjadi guru besar ITB pada 1972, kiprahnya terus berlanjut di kampus dan seni rupa serta keagamaan. Di luar itu, Sadali pernah menjadi nomine 50 pria berbusana terbaik se-Jawa Barat pada 1986.

Selain sering berpenampilan necis dengan pakaian bermerek internasional, Sadali dikenal sebagai pribadi yang disiplin dan apik. Kesan itu menempel kuat pada ingatan Ati, istri Taufiq Ismail, yang mengenal dekat Sadali sejak sekitar 1975. Ada kejadian unik pada 1986 ketika Ati datang ke rumah Sadali untuk memborong 15 karyanya dengan beragam corak. “Dia keluarkan dari kantong celananya meteran kecil, diukur ke atas, ke samping, terus ia keluarkan kalkulator kecil,” tuturnya, Selasa, 24 September 2024. Sadali menghitung dan mengukur satu per satu lukisan yang akan ia lepas dengan harga Rp 4-6 juta per karya itu.

Sikap dan pandangan Sadali antara lain bisa disimak dalam naskah ceramahnya pada saat peringatan Nuzululquran di Masjid Istiqlal, Jakarta, pada 1975 yang berjudul "Harmoni antara Rasio, Rasa, dan Religiusitas, Pendekatan Qurani". Pemikiran Sadali, menurut Yustiono, pada dasarnya terpusat pada suatu bentuk keseimbangan atau integrasi di antara unsur-unsur potensialitas manusia. Menyitir Surat Ali Imran di Al-Quran ayat 190-191, Sadali menemukan bentuk pemikirannya bahwa manusia yang sempurna dapat tercapai apabila mampu mengembangkan dan mengintegrasikan tiga potensialitas (rasa, rasio, dan iman) dengan tiga keinginan hidup (keindahan, kebenaran, dan kebaikan).

Sadali, Yustiono menambahkan, menyebut ketiga nilai itu sebagai Triangular Harmony. Sebagai perupa, dia menggambarkan bentuknya sebagai segitiga sama sisi dan menjadi tema sentral dalam lukisan berwujud gunungan. Dia menilai Sadali berhasil mentransformasi gunungan tradisional yang bersifat mistis menjadi gunungan geometris nan konseptual dengan setiap ujungnya merepresentasikan pikir, zikir, dan iman.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tiga Sisi Ahmad Sadali"

Anwar Siswadi

Anwar Siswadi

Kontributor Tempo di Bandung

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus