Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada mendung tak ada gerimis, puluhan lukisan Tatang Ganar (1939-2004) mendadak dipamerkan. Maka pameran yang dikuratori Anna Sungkar ini boleh dibilang mengejutkan. Sebab, sejak memasuki 2000, nama Tatang sesungguhnya telah tenggelam, baik dalam perbincangan wacana, pergunjingan sejarah, maupun pergerakan pasar. Padahal Tatang adalah sosok penting sampai 1990-an. Pada 1960, sejumlah karyanya bahkan menjadi koleksi Presiden Sukarno. Salah satunya dimasukkan ke buku besar koleksi sang Presiden. Namun, mungkin lantaran Tatang kurang unjuk diri, dalam buku tersebut namanya tertulis salah: T. Ganani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pameran yang diselenggarakan di 75 Gallery, Mampang, Jakarta Selatan, sampai 13 Oktober 2024 ini digelar secara historiografis. Semua lukisan dari periode yang dilewati Tatang dipertunjukkan. Berbagai jenis gaya lukisan yang pernah dia kerjakan dipertontonkan. Dari yang sifatnya nasionalistis, karikaturalistik, biografis, iseng, sampai yang komersial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, di dalam ruangan kita bertemu dengan lukisan Pulang dari Garis Depan yang menceritakan seorang lelaki pejuang yang pulang dengan selamat serta disambut istri dan anaknya. Ada pula lukisan yang mengisahkan beratnya hidup rakyat jelata, seperti Pulang Bawa Ikan, Penjual Kalung, dan Pulang dari Laut. Terjajar juga lukisan aneka bunga, baik yang di taman sampai yang terangkai dalam vas di atas meja, dalam berbagai gaya. Bahkan ada gambar vinyet dalam kanvas-kanvas kecil, kreasi ringan yang dibikin untuk mencari nafkah.
Sebuah lukisan berjudul Korban Ulah Sesama dipamerkan pada pameran tunggal Tatang Ganar di 75 Gallery, Mampang, Jakarta, Selasa, 1 Oktober 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Namun kelengkapan periode dan jenis lukisan yang ditampilkan pameran ini sesungguhnya hanyalah introduksi. Selanjutnya kita akan dibawa untuk berfokus pada album sejati lukisan Tatang, yang memuat karya bertema kehidupannya yang kelam. Perlu diketahui, Tatang adalah pelukis anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI), partai terlarang selepas kudeta Gerakan 30 September 1965. Sebagai anggota Lekra, Tatang ditangkap, dinistakan, dan dimasukkan ke penjara sebagai tahanan politik atau tapol. Cerita gelap pun segera dominan.
Otobiografi seorang penyair adalah puisinya, selebihnya adalah catatan kaki belaka. Begitulah kata Yevgeny Yevtushenko, penyair Rusia ternama. Jika boleh diteruskan, otobiografi pelukis adalah lukisannya, selebihnya adalah cerita di balik lukisan-lukisan itu. Lukisan-lukisan Tatang adalah contohnya. “Lukisan saya memang semacam buku harian ihwal kepahitan yang saya rasakan dari jam ke jam,” ujarnya.
Syahdan, pada 1969, di kanvas berukuran setengah depa, Tatang melukis seekor anjing yang sedang digantung dengan mata melotot dan kaki yang masih meronta-ronta. Padahal anjing itu, dalam gambarannya, sudah tinggal tulang rangka.
Lukisan Tatang Ganar yang berjudul Mimpi Buruk. Tempo/Agus Dermawan
Tatang bercerita, lukisan itu tercipta setelah ia melihat anjing kesayangannya dikuliti oleh para teman sesama tahanan. Anjing itu dimasak dan dijadikan makanan. Tatang marah tiada terkira. Namun kemarahan itu berubah menjadi pemakluman ketika para temannya mengatakan bahwa mereka sangat butuh makanan. Selama berbulan-bulan, penjara sengaja menghajar para tapol dengan siksa kelaparan. Tatang pun dengan menangis melukis anjingnya yang malang itu. Lukisan berjudul Mimpi Buruk tersebut dengan pedih ia simpan rapat-rapat sehingga tidak banyak teman yang melihatnya.
Pada 1975, seorang tapol yang bekerja sebagai penyair mengalami depresi berat di dalam sel. Penyair itu berkali-kali hendak melakukan bunuh diri setelah beberapa kali membisikkan sebaris puisi karya Percy Bysshe Shelley, penyair Inggris abad ke-19. “Sungguh harapan itu ternyata lebih buruk dari keputusasaan. Dan lebih buruk daripada kepedihan kematian.” Tatang trenyuh, ngeri, dan merasa harus memberi kekuatan. Lalu dia ambil lukisan Mimpi Buruk yang selama itu ia simpan. Ia mengatakan juga pernah berada di titik nadir. Namun kehidupan harus terus dijaga. Ia mencontohkan anjingnya yang sampai mati pun tidak sia-sia.
Sial, ketika dia menunjukkan lukisan itu, dua sipir penjara lewat. Lukisan itu diambil dan diselidiki maknanya. Kepala sel tahanan politik menyimpulkan Tatang menghujat tentara yang anti-PKI sebagai anjing kampung, lalu menggantungnya sampai mati. Tatang tentu terkejut atas tafsir politis itu. Tatang mencoba menjelaskan. Namun kepala sel tapol tetap berkukuh pada pendiriannya. Tatang pun mendapat hukuman tambahan dan lukisan itu dihancurkan. Akibatnya, di kemudian hari, Tatang harus membuat ulang lukisan itu dalam versi lain.
Lukisan potret diri Tatang Ganar. Tempo/Agus Dermawan
Alkisah, pasca-Gerakan 30 September1965, kediaman para tokoh Lekra dirusak massa. Salah satunya rumah di Gang Pabaki, Bandung, kediaman Hendra Gunawan, pelukis tersohor pendiri sanggar Pelukis Rakyat. Dalam penggropyokan itu, Tatang melihat massa mengeluarkan lukisan besar Hendra, Pengantin Revolusi, yang akhirnya menjadi adikarya legendaris. Lukisan itu ditekuk, dipotong dalam lipatan, kemudian dibuang ke dalam got. Setelah perusuh pergi, lukisan yang rusak berat tersebut dipungut oleh Tatang dan diselamatkan di dalam rumahnya. Tapi akibat buruk menyertai kebaikannya itu. Sejumlah orang yang melihatnya melaporkan Tatang kepada tentara. Lalu, hap! Tatang pun ditangkap.
Maka Tatang menjadi tahanan kota. Setahun kemudian, ia diseret masuk bui dan dipindahkan ke sana-sini. Pada 1968, ia ditetapkan sebagai penghuni sel tahanan politik Kebon Waru, Bandung. Di penjara itu ada Hendra Gunawan, yang lukisannya ia selamatkan.
Di dalam sel, Tatang tak henti melukis “biografi”-nya. Satu lukisannya menggambarkan sebilik tahanan dalam judul Kamarku. Ia bercerita, ruangan itu adalah kamar idaman para tapol. Padahal bilik tersebut adalah bekas toilet polisi yang tak terpakai lagi. “Tapi inilah kamar yang paling istimewa. Sementara bilik lain begitu sempit. Cuma untuk ngegoler, tanpa bisa membalik badan.”
Pengunjung memperhatikan lukisan berjudul Botoh Jago pada pameran tunggal Tatang Ganar di 75 Gallery, Mampang, Jakarta, Selasa, 1 Oktober 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Tatang juga melukis ruangan gelap berjeruji besi bergembok besar dengan di baliknya samar terlihat mayat-mayat terbungkus kain kafan. Lukisan berjudul Kas Blok itu bercerita tentang solidaritas para tahanan yang selalu urunan membeli gembok dan lampu bila ada yang rusak. Mereka pun patungan membeli kain kafan bila ada rekan yang meninggal. “Oleh rezim Orde Baru kami dipaksa memenjarakan diri kami sendiri, menerangi diri sendiri, bahkan mengubur diri kami sendiri. Horor,” ucapnya.
Tapi lukisan Tatang tidak melulu berisi cerita hitam politik. Di dalamnya juga terkisah kepahitan keluarga. Selama dalam tahanan, tentu Tatang hidup tanpa penghasilan. Istrinya tidak kuat dan lantas meminta cerai pada 1971. Mendengar kabar sedih itu, ayahanda Tatang terkejut tak alang kepalang, sampai kemudian sakit berkepanjangan dan meninggal pada 1972. Tatang melukiskan dukacita bertubi-tubi itu dalam Anjing Baung, yang menggambarkan anjing melolong di bawah langit hitam dengan disaksikan bulan sepotong. Beruntung, Tatang pelan-pelan mendapat gantinya, Asronah, wanita yang sama-sama meringkuk sebagai tahanan politik. Jauh hari kemudian, sang istri wafat di hadapan Tatang selepas menjalani transplantasi ginjal di India.
Pelukis Tatang Ganar di Jakarta, 1988. Dok. Tempo/A. Muin Ahmad
Akhirulkalam, Tatang Ganar, yang memiliki studio besar berhias ratusan bonsai dan batu suiseki di kawasan Cigadung Raya, Bandung, wafat pada 30 September 2004. Tanggal dan bulan sialan yang menjadikan ia menderita berat di separuh kehidupannya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo