Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAPUAN cat biru tua atau ultramarine mendominasi dengan sedikit permainan gelap-terang. Sepotong bidang di sudut kiri bawah berwarna cokelat tanah dan hitam di sebelahnya dikontraskan dengan bidang-bidang panjang yang tegak dan melebar berwarna emas dan sedikit hijau muda. Lukisan abstrak berjudul Gunungan 3D buatan 1980 itu berukuran 80 x 80 x 12 sentimeter. Bercat minyak dengan baluran pasta pualam dan lembaran emas, bidangnya dibentuk limas segi empat yang landai sehingga menonjol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara beberapa lukisan lain digambar pada permukaan kanvas yang rata, sebagian karya sengaja dibuat bertekstur. Misalnya dengan menggunakan bahan pasta pualam atau kanvasnya didorong dari belakang sehingga membentuk semacam relief. Kadang juga muncul tekstur tipis dari goresan ayat Al-Quran yang ekspresif. Dalam pameran "Seabad Sadali: Menjejak Bumi Menembus Langit" di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, itu, penyelenggara menampilkan 70 lebih lukisan dan gambar karya Ahmad Sadali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya grafis perupa Ahmad Sadali dengan teknik cukil kayu tanpa judul tahun 1987 di pameran Seabad Sadali: Menjejak Bumi Menembus Langit di Selasar Sunaryo, Bandung, Jawa Barat, 27 September 2024. Tempo/Prima mulia
Pameran yang direncanakan berlangsung selama 19 September 2024-26 Januari 2025 itu terbagi dalam tiga ruangan: Galeri B (bawah) dikhususkan untuk karya lukisan, Galeri Sayap memajang karya gambar, dan Bale Tonggoh menjadi tempat sebagian arsip, dokumen, serta koleksi barang pribadi Sadali. Adapun ruang belakang yang bertirai digunakan seniman media baru Eldwin Pradipta untuk menafsirkan Sadali secara imersif.
Memanfaatkan perangkat lunak dan kecerdasan buatan, Eldwin membuat karyanya interaktif dengan lingkungan sekitar, termasuk pengunjung. Lewat sebuah kamera yang terpasang, karyanya menangkap gerakan pengunjung dan memprosesnya menjadi tampilan baru yang dinamis. Karya Eldwin diharapkan bisa menghadirkan kembali warisan mendiang Sadali dalam format yang kontemporer dan interaktif sehingga lebih sesuai dengan minat pengunjung masa kini.
Ahmad Sadali, yang lahir di Garut, Jawa Barat, 29 Juli 1924, telah berpulang pada usia 63 tahun di Bandung, Sabtu dinihari, 19 September 1987. Pameran tunggal terakhirnya digelar di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis di Jakarta pada 2-12 September 1987. Dalam pamerannya kini di Bandung, duet kurator Heru Hikayat dan Puja Anindita menghadirkan lukisan Sadali yang bertarikh 1949-1987. “Tapi periode 1960-an enggak ada sama sekali,” kata Anindita. Diduga saat itu Sadali jarang melukis, terkait juga dengan situasi politik yang berkembang.
Suasana pameran Seabad Sadali:Menjejak Bumi Menembus Langit di Selasar Sunaryo, Bandung, Jawa Barat, 27 September 2024. Tempo/Prima mulia
Lukisan karyanya yang paling lawas di ruang galeri adalah buatan 1949 dengan judul Chair and Boat pada papan berukuran 46,5 x 35,8 sentimeter. Menggunakan cat minyak, Sadali menggambar sebuah kursi antik yang bersanding dengan perahu layar. Lukisan itu dibuatnya semasa awal kuliah di Universitarie Leergang voor de Opleiding van Takenleraren atau Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar. Kampus yang menjadi bagian dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung itu merupakan cikal bakal Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pengajarnya di kelas adalah guru dan seniman dari Belanda, seperti Ries Mulder, F.J.P. Zeijlemaker, J.M. Hopman, dan Piet Pijpers. Sejak saat itu, Sadali mempelajari seni Barat dengan corak lukisan seperti kubisme dan formalisme. Lukisan karyanya antara lain Central Park New York, Bersepeda, dan Becak Driver, juga gambar wajah seorang perempuan tanpa judul dan tak diketahui tahun pembuatannya. Dalam perkembangan kariernya sebagai pelukis, Sadali terpengaruh gaya abstrak.
Mantan dosen yang juga eks asisten dosen Sadali di ITB, Yustiono, membagi periode lukisan Sadali menjadi lima fase. Pada fase pertama, 1949-1952, gaya lukisan Sadali adalah abstraksi obyek. Kemudian gayanya menjadi bidangan pada 1953-1956, bidangan abstrak pada 1957-1962, abstrak formalistik pada 1963-1968, dan fase terakhir abstrak meditatif. “Sadali ini perintis seni rupa modern keislaman,” ucap Yustiono saat ditemui Tempo seusai acara pembukaan pameran, Kamis, 19 September 2024.
Karya perupa Ahmad Sadali tahun 1983 tanpa judul dari kutipan surat Al Ghashiyah ayat 17-20 di pameran Seabad Sadali: Menjejak Bumi Menembus Langit di Selasar Sunaryo, Bandung, Jawa Barat, 27 September 2024. Tempo/Prima Mulia
Dari catatan kurator, guru Sadali, yaitu Ries Mulder, berusaha menggali potensi semua komponen visual, termasuk warna serta efek cahaya yang digubahnya dalam bidang-bidang yang terfragmentasi pada kanvas secara datar. Pelukis mengamati sekaligus membayangkan obyek sebagai sesuatu yang berfisik atau tampak oleh mata dan meneliti setiap aspeknya, yaitu materialitas, nuansa bentuk, dan dimensi. Kecenderungan itu tampak pada kekaryaan Sadali sejak akhir 1940-an hingga 1950-an.
Dalam lukisan Mulder ataupun Sadali, obyek seperti bangunan, manusia, atau pohon tidak digambarkan dalam bentuk alaminya, tapi terfragmentasi. Citranya dibuat menjadi kotak-kotak dan disederhanakan. Dalam karya-karyanya sejak 1970-an hingga akhir hayatnya, Sadali membuat inovasi dengan menjelajahi bentuk kanvas. Bidang lukisannya tidak lagi datar, tapi tiga dimensi. Barik pada lukisannya tampak terbelah, retak, dan kasar, seolah-olah menunjukkan sifat alami bahan yang digunakannya, yakni pasta pualam atau marmer.
Pada seri lukisan berjudul Sanur Bali (1973), misalnya, Sadali mereduksi bentuk figur tapi tidak lagi membagi bidang-bidang yang terfragmentasi dengan garis tegas. Jejak formalisme itu lantas beralih dengan nuansa islami yang juga menghadirkan ayat Al-Quran dalam lukisannya. Sebagian kalangan menganggap Sadali sebagai pelukis kaligrafi. Namun, dalam artikel di majalah Tempo, 10 September 1983, dia menyanggahnya. Menurut Sadali, untuk membuat kaligrafi, diperlukan keahlian anatomi dan penghurufan atau lettering. “Sedangkan saya tak begitu ahli,” ujarnya. Sadali lebih setuju jika lukisan huruf Arab itu disebut sebagai grafiti, coretan berbentuk huruf dengan keserasian warna.
Suasana pameran Seabad Sadali:Menjejak Bumi Menembus Langit di Selasar Sunaryo, Bandung, Jawa Barat, 27 September 2024. Tempo/Prima mulia
Pandangannya tentang kaligrafi dan seni budaya Islam tertuang dalam makalah setebal tujuh halaman yang ditulis dengan mesin tik. Sadali menyiapkannya untuk disampaikan dalam acara Muktamar Pemuda Muhammadiyah Ke-8 di Solo, Jawa Tengah, yang berlangsung pada 7-11 Desember 1985. Dia menyatakan, antara lain, kaligrafi yang secara etimologi berarti tulisan yang indah merupakan ranting seni rupa.
Sadali menyambut gembira ketika lukisan kaligrafi Islam marak diminati kalangan pelukis abstrak pada 1968-1980. Fenomena itu, menurut dia, bisa menjadi alternatif baru dalam pengungkapan seni rupa modern Indonesia. Meski begitu, Sadali juga melontarkan kritik. “Sering kali bukan kaligrafi benar-benar yang hadir, bahkan grafiti atau coretan bentuknya,” katanya. Karena itu, dalam pengantar buku Seni Kaligrafi Islam tulisan Sirajuddin A.R., Sadali menganjurkan para pelukis kaligrafi mempelajari anatomi huruf Al-Quran. “Sebab, walaupun grafiti yang diinginkan, itu akan memiliki wibawa yang lain sekali bila anatominya dikuasai.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo