"HATI-hati kalau menyeberang jalan". Salah-salah kena tilang. Pengumuman itu dikumandangkan di seantero Bandung sejak Operasi Patuh I dilancarkan akhir September lalu. Beberapa pejalan kaki yang bandel atau pura-pura tak tahu, ya maaf, sayang, jika ditilang. Heri Haerudin, misalnya. Ketika menyebrang Jalan A. Yani, Pasar Kosambi, ia dihadiahi kertas tilang. Penduduk Desa Leles, Ciparay, Majalaya, itu enak saja melenggang, kendati tak jauh dari situ ada jembatan penyeberangan. Seorang Polwan yang sedang bertugas di situ kontan menegur. "Kenapa nggak lewat jembatan penyeberangan?" kata polisi wanita tadi. Heri, 33 tahun, semula ngotot. "Biasanya, mah, nggak diapa-apakan. Dari dulu saya suka jalan di bawah jembatan," kilah Heri. Meski rada dongkol, ia mau juga menandatangani surat tilang. Pelanggaran semacam itu bukan hanya dilakukan oleh Heri. "Rata-rata setiap hari kami menjaring 100 pelanggar," kata sumber di Poltabes Bandung. Setiap pelanggar dibekali surat tanda pernah berbuat kesalahan. Surat tilang yang mencantumkan jenis pelanggaran, lokasi, jam kejadian, termasuk identitas si pelanggar harus disampaikan ke ketua RT. Kalau yang melanggar seorang siswa, ia wajib menyerahkan ke kepala sekolah. Begitu pula bagi karyawan kantor, ia harus menyerahkan ke atasannya. Cuma itukah sanksinya? Ya, sementara. Dalam surat tilang memang ditulis: jika melakukan pelanggaran lagi akan ditindak sesuai dengan undang-undang. "Tapi itu cuma gertakan," kata seorang petugas. "Tak ada sanksi. Cuma, supaya para warga lebih tertib saja," tuturnya. Upaya itu bukan tanpa hasil. "Sekarang saya akan lebih berhati-hati dan akan tertib," kata Heri kepada Riza Sofyat dari TEMPO. Ia memang nggak ngotot lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini