KITAB Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kita berdasarkan asas konkordansi adalah duplikat KUHP Belanda. Mulai berlaku sejak 1 Januari 1918 -- hampir tiga dekade setelah Belanda memberlakukannya. Tentu dapat dimengerti kalau KUHP kita sudah ketinggalan zaman dan mengandung unsur-unsur kolonial di sana-sini. Dengan sendirinya ia tidak sanggup berhadapan dengan penyalahgunaan komputer. Kalau KUHP kita hendak dipakai untuk kasus penyalahgunaan komputer, tugas berat itu terpaksa diselesaikan hakim melalui yuris prudensi. Dalam hal demikian, peranan doktrin menjadi relevan. Tapi apakah hakim siap membuka trase baru melalui yuris prudensi? Bagaimana masalah lex certa dalam kaitan dengan asas legalitas harus ditangani ? Sejarah acap kali menguak pelajaran berharga. Dalam menghadapi penyalahgunaan komputer ada baiknya diingat kembali kasus penyalahgunaan tenaga listrik. Pada awal 1920-an, ketika ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang maju, permasalahan yang bertalian dengan penyalahgunaan tenaga listrik belum siap dihadapi para hakim. Lalu, pada 1922, pembentuk undang-undang di Belanda menggantikan perumusan tenaga uap dengan tenaga mesin. Ketika telepon dan pesawat radio ditemukan, undang-undang itu diubah lagi dengan undang-undang baru yang berlaku mulai 4 Mei 1954. Tentu tidak semua hal dapat diatasi pembentuk undang-undang. Acap kali hakim harus mengambil alih sikap ragu para pembentuk undang-undang. Contohnya, keputusan klasik Mahkamah Agung Belanda (23 Mei 1921) tentang pencurian listrik. Kasus ini, di mata pembentuk undang-undang Belanda, tidak dapat diadili karena benda yang dicuri tidak kelihatan (immateriil). Tapi hakim pada MA Belanda berpendapat lain, dan menyamakan kasus pencurian listrik dengan pencurian lain. Menghadapi penyalahgunaan komputer, Menteri Kehakiman Belanda pada 13 November 1985 membentuk panitia yang antara lain, mempelajari bagian-bagian hukum pidana materiil dan formal yang bertalian dengan penyimpanan, pengolahan, dan pertukaran data yang menyangkut alat-alat seperti komputer. Lalu, mengusulkan perubahan dalam perundang-undangan. Ternyata, permasalahan yang bertalian dengan penyalahgunaan komputer terlalu kompleks. Apakah penyalahgunaan komputer dapat dinamakan kejahatan komputer? Panitia yang ditugasi oleh Menteri Kehakiman Belanda itu berpendapat bahwa kejahatan komputer selalu diasosiasikan dengan perbuatan merugikan yang menyangkut sistem pengolahan informasi atau data. Berdasarkan konsensus internasional, perbuatan yang dipandang penyalahgunaan komputer: Pertama, apa yang dinamakan joycomputing. Istilah ini mengingatkan orang kepada joyriding -- memakai mobil orang lain tanpa izin untuk bersenang-senang, dan setelah itu mengembalikannya lagi kepada pemiliknya. Kedua, memperoleh akses (access) dalam penggunaan komputer tanpa kewenangan. Ketiga, memanipulasi data -- mengubah, menambah, atau membuat tidak dapat dipakai. Keempat, mengopi data tanpa hak dan secara melawan hukum. Kelima, menghalangi atau mencegat komunikasi data. Keenam, mengopi program secara melawan hukum, baik untuk tujuan komersial maupun bukan. Dalam mengkaji masalah penyalahgunaan komputer, ada baiknya disimak disertasi Cornelia Frida Katz (1916) yang membicarakan tenaga listrik, lima tahun sebelum ada yuris prudensi mengenai pencurian aliran listrik oleh seorang dokter gigi. Katz berpendapat, tenaga listrik memiliki sifat mandiri, dapat dijadikan hak milik, memiliki nilai ekonomis. Pendapat Katz yang penting, dan juga berlaku untuk masa kini, bahwa yang dilindungi bukan cuma tenaga listrlk, juga kemampuan kerjanya. Pendapat Katz didasarkan atas pendapat Binding, yang melihat tenaga (energie) sebagai sesuatu yang memiliki sifat yuridis, karena itu membawa serta akibat hukum. Apa sebetulnya yang ingin dilindungi sehubungan dengan penyalahgunaan komputer? Apakah yang hendak dilindungi itu data yang telah diolah dalam bentuk digital atau informasi yang tersimpan dalam komputer? Telah diketahui bahwa faktor informasi yang disimpan dalam komputer memiliki makna sangat penting. Dengan pemakaian komputer, kertas, yang sampai sekarang memegang peranan penting dalam menyimpan informasi, menjadi tidak relevan. Itu berarti unsur delik dalam pasal 263 KUHP yang menyangkut makna "surat" harus ditinjau kembali, jika penyalahgunaan komputer dirumuskan dalam bentuk perbuatan pidana. Sisi lain yang segera menampakkan diri ialah makna barang-barang yang diklasifikasikan sebagai barang-barang immateriil. Jika semua itu dihubungkan dengan perumusan delik untuk mancakupnya dalam suatu perbuatan pidana, bagaimana dengan unsur "kekayaan" sebagai suatu barang, seperti dalam pasal 363 KUHP? Apakah suatu perbuatan pidana selalu harus dikaitkan dengan perbuatan manusia? Bagaimana dengan perbuatan robot? Mungkinkah dapat dikategorikan sebagai suatu "perbuatan komputer"? Dalam penipuan, misalnya, apakah dapat dikategorikan "menggerakkan orang lain", seperti dalam pasal 378 KUHP? Dalam pada itu, akan timbul beberapa permasalahan. Apakah perbuatan seperti mempergunakan tanpa kewenangan (furtum usus) suatu peralatan yang mengolah data secara otomatis, tanpa kewenangan memperoleh informasi yang disimpan dalam komputer, bisa dipandang sesuatu yang dapat dipidana? Hal lain yang tentu akan menimbulkan permasalahan dalam doktrin yaitu masalah interpretasi. Tidak selalu perumusan delik itu memiliki sifat lex certa. Jika keadaannya demikian, bagaimana stare decisis menyelesaikannya? Ada sarjana yang berpendapat bahwa dalam pertalian dengan delik harta kekayaan, maka pencurian, penggelapan, penipuan, dan perusakan adalah kurang tepat memandang keterangan atau data komputer sebagai suatu barang. Mengingat penyalahgunaan komputer mencakup pelbagai aspek dan faset yang bukan saja menyangkut teknologi, informasi, dan data, Jika ada keinginan untuk merumuskan sebanyak mungkin delik yang bertalian dengan penyalahgunaan komputer, hal itu perlu dikaji secara mendalam. Dalam merumuskan delik yang menyangkut komputer perlu disadari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam 25 tahun mendatang. Dalam perspektif yang demikian, perumusan suatu delik perlu memiliki sifat luwes dan kenyal. Dengan bantuan doktrin dan yuris prudensi, delik yang dirumuskan demikian tentu akan dapat bertahan -- dalam arti tidak lekang oleh ilmu pengetahuan dan hapus oleh teknologi. Sungguh suatu tugas perumusan yang tidak ringan. *) Konsultan dan panitia ahli Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dalam menyusun KUHP baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini