Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tim Ompong Yang Dipotong

Tim independen untuk kisruh KPK-Polri tidak dibekali landasan hukum. Hanya dianggap forum untuk berkonsultasi.

2 Februari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Joko Widodo lebih banyak diam. Di depan enam tamunya, ia hanya sesekali melontarkan pertanyaan. Malam itu Jokowi benar-benar menyimak pendapat yang dilontarkan tamunya. Raut mukanya tegang. "Bagaimana sebaiknya? Saya pusing juga," kata Jokowi, seperti ditirukan seseorang yang hadir pada pertemuan Ahad malam pekan lalu itu.

Berlangsung di ruang tamu Istana Merdeka, Jakarta, persamuhan itu digelar dua hari setelah Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto ditangkap polisi. Para tamu yang hadir malam itu adalah mantan Wakil Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Purnawirawan Oegroseno, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Jimly Asshiddiqie, pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, pengamat hukum internasional Hikmahanto Juwana, serta dua mantan Wakil Ketua KPK, Erry Riyana Hardjapamekas dan Tumpak Hatorangan.

Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan para tamu itu diteleponnya satu per satu. Mereka diundang untuk membahas kisruh antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian RI. Perseteruan ini bermula setelah komisi antirasuah menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan, calon Kepala Polri pilihan Jokowi, sebagai tersangka kasus korupsi.

Bersama sosiolog Imam Prasodjo dan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, yang berhalangan hadir, keenam orang tadi masuk tim independen untuk mencari solusi penyelesaian kisruh KPK dan Polri. Tim ini dibentuk hanya beberapa jam sebelum pertemuan berlangsung. "Ada empat-lima nama yang Presiden usulkan sendiri," ujar seseorang yang mengetahui proses pembentukan tim.

Agar tim memiliki dasar hukum, Jokowi telah menyiapkan draf keputusan presiden sebelum pertemuan di Istana berlangsung. Delapan nama calon anggota bahkan sudah dicantumkan dalam draf tersebut. Jumlah anggota tim bertambah setelah mantan Kepala Polri Sutanto bergabung. Dipimpin Syafii Maarif, tim direncanakan bertugas selama 30 hari untuk memberikan rekomendasi.

Namun, hingga pertemuan kedua Rabu pekan lalu, keputusan presiden batal diteken. Di ujung diskusi, tim sempat mempertanyakan kewenangan dan kedudukan mereka. "Ya, bapak-bapak ini tim konsultatif saja," kata Jokowi menjawab pertanyaan tim. Padahal keputusan itu sudah siap diteken Jokowi sehari sebelumnya.

Jimly Asshiddiqie sadar, tanpa dasar hukum, tim tak bisa bergerak leluasa mencari akar masalah kisruh antara KPK dan Polri. "Tim, misalnya, tak bisa memanggil orang-orang yang terkait dengan masalah ini," ucap Jimly. Dampak lain, kata Imam Prasodjo, tim tak bisa memberikan rekomendasi yang lebih luas agar masalah serupa tak terjadi di kemudian hari.

Meski begitu, Jimly dan Imam tidak mempersoalkan keputusan Jokowi. Tim akhirnya hanya memberikan lima rekomendasi tak mengikat. Namun Jokowi memilih opsi menunggu proses praperadilan terhadap Budi Gunawan selesai.

Menurut seseorang yang dekat dengan lingkungan Istana, Jokowi batal meneken keputusan presiden karena ada tekanan dari orang-orang di sekitarnya yang ingin Budi Gunawan dilantik. Tak cuma dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh, tekanan juga datang dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. "Wapres tak mau ada pembentukan tim independen," ujarnya.

Pembentukan tim ini sebenarnya merupakan keputusan Jokowi setelah meminta masukan dari sejumlah penasihatnya. Ia tidak menentukan jumlah anggota tim ini. Presiden menugasi Alex Lay; Teten Masduki, yang merupakan anggota tim khusus Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto; juga pengamat politik Yunarto Wijaya, yang beberapa kali diundang ke Istana, memasukkan nama-nama.

Mereka mencari sejumlah nama yang dianggap memiliki reputasi baik. Jokowi kemudian memutuskan tujuh nama, yaitu Jimly Asshiddiqie dan kawan-kawan. Tokoh-tokoh itu sengaja ditampilkan karena dikenal sebagai pendukung KPK. Hal ini untuk mempertegas sikap Jokowi yang, menurut orang-orang dekatnya, sebenarnya pro-lembaga antikorupsi itu.

Ketika nama-nama itu dipanggil ke Istana, seorang mantan petinggi intelijen yang sedang berada di Singapura bergegas balik. Ia berencana mendahului tokoh-tokoh itu menemui Jokowi, dengan harapan mencegah pembentukan tim.

Narasumber yang dekat dengan kalangan PDI Perjuangan dan Kepolisian menyatakan, ketika nama-nama itu muncul di publik, timbul protes dari kalangan internal partai banteng dan Markas Besar Polri. Para petinggi Kepolisian terutama menyoroti Oegroseno dan Bambang Widodo Umar, pensiunan polisi yang sangat kritis terhadap institusi mereka.

Politikus PDI Perjuangan, Pramono Anung, membantah kabar bahwa Megawati dan partainya ikut campur tangan dalam urusan ini. Sebagai presiden, kata dia, Jokowi tak bisa diatur siapa pun. "Bahkan sudah dua pekan ini Bu Mega tidak bertemu dengan Jokowi," ujar Pramono.

Jusuf Kalla membenarkan telah menyarankan Jokowi agar tak membentuk tim independen. "Kehadiran tim ini menunjukkan seseorang tidak berani mengambil keputusan sendiri," katanya.

Bagaimanapun, tim ini memang dianggap sebagai pengganggu. Abdullah Makhmud Hendropriyono, yang dekat dengan Megawati, mengatakan tim independen "bukan pengganti Menteri Hukum dan Jaksa Agung" serta "hanya memberi tambahan masukan bagi Presiden".

Kepala Badan Intelijen Negara pada era Presiden Megawati itu kemudian menuduh, "Di antara tokoh-tokoh itu ada yang mempunyai catatan sangat buruk dan tidak tepat menjadi sumber informasi bagi Presiden." Padahal, kata dia, "Setiap anggota tim seharusnya bernilai A (mempunyai latar belakang yang baik) dan bernilai 1 (jujur dan dapat dikonfirmasi)." Ia tak menjelaskan tokoh yang dimaksud.

Prihandoko, Ananda Teresia, Rusman Paraqbueq, Dewi Suci Rahayu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus