Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Pertimbangan Partai Berkarya Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto ambil bagian dalam Aksi 22 Mei 2019 yang digelar untuk menolak hasil pemilu 2019. Titiek mengajak massa proPrabowo unjuk rasa sejak sebelum hari penetapan. "Emak-emak tetap bersemangat, kita akan aksi damai tanggal 20, 21, 22 (Mei) untuk menjemput kemenangan kita." Titiek mengajak pendukung mantan suaminya itu melalui video yang beredar di grup percakapan WhatsApp pada Sabtu, 18 Mei 2019. Titiek belum bisa dikonfirmasi secara langsung mengenai video itu dan seberapa banyak massa aksi yang akan dikumpulkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam video berdurasi 31 detik itu, Titiek menjamin Aksi 22 Mei akan berlangsung damai dan meminta para relawan pendukung Prabowo - Sandiaga Uno tidak takut untuk ikut serta dalam aksi itu. Ia mengimbau agar pendukung Prabowo tidak terprovokasi isu-isu yang menyesatkan, yang melemahkan sehingga bisa mundur dan tak jadi datang. “Itu adalah taktik mereka, kita jangan terpengaruh. Semangat, semangat, semangat," ujar Titiek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seruan untuk berjuang di jalanan alias tidak menuntut ke Mahkamah Konstitusi atau MK, bukan sekali dua kali disampaikan Titiek. Putri penguasa era orde baru itu mengatakan hal itu dilakukan karena banyaknya kecurangan dalam pemilu 2019. Ia bahkan menyebut pemilu kali ini lebih curang dari pemilu pada era ayahnya, presiden kedua RI Soeharto.
"Kecurangan bisa dilihat dengan kasat mata. Dulu dikatakan zaman Pak Harto bahwa Pemilunya curang, tapi ternyata sekarang Pemilunya jauh lebih curang. Betul?" kata Titiek Soeharto di Rumah Perjuangan Rakyat, Jakarta Pusat, Jumat lalu, 17 Mei 2019.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengatakan sistem pemilu saat ini jauh lebih baik ketimbang pada zaman Orde Baru. Sebab, kata dia, lembaga penyelenggara pemilu saat ini independen. Meski demikian, Mahfud menilai kecurangan Pemilu masih ada terjadi pada era reformasi seperti sekarang.
Bedanya, kata dia, kecurangan saat ini bersifat horizontal yang dilakukan antarpartai politik. "Bukan oleh pemerintah. Kalau dulu kan pemerintah yang curang, ditentukan dari atas, vertikal," ujar Mahfud, Februari lalu.
Baca juga: Titiek Soeharto dan Pimpinan Koalisi Merapat ke Rumah Prabowo
Pada zaman orde baru, ujar Mahfud, zaman Orde Baru, lembaga penyelenggara pemilu tak independen dan hasil pemilu ditentukan oleh Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang berada langsung di bawah pemerintah. Gerak media pun, ujar dia, dibatasi oleh rezim. "Dulu zaman Pak Harto, tak boleh saudara memberitakan macam-macam. Saudara bisa hilang.” Saat ini memberitakan apa saja akan dibantah oleh yang lain jika tak benar.
Buku Rully Chairul Azwa yang berjudul Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era (2009) disebutkan, manipulasi yang dilakukan rezim Orde Baru semakin kuat pada Pemilu 1977. Pemilihan menggunakan sistem proporsional daftar tertutup. Pemilih tidak dapat melihat wajah dan mengetahui nama calon-calon anggota parlemen yang seharusnya akan dipilih, dan hanya bisa mencoblos partai politik.
Hasilnya pun sudah dapat diperkirakan. Golkar menang telak. Golkar lagi-lagi dominan, Soeharto pun tetap nyaman di puncak kekuasaan. Anekdot lama menyebut, "Indonesia bisa tahu hasil pemilu bahkan sebelum pemilu dilaksanakan.”