Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERSAMA Wiro kita menjelajahi Indonesia, meloncat dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, lalu ke Papua. Wiro adalah remaja tanggung asal Jawa. Karena dirisak bapak tirinya, ia memilih kabur ke hutan belantara. Wiro kemudian berjumpa dengan hewan-hewan rimba raya. Ada seekor kera, harimau, gorila, juga gajah yang kemudian menjadi kawan seperjalanannya mengembara di hutan-hutan Indonesia. Geng perkawanan yang tak lazim tapi hangat; membuat pembaca—anak-anak generasi 1950-1960-an—tersedu ketika satwa itu satu per satu terbunuh di tengah ekspedisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petualangan Wiro digambar oleh (almarhum) Kwik Ing Hoo dalam komik Wiro, Anak Rimba Indonesia. Buku itu diterbitkan Toko Buku Liong pada 1956. Kios itu kini sudah tiada. Namun, saat masih aktif beroperasi, toko yang berlokasi di kawasan Kota Lama Semarang, tepatnya di seberang Gereja Blenduk, itu merilis sejumlah komik. Selain Wiro, ada komik Dagelan Petruk Gareng yang lahir pada awal 1950 karya Indri Soedono, buku Sam Po karya Kam Seng Kioe, Pak Sabar dgn. Keluarga, dan Hardjo Tingtong. Kebanyakan karya itu menyuguhkan karakter lokal yang kocak dan usil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengajar seni rupa di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Mikke Susanto, menyebutkan Toko Buku Liong pada masanya tak hanya menjadi ruang apresiasi seni, tapi juga menjadi distributor wacana. Lewat keberadaan toko yang didirikan Lie Djoen Liem itu, juga proses produksi dan distribusi buku-bukunya, perkembangan sejarah dan industri seni komik dapat diukur secara nyata hari ini.
Pada masanya, komik Wiro begitu berjaya di kalangan anak-anak dan remaja. Komik itu terdiri atas 10 jilid yang satu serinya berisi sekitar 30 halaman. Pada sampul buku komik itu tak ada nama pengarangnya. Sedangkan di bawah narasi halaman awal komik hanya tertulis “Pencipta”. Namun, sejatinya, sang pencipta adalah tiga orang keturunan Cina. Ada Lie Djoen Liem dan Ong King Nio (pasangan suami-istri pemilik Toko Buku Liong) sebagai penulis naskah serta Kwik Ing Hoo sebagai penggambar. “Adanya pembagian tugas itu menunjukkan peran kepenulisan dalam dunia komik berkembang sampai hari ini. Ada yang sendiri mengerjakannya, ada yang berbagi tugas seperti dalam komik Wiro,” kata Mikke, yang juga pendiri lembaga pengarsipan Dicti Art Laboratory.
Akan halnya komik Dagelan Petruk Gareng yang digarap Indri Soedono, walau memakai Punakawan sebagai figur utama, justru lebih terasa modern dan kekinian pada masanya. Dalam komik itu, Petruk dan Gareng adalah tokoh yang hidup di dunia perkotaan, walau kadang latar lokasi menyoroti perdesaan. Berbeda dengan Wiro, Anak Rimba Indonesia yang cenderung serius, Dagelan Petruk Gareng, seperti judulnya, memuat banyak lelucon. Materinya banyak menyuguhkan komedi slapstick sehari-hari dan tak jarang mengulik persoalan yang sedang menjadi tren ketika itu.
Kwik Ing Hoo, penggambar Wiro, Anak Rimba Indonesia lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 1931. Dia salah satu komikus keturunan Cina yang cemerlang pada 1930-1960-an. Pada era itu, ada “Bapak” dari Koh Put On, yakni Kho Wan Gie; Siauw Tik Kwie, ilustrator komik Sie Djin Koei; juga Lie Ay Poen, komikus serial silat Poei Sie Giok Pukul Loetay, yang dimuat di majalah Pantjawarna. Ada pula John Lo yang menggambar pahlawan super seperti Garuda Putih, Putri Bintang, dan komik wayang Raden Palasara, serta komikus asal Sumatera Utara, Kong Ong, yang membuat Kapten Komet.
Sementara Kapten Komet terilhami komik superhero Flash Gordon, Wiro adalah Tarzan dengan sejumlah kearifan lokal. Bahkan dalam komik Wiro nama Tarzan berulang kali disebut. Wiro kecil juga dikisahkan sebagai pembaca komik Tarzan dan belajar memanjat pohon, bergelayut dari satu dahan ke dahan lain seperti idolanya. Meski demikian, bila menilik cerita dan usianya, petualangan Wiro cenderung mirip dengan Mowgli dalam The Jungle Book (1894) karya Rudyard Kipling. Ia bersahabat dengan hewan-hewan rimba, ikut menyelesaikan konflik di sana, walau sesekali masih melamunkan dan meratapi kampung halaman dan ibunya.
Dalam komik, Wiro digambarkan berjumpa dan akhirnya ikut berkelana dengan seorang peneliti flora-fauna bernama Dr Watson dan asistennya, Lana. Hubungan ketiganya bersifat mutualisme, walau tetap ada atribut kolonialisme dalam dialog dan ilustrasi yang memperkuat posisi superior dan inferior. Sementara Wiro adalah bocah pribumi yang tak punya apa-apa di rimba belantara, Dr Watson dan Lana adalah simbol Barat dan kemajuan. Keduanya membawa nilai-nilai tersebut lewat perangkat canggih masa itu yang mereka miliki. Misalnya kamera, juga sejumlah buku, yang membuat Wiro terpesona.
Kisah komik yang sederhana dan tak menggurui menjadi salah satu faktor yang membuat Wiro disenangi anak-anak Indonesia pada zamannya. “Dia mengajak saya sebagai pembaca untuk lebih lanjut mewadahi imajinasi personal,” ujar Mikke. Begitu pun kualitas visualnya. Mikke menilai karya Kwik Ing Hoo itu memenuhi seluruh kebutuhan artistik dalam sebuah karya utuh, dari anatomi figur hingga perkara garis setiap obyek yang digambar. “Semua memenuhi kriteria dan kebutuhan pembaca sehingga nyaris sulit menemukan kelemahan visualnya.”
Begitu pun gagasan soal keberagaman dan geografi Indonesia yang tergambar dengan cair dan indah dalam komik Wiro. Menurut Mikke, komik itu membawa pembaca ke khazanah Nusantara yang luas; dari perkotaan yang riuh, perdesaan yang permai, hutan yang gelap dan ganas, hingga sabana yang senyap. Ia menyebutkan kebutuhan atas variasi kehidupan manusia yang dimunculkan dalam komik itu mesti diapresiasi.
Wiro Anak Rimba Indonesia. Dokumentasi Keluarga Lie
Kurator seni dari Rumania, Adelina Luft, yang tengah meneliti Toko Buku Liong bersama seniman Daniel Lie, menyebut Wiro, Anak Rimba Indonesia penting karena komik itu bisa membuat pembaca membayangkan Indonesia. “Komik itu sangat Indonesianis dan Jawa-sentris,” tuturnya saat ditemui di Cemeti, Yogyakarta, Sabtu, 15 Agustus lalu. Dalam komik, Wiro memandang sekelompok di pulau luar Jawa sebagai “gerombolan orang-orang liar”. Sedangkan Jawa digambarkan maju dan modern.
Luft menelusuri mengapa komik Wiro sangat Jawa. Ternyata, menurut dia, keluarga Lie yang tinggal di Semarang tak punya kesempatan berkeliling ke daerah selain Jawa. Selain ke Semarang, keluarga itu hanya pernah menjajaki Surabaya dan Jakarta, sebelum hijrah ke Brasil pada 1958. Anak muda itu juga dikisahkan nasionalis. Ia ikut melawan tentara Jepang dalam ekspedisi di Papua, yang berujung pada terbunuhnya hewan-hewan sahabatnya.
Adapun bagi Daniel, yang tak lain cucu pemilik Toko Buku Liong, komik itu membantunya menelisik kembali sejarah keluarga. Daniel membaca Wiro, Anak Rimba Indonesia ketika berumur 13 tahun dan masih tinggal di Brasil. Ayahnya memberikan jilid kedua komik itu kepadanya. Ia mengaku tersirap oleh cara penulis—kakek dan neneknya—menuturkan kisah bocah yang memilih meninggalkan kampung halaman demi menjelajahi rimba dan akhirnya bersahabat dengan dunia Barat yang direpresentasikan oleh Dr Watson dan Lana.
Sebagai seniman, Daniel menilai kisah Wiro merupakan kontribusi bagi zamannya, bahkan hingga masa kini, walau dalam perkembangannya keluarga Lie mesti terpisah dari hiruk-pikuk kepopuleran Wiro di Indonesia karena mereka tinggal di Brasil. Namun, bagaimanapun, “Ini adalah warisan dari kakek dan nenek saya yang melampaui Toko Buku Liong itu sendiri,” katanya. Lebih dari enam dekade berselang, Wiro, Anak Rimba Indonesia memang masih dikenang.
ISMA SAVITRI, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo