Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Risiko Hilangnya Independensi

Yopie Hidayat
Kontributor Tempo

29 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Rudi Asrory

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PASAR finansial tak akan pernah melewatkan simposium tahunan The Federal Reserve di Jackson Hole, Wyoming, Amerika Serikat. Demikian pula konferensi tahun ini, kendati harus berlangsung secara virtual lantaran pandemi Covid-19. Kamis, 27 Agustus lalu, presentasi Ketua The Federal Reserve Jerome Powell di forum itu langsung menggoyang pasar di mana-mana.

Di sana, Powell menyampaikan strategi baru The Fed. Intinya, The Fed tidak akan terlalu ketat lagi menetapkan target inflasi, hanya secara rata-rata sebesar 2 persen. Pasar finansial global pun langsung menangkap sinyal itu: The Fed akan menjaga bunga dolar Amerika Serikat tetap rendah dalam waktu cukup lama, kendati sesekali inflasi sudah melampaui target. Ini memang pilihan yang tak terelakkan agar ekonomi Amerika bisa bangkit dari krisis. The Fed ingin tetap fleksibel menjalankan kebijakan moneter yang akomodatif.

Bagi investor, prospek ekonomi Amerika tentu penting. Tapi yang tak kalah penting adalah menghitung dengan cermat bagaimana efek kebijakan The Fed itu pada imbal hasil investasi. Strategi baru The Fed memungkinkan terjadinya kombinasi suku bunga rendah yang berbarengan dengan meningkatnya inflasi. Kombinasi inilah yang membuat investasi dalam dolar Amerika menjadi kurang menarik. Walhasil, nilai dolar terhadap berbagai mata uang langsung merosot sehari setelah Powell berpidato.

Biasanya, pasar finansial negara berkembang, termasuk Indonesia, ikut bergairah menyambut kabar semacam ini. Bunga yang begitu rendah di Amerika akan mendorong dana investasi portofolio berpindah tempat mencari imbal hasil yang lebih besar. Selama ini, pasar negara berkembang selalu menjadi alternatif bagi investor yang berani mengambil risiko lebih besar demi hasil yang lebih besar pula.

Sayangnya, hingga pasar tutup di Jakarta, Jumat, 28 Agustus, belum ada tanda-tanda penguatan secara signifikan. Kurs rupiah relatif stagnan, sekitar 14.660 per dolar Amerika. Jaminan kebijakan bunga rendah dari The Fed rupanya belum mampu membuat rupiah menjadi sasaran limpahan dana investasi.

Sepertinya investor punya pertimbangan lain sehingga rupiah kali ini seolah-olah terlewati. Sejak Juni lalu rupiah memang konsisten berada dalam tren melemah terhadap dolar Amerika, kendati pada kurun yang sama sebenarnya dolar Amerika sedang melemah terhadap hampir semua mata uang lain. Ini tak lepas dari persepsi risiko berinvestasi dalam rupiah yang kian besar.

Salah satu penyebabnya: pemerintah dan otoritas moneter Indonesia harus mengambil kebijakan luar biasa untuk menutup bolongnya anggaran pemerintah lewat monetisasi utang. Ibaratnya, Bank Indonesia langsung mencetakkan duit baru bagi pemerintah untuk membiayai defisit yang menggelembung menjadi Rp 1.039 triliun tahun ini.

BI sudah berkomitmen akan mencetak duit baru Rp 397 triliun. Selain itu, masih ada kemungkinan tambahan hingga Rp 177 triliun. Konsekuensi suntikan likuiditas baru ini sudah jelas: kurs rupiah akan melemah.

Itu sebabnya BI sudah menegaskan bahwa langkah ekstrem tersebut hanya akan berlangsung tahun ini. Namun rencana anggaran tahun depan menunjukkan pemerintah masih memikul defisit Rp 971,2 triliun. Tanpa bantuan pembiayaan langsung dari bank sentral, rasanya mustahil pemerintah dapat menutup defisit sebesar itu. Pasar menilai, tak ada jaminan bahwa monetisasi utang di Indonesia hanya akan berlangsung tahun ini.

Lebih jauh, di pasar beredar kabar tentang rencana pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk merestrukturisasi wewenang otoritas keuangan. Jika rencana ini terwujud, tak akan ada lagi sekat independensi yang dapat menjaga otoritas moneter dan perbankan dari intervensi pemerintah. Jika pemerintah meminta bank sentral mencetak uang demi membiayai defisit, misalnya, BI tak akan mampu menolaknya.

Persoalannya, Indonesia adalah sebuah ekonomi yang amat terbuka. Dana investasi bisa keluar-masuk dengan leluasa. Jika investor mulai cemas melihat dampak kebijakan moneter yang terlalu agresif, daya tarik berinvestasi di Indonesia bakal kian merosot. Risikonya akan terlampau besar dibanding imbalannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus